Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pengorbanan

3 Januari 2020   20:29 Diperbarui: 3 Januari 2020   20:45 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namanya Diana. Dia teman SMAku dan merupakan bintang sekolah dulu. Kulit putih dan rambut hitam dengan wajah ovalnya, membuat kami dulu kaum pria begitu betah berlama-lama memandangnya.

Saya sendiri memberinya nilai 9 untuk kecantikan dan keanggunannya, dan nilai 10 untuk tingkah laku dan adabnya. Tutur kata dan suaranya halus dan menyenangkan semua orang. Benar-benar perfecto dan idaman semua pria.

Seingat saya, Diana tidak pernah tertawa terbahak-bahak maupun bersuara keras. Diana juga tidak suka terlalu akrab dengan teman-teman pria. Dia pandai menjaga jarak. Itu yang membuat teman-teman prianya 'sungkan' untuk menggodanya, baik secara verbal, apalagi fisik.

Tidak pernah ada pria iseng yang mencoleknya.  Entah kekuatan apa yang merasukimu.

Apakah saya naksir? Ah pertanyaan bodoh macam apa itu. Pria mana yang tidak naksir gadis sebening dan sebaik dia. Kalau ada pria yang tidak tertarik, pasti di antara dua kemungkinan. Dia homo atau bisa juga maho. Jadi jelas, saya normal dan naksir dia.

Lalu apakah saya pernah nembak atau menyatakan suka? Enggak pernah. Enggak berani dan minder akut. Hampir semua teman pria yang saya kenal mengalami perasaan yang sama.

Kami seperti segerombolan beruk yang merasa tidak pantas bersanding dengan Diana. Dia dan saya lebih mirip antara tutup panci teflon yang bersanding dengan bokong dandang Jawa. Serasa tidak matching. Terlalu kontras.

Sampai akhirnya saya bertemu lagi dengan Diana di acara reuni sekolah hari ini. Semua orang dibuat terkejut. Diana yang dulu begitu cantik, anggun dan glowing, berubah menjadi wanita kebanyakan dengan rambut kusam, badan 'sehat' kalau tidak boleh dibilang gemuk, dan kulit yang tidak secerah bulan purnama.

Nilai kecantikan dan keanggunan yang tadinya 9, turun menjadi hanya 5 tipis. Kalian pasti menganggapkaum pria itu jahat karena hanya melihat wanita dari kecantikannya saja. Tetapi itu lah pria. Mereka terbiasa memberi skor pada apa saja. 

Saya juga bertanya-tanya. Entah apa yang merasuki Diana, sehingga dia begitu tega mengecewakan harapan kami semua. Beberapa teman sekolah yang berencana hadir di acara reuni, niat utamanya adalah bertemu Diana dan menikmati kecantikan serta keindahannya seperti 6 tahun lalu saat masih sekolah.

"Hai." Saya menyapa Diana yang sedang asik menikmati live music dan semangkok es campur di tangannya.

"Hai Anton. Long time no see you, my hero," jawab Diana dengan wajah antusias. Binar mata dan suara khasnya, masih tersisa. Keramahan dan senyumnya juga masih kuat seperti jaman dulu.

Mengapa Diana memanggilku hero, karena ceritanya pernah sering membantu memperbaiki sepedanya. Mulai dari rantai yang copot, ban sepedanya gembos, hingga mengencangkan sadel sepedanya yang longgar. Dia menghargai dengan menyebut saya sebagai hero. Walaupun sebenarnya itu adalah bagian dari pe-de-ka-te.

"Bagaimana kabarnya? Senang bertemu Diana kembali."

"Baik. Aku kangen kalian semua. Berharap bertemu kamu juga Anton terus Rifai dan Sulaiman yang dulu jadi teman akrabmu ya."

Saya senang bisa bertemu dan berbincang kembali dengan Diana. Namun pikiran masih belum bisa menerima, mengapa dia bisa begitu berubah dan jauh berbeda dengan dulu. Iya dulu saat masih di bangku SMA. Dulu saat perpisahan kelulusan. 

"Why? Why? Why?" Semua tanda tanya besar yang saya harapkan dapat jawabannya dari Diana langsung.

"Eh kemana suamimu kok tidak ikut?" 

"Ada tuh di depan. Lagi nungguin di mobil."

"Enggak bisa. Dia orangnya enggak terlalu pede. Tidak pernah mau ikutan acara bersama-sama."

Setelah ngobrol begitu lama, terungkap lah rahasia Diana. Diana bercerita panjang kali lebar kali tinggi, mengapa dia berubah menjadi tidak secantik dulu.

Ceritanya suami Diana yang bernama Bondan ini merupakan teman kuliahnya dulu. Dia mahasiswa yang cerdas, namun memiliki kekurangan secara penampakan. Wajahnya tidak begitu simetris dengan gigi tongos dan tinggi badan yang tidak proporsional. 

Namun di balik kekurangannya, Diana begitu mengagumi Bondan. Entah bagaimana, Bondan dan Diana pun jadian menjelang kelulusan. Setelah setahun bekerja, Bondan menikahi Diana.

Diana merasa antara dia dan Bondan tidak berimbang. Sangat sering orang-orang yang ditemuinya mengolok-olok mereka sebagai pasangan beauty and the beast. Diana sebagai si beauty dan Bondan sebagai the beast. Sering juga membicarakan mereka berdua sebagai mu'jizat dan musibah.

Bondan mendapatkan Diana sebagai sebuah mu'jizat. Sedangkan Diana mendapatkan Bondan sebagai sebuah musibah. Semua orang menganggap Bondan adalah pria yang beruntung. Sedangkan Diana dianggap sebagai wanita yang 'apes' karena mendapatkan pria yang tidak sebanding. Termasuk sebagian keluarga besarnya sendiri yang berkata demikian.

Setelah kelahiran anak pertama, Diana bertekad untuk mengorbankan dirinya. Dia ingin orang berhenti menilai hubungan cinta mereka hanya dinilai dari fisik atau rupa saja. Diana mulai mengabaikan perawatan rambut dan kulitnya.

Diana juga mulai mengubah pola makannya, sehingga dalam waktu cepat, badannya menjadi membesar alias gendut. Diana juga tidak lagi mau berdandan. Andai kata dia berdandan, itupun seadanya saja. Bedak baby dan lipstik murahan dipakainya agar wajahnya tidak terlalu tampak berminyak.

Aku tertegun mendengar bagaimana Diana mengorbankan dirinya, agar tampil 'sebanding' dengan Bondan, suaminya. Saya tidak habis pikir bagaimana ada seorang istri yang mengubah dirinya menjadi lebih jelek, agar suaminya bahagia karena  sekarang jadi sama-sama jeleknya dan semua orang berhenti menilai mereka secara fisik. 

Sebenarnya bisa saja Diana dan Bondan cukup tutup kuping dengan semua omongan orang. Tetapi ya, setiap orangpunya pola pikir yang berbeda dan cara dalam menyikapi setiap kejadian dalam hidupnya.

"Apakah kamu bahagia dengan semua ini?" Sebuah pertanyaan bodoh yang saya sampaikan dan hanya dijawab dengan anggukan dan sebuah senyuman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun