Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bayangkan Bila Indonesia Runtuh

7 November 2017   17:39 Diperbarui: 7 November 2017   17:45 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang Anda rasakan bila tiba-tiba suatu pagi Anda bangun pagi dan televisi memberitakan negara Indonesia sudah tidak ada lagi karena pecah menjadi Negara Jawa, Negara Kalimantan, Negara Madura, Negara Maluku Raya dan ratusan negara-negara kecil lainnya? Apa yang  Anda rasakan bila Anda tidak bisa lagi mengaku sebagai orang Indonesia, karena semua wilayah menjadi tak bertuan dan kehilangan identitas diri sebagai bangsa? Apa yang akan Anda lakukan bila banyak orang tiba-tiba menyebut dirinya sebagai "kami" dan bukan lagi "kita"? Saya merasakan kengerian bila Indonesia sampai terpecah-pecah karena masing-masing kelompok ingin membuat negara sendiri berdasarkan persamaan agama, persamaan suku, persamaan ras dan bahkan persamaan hobby. Persamaan hobby? Iya bisa saja begitu :D

Pertanyaan di atas muncul saat sabtu lalu (4/11/2017) ketika saya mengikuti  Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan yang dikemas dalam acara "Ngobrol bareng MPR RI" di Hotel Fairfield Surabaya. Acara dihadiri kurang lebih 40 netizens dari Surabaya, Malang, Mojokerto, Madura dan Sidoarjo. Sebagai pembicara, Bapak Andriyanto (Kepala Bagian Pengolahan Data dan Sistem Informasi Sekjend MPR) dan Bapak Maruf Cahyono (Sekjen MPR RI).

Pada sesi pertama, Bapak Andriyanto memberikan gambaran betapa pentingnya menjaga integrasi bangsa di tengah fenomena arus informasi yang begitu kuat. Beliau memberikan contoh Amerika sebagai negara kampium demokrasi, namun pada pemilu mereka kemarin yang memenangkan Donald Trump, diindikasikan adanya campur tangan dan pengaruh negara lain (Rusia). "Amerika saat babak belur" karena banyaknya pertikaian terkait isu rasial. Bahkan kelompok KKK (Ku Klux Klan) sebuah kelompok white supremacy yang rasialis di Amerika muncul kembali karena adanya media sosial yang memudahkan kampanye kebencian antar kelompok dan ras.  

dokpri
dokpri
Hal ini juga tidak menutup kemungkinan terjadi pada Indonesia. Bagaimana opini publik bisa digiring untuk menjatuhkan pilihan karena adanya pengaruh media sosial. Kasus Sarachen menjadi bukti, bahwa proses demokrasi bisa sangat rentan terhadap hoax. Bagaimana perang opini bisa sampai saling serang dan menjatuhkan terjadi di negara kita. Bila tidak disikapi dengan cepat dan hati-hati, Indonesia akan terpecah belah dan suatu saat hanya akan tinggal nama saja. Maukah ini terjadi pada Indonesia kita? 

Bayangkan bila ini terjadi. Saya yang kelahiran Madura dan saat ini tinggal di Sidoarjo, harus mengurus menunjukkan passport dan memiliki visa untuk melewati Jembatan Suramadu karena Madura menjadi negara terpisah dari Jawa. Anda yang dari Sumatera dan akan kuliah di Surabaya, harus mengurus visa student karena Sumatera telah menjadi negara terpisah. Hidup akan semakin sempit dan ribet karena semua daerah yang tadinya kita asyik-asyik saja mampir atau berkunjung, kemudian semuanya harus tersekat-sekat sebagai negara yang terpisah. Itu semua terjadi saat Indonesia tidak ada lagi. Jadi Bapak Andriyanto meminta kita semua untuk pintar-pintar menyikapi perkembangan teknologi informasi.

Pada sesi kedua, Bapak Maruf Cahyono memberikan banyak pandangan dan materi tentang pentingnya mempertahankan ideologi pancasila. Dari semua kepentingan kelompok dan golongan, perlu adanya harmonisasi agar semua benturan kepentingan bisa disatukan untuk tegaknya Indonesia. Hal itu menjadi tugas generasi muda untuk bisa menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

Pada kesempatan tersebut, Bapak Maruf menjabarkan pasal-pasal Pancasila yang masih relevan untuk sebagai ideologi berbangsa dan bernegara kita. Salah satunya adalah makna dari Sila "Ketuhanan yang Maha Esa". Sila tersebut menggambarkan bahwa Indonesia bukan negara agama tetapi negara yang religius namun tidak berdasar pada satu agama tertentu.  Menurut Bapak Maruf, pengajaran ideologi Pancasila memang sempat diabaikan pasca reformasi. Pelajaran Pancasila sempat dihapus dari kurikulum perguruan tinggi dan diganti dengan Kewiraan atau Bela Negara. Namun saat ini, Materi ideologi Pancasila harus terus digali dan disosialisasikan sebagai ideologi berbangsa dan bernegara. Terakhir, Bapak Maruf juga menekankan pentingnya memaknai "Bhinneka Tunggal Ika", berbeda-beda suku, agama, ras dan bahasa, namun merasa sebagai satu bangsa, Bangsa Indonesia. 

Setelah mengikuti acara tersebut, saya merasa kita harus berkomitmen dan berusaha agar identitas kebangsaan kita sebagai Bangsa Indonesia harus terus dijaga dari ancaman perpecahan maupun ideologi transnasional yang akan menghilangkan diri kita sebagai sebuah bangsa. Gunakan media sosial secara arif dan bijaksana sebagai alat komunikasi untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sosialisasikan pentingnya Pancasila sebagai ideologi yang mempersatukan perbedaan agama dan kepercayaan, suku, ras dan bahasa. Bila ini semua kita lakukan, InsyaAllah Indonesia akan tetap berdiri tegak sebagai sebuah bangsa dan negara selama-lamanya. Merdeka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun