"Hai Anton. Long time no see you, my hero," jawab Diana dengan wajah antusias. Binar mata dan suara khasnya, masih tersisa. Keramahan dan senyumnya juga masih kuat seperti jaman dulu.
Mengapa Diana memanggilku hero, karena ceritanya pernah sering membantu memperbaiki sepedanya. Mulai dari rantai yang copot, ban sepedanya gembos, hingga mengencangkan sadel sepedanya yang longgar. Dia menghargai dengan menyebut saya sebagai hero. Walaupun sebenarnya itu adalah bagian dari pe-de-ka-te.
"Bagaimana kabarnya? Senang bertemu Diana kembali."
"Baik. Aku kangen kalian semua. Berharap bertemu kamu juga Anton terus Rifai dan Sulaiman yang dulu jadi teman akrabmu ya."
Saya senang bisa bertemu dan berbincang kembali dengan Diana. Namun pikiran masih belum bisa menerima, mengapa dia bisa begitu berubah dan jauh berbeda dengan dulu. Iya dulu saat masih di bangku SMA. Dulu saat perpisahan kelulusan.Â
"Why? Why? Why?" Semua tanda tanya besar yang saya harapkan dapat jawabannya dari Diana langsung.
"Eh kemana suamimu kok tidak ikut?"Â
"Ada tuh di depan. Lagi nungguin di mobil."
"Enggak bisa. Dia orangnya enggak terlalu pede. Tidak pernah mau ikutan acara bersama-sama."
Setelah ngobrol begitu lama, terungkap lah rahasia Diana. Diana bercerita panjang kali lebar kali tinggi, mengapa dia berubah menjadi tidak secantik dulu.
Ceritanya suami Diana yang bernama Bondan ini merupakan teman kuliahnya dulu. Dia mahasiswa yang cerdas, namun memiliki kekurangan secara penampakan. Wajahnya tidak begitu simetris dengan gigi tongos dan tinggi badan yang tidak proporsional.Â