Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Ini Saatnya Momentum Kebangkitan Polisi

13 Februari 2016   07:53 Diperbarui: 1 Juli 2018   11:17 3562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: www.thecrowdvoice.com

Polisi dan Anak Tiri

Saat saya kecil, nenek dan nenek buyut saya berpesan agar saya jangan menjadi polisi. Saya bisa paham mengapa beliau-beliau tersebut melarang saya untuk menjadi polisi. Saat itu, polisi adalah salah satu 'abdi negara' yang menakutkan dan menyebalkan. Polisi di jaman Orde Baru hanya menjadi alat kekuasaan untuk menangkap orang-orang yang dianggap berbahaya, entah penguasa maupun pengusaha yang mampu membayar mereka. Itu mengapa, orang kecil, sering kali ditakut-takuti dengan keberadaan polisi. Apalagi jaman itu, polisi tidak mengenal HAM (Hak Asasi Manusia). 

Seseorang yang ditangkap polisi karena menjadi tersangka, dipastikan akan mengaku bersalah karena tidak kuat dengan siksaan polisi yang belum divonis bersalah oleh pengadilan, sudah babak belur menerima hukuman di kantor polisi. Polisi saat itu memang berperilaku militeristik, karena sistem pendidikan dan budaya organisasi yang sama dengan angkatan lainnya.

Mungkian Anda dan saya juga pernah tahu, kalau saat kecil dahulu, orang tua kita sering kali menggunakan 'polisi' untuk menakut-nakuti anak-anak. Kalau ada anak kecil tidak mau makan atau nakal, maka orang tua akan bilang, "Awas ada polisi loh" atau "Awas tak bilangin polisi loh". Seolah-olah, polisi dijadikan orang-orangan sawah untuk menakuti-nakuti anak-anak. Walaupun sebagian anak-anak seperti saya dahulu, senang sekali bila menjadi polisi-polisian dan memakai seragam polisi saat ada karnaval 17 Agustusan.

Berikutnya saat SMA dan menjelang ujian nasional, ada pengumuman dibuka seleksi masuk AKABRI (Akademik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Bapak saya yang saat itu sedang bekerja di kapal dan hanya pulang setahun sekali, meminta saya untuk mendaftar. Akhirnya saya pun mencoba mendaftar bersama 20-an teman sekolah. Dari hasil diskusi, saya dan teman-teman, lebih memilih AKABRI Darat dan AKABRI Laut. 

Tidak satu pun mereka memilih AKABRI Kepolisian sebagai prioritas. Saat itu, memang sistem pendaftaran dan seleksi menjadi satu. Menjadi TNI Angkatan Darat di jaman Orde Baru menjadi favorit karena bila sudah letnan kolonel atau kolonel, bisa menjadi walikota atau bupati. Minimal bisa menjadi Komandan Korem (Komando Rayon Militer) yang saat itu begitu berpengaruh di daerah. Hal tersebut terjadi karena Presiden Soeharto memang berasal dari Angkatan Darat (AD). Boleh dibilang, posisi polisi dalam ABRI (sekarang TNI), seperti anak tiri bila dibandingkan dengan angkatan lainnya.

Kondisi polisi saat itu benar-benar babak belur. Di masyarakat sendiri, polisi dianggap hanya sebagai alat kepanjangan tangan penguasa dan pengusaha, serta tukang tilang-damai. Sementara di dalam diri polisi sendiri mengalami gejala inferiority, karena menjadi prioritas terakhir dalam sistem seleksi AKABRI. 

Seorang polisi pernah bercerita kalau bapaknya yang seorang angkatan darat, begitu marah karena dia memilih menjadi polisi saat seleksi AKABRI. Namun dia mencoba membuktikan bahwa pilihannya tersebut bukan pilihan yang salah dengan mencoba berkarya dan memiliki karier yang bagus di kepolisian.

Inferiority pada Polri juga terjadi karena tentara (AD, AL dan AU) lebih punya banyak karya dalam kisah perjuangan kemerdekaan, mengisi pembangunan hingga menumpas gerakan separatisme seperti di Timor-Timur (Timor Leste), Aceh dan Irian Jaya (Papua). Sedangkan kepolisian saat itu, lebih pada sekedar menangani kasus penggusuran melawan masyarakat bawah karena Satpol PP belum banyak berkiprah sebagai penegak peraturan daerah seperti sekarang. Sedangkan kisah kepahlawanan Kopasus dan angkatan lainnya jauh lebih monumental daripada kepolisian.

Jasa Gus Dur pada Polisi

Gus Dur pernah melontarkan humor berkaitan dengan polisi. Menurut Gus Dur, polisi yang baik itu cuman 3, yaitu: polisi tidur, patung polisi dan Hoegeng (Mantan Kapolri). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun