Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis di Tanah Kutukan (Part-1)

9 Desember 2012   02:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:58 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_220428" align="aligncenter" width="300" caption="Rencana Apartemen Adistana"][/caption] Entah mengapa setiap melewati jalan depan apartemen Adistana yang tidak pernah jadi ini, bulu kudukku selalu saja dibuat merinding. Terutama saat pulang di malam hari selepas lembur pekerjaan di kantor. Memang jalan ini bukan satu-satunya menuju ke rumah. Namun jalan inilah yang terdekat dan tidak perlu memutar saat pulang pergi rumah-kantor. Menurut orang, tanah yang dibangun untuk apartemen Adistana ini memang merupakan tanah kutukan. Sudah lebih dari 20 tahun sejak 1992, bangunan apartemen twin tower dengan 35 lantai ini selalu gagal diselesaikan. Padahal tempatnya sangat strategis di tepi Kali Surabaya. Berada pada persimpangan menuju ke segala penjuru Surabaya. Saat ini areal bekas Adistana diakuisisi oleh Marvell City untuk dibangun kembali. Tetap saja hingga 1 tahun ini, sepertinya aktifitas pengembangannya tidak ada kemajuan. Mungkin tanah kutukan yang menggagalkan penggusuran 'penghuni asli' tidak serta merta bisa dilakukan dengan mudah. bahkan kutukan itu juga menjalar ke bangunan plasa sebelahnya yang akhirnya mangkrak walau bentuk bangunan sudah lebih dari 75%.

13550160951449962560
13550160951449962560
Lembur dan Lembur Malam ini seperti biasa aku harus lembur sampai malam. Kerja 5 hari dalam seminggu sebenarnya cukup enak. Namun hari jumat malam justru menjadi hari tersibuk untuk menyiapkan pekerjaan berikutnya di hari senin. Belum lagi bila aku harus menyelesaikan laporan keuangan yang jatuh tempo pada setiap akhir bulan. Bisa-bisa pulang pagipun harus dilakukan. Aku melirik jam tangan Fossilku, rupanya masih jam 8 malam. Perutku sudah menabuh gendang minta diisi. Laporan terakhir masih dalam proses penyelesaian. "Sebentar lagi, semangat...," ujarku dalam hati sambil menghela nafas panjang. Sementara kopi hitamku sudah mulai dingin terkena ac ruangan kantor yang kali ini membuat semua tulangku terasa ngilu. Musik Cakra khan rupanya sedang dalam giliran untuk didengarkan. Lagu sederhana yang lumayan enak untuk didengarkan.
Sendiri sendiri ku diam, diam dan merenung Merenungkan jalan yang kan membawaku pergi Pergi tuk menjauh, menjauh darimu Darimu yang mulai berhenti, berhenti mencoba Mencoba bertahan, bertahan untuk terus bersamaku

Haduh.. lembur begini kok pas lagunya melo. Rasanya tidak pas saja. Aku coba mengganti lagu 'Harus Terpiah' tersebut dengan yang lebih nge-beat. Rupanya Jessi J yang berduet duet dengan B.o.B dalam Price Tag cukup bisa membangkitkan semangat malam ini.

It's not about the money, money, money We don't need your money, money, money We just wanna make the wor Forget about the price tag

"Ayo... kamu bisa... sebelum jam 10 malam, laporan sudah harus dicetak..." teriakku memberi semangat sambil menyelesaikan selembar demi selembar laporan yang harus diketik dan dibuatkan grafiknya. Tepat jam 10 malam, Pak Sarju -- petugas sekuriti mendatangi ruangan kerjaku. "Selamat malam Pak Choiron..." sapanya saat membuka pintu ruangan. "Selamat malam juga Pak. Bagaimana aman?," jawabku sambil menyelesaikan bagian penutup. "Sampai jam berapa Pak lemburnya?" tanya Pak Sarju kembali. "Sebentar lagi nih Pak. Tinggal mencetak bagian terakhir," jawabku dengan tangan terus bergerak seperti kitiran. "Baik Pak, saya kembali ke pos dulu. Kalau butuh bantuan saya siap sedia," kata Pak Sarju sambil memutar badannya menuju pintu. "Terimakasih Pak... pokoknya siap 86 deh." Tepat jam 10.20, semua pekerjaan sudah selesai. Besok sabtu laporan tersebut harus segera dipaketkan ke kantor pusat di Jakarta. Akupun mengemas notebook jadul yang beberapa tombol keyboardnya sudah ada yang lepas. Maklum, anak keempatku yang masih kecil senang sekali mencongkel tombol keyboard dengan jari-jarinya. Biarlah, yang penting dia senang dengan mainannya. Lima menit berikutnya aku sudah di tempat parkir motor. Sebuah Mega Pro keluaran terbaru yang aku beli secara kredit memang baru saja hadir mengantarkan berangkat dan pulang kerja. Motor itupun terpaksa aku beli atas saran istriku yang ingin melihatku tampil lebih keren dengan sepeda motor laki-laki. Entah mengapa, motorpun punya jenis kelamin. Padahal sebenarnya aku sudah cukup puas dengan motor bebek jadulku yang sudah menemani perjalanan lebih dari 8 tahunan. "Assalamualiakum Pak Sarju...," sapaku saat melewati pos security. "Waalaikumsalam Pak Choiron," jawab Pak Sarju yang sedang duduk sambil melihat tayangan televisi 14"-nya. Suara Minta Tolong Udara Surabaya malam ini begitu dingin. Sepanjang jalan Ngagel yang biasanya ramai oleh pedagang kaki lima juga sudah mulai sepi. Termasuk penjual empek-empek langganan istriku yang berada di sebelah Toko Retail Bilka. Aku memacu motor dengan kecepatan sedang saja. Toh apapun motornya, ya memang gayaku menyetir motor tidak akan lebih dari 40Km/jam. Itu mungkin salahsatu cara menikmati hidup tanpa harus ngebut dan membahayakan diri sendiri dan orang lain. Dari jauh terdengar sirini palang pintu kereta api berbunyi. Benar saja, tampak palang pintu kereta api yang berada setelah Taman Makam Pahlawan Ngagel, ditutup secara berlahan. Sebuah City Car tampak  zigzagberusaha menerobos palang pintu kereta api yang bergerak menutup jalan. "Mau kemana sih kok buru-buru sekali sampai menerobos palang pintu kereta api," gerutuku dalam hati. Yah memang di dunia ini ada saja orang-orang yang tidak waras yang membahayakan kehidupan diri sendiri dan orang lain tanpa berpikir panjang. Lolos dari jebakan palang pintu kereta api, ternyata aku harus berhenti kembali di perempatan sebelum Jembatan Dinoyo karena lampu lalu lintas berwarna merah. Perempatan begitu sepi. Sementara hujan gerimis mulai terasa turun satu persatu. Tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara dari bangunan Apartemen Adistana, "tolong... tolong...." Suara tersebut tidak terlalu jelas karena terbawa angin yang cukup kencang. Aku mencoba memasang menangkap suara tersebut dengan melepas helm. "tolong... tolong....," terdengar kembali suara minta tolong yang lali ini lebih jelas. Suara tersebut benar berasal dari bangunan Adistana yang sebagian tampak gelap. Sementara lampu lalu lintas sudah berubah menjad hijau, namu aku tetap berhenti untuk memastikan suara minta tolong tersebut. Bergegas aku matikan motor dan berlari ke arah pintu gerbang komplek bangunan tersebut yang tidak begitu tertutup rapat. Ku coba mengintip ke dalam kompleks bangunan tersebut. Yang tampak hanya gelap dan sedikit bayangan pohon yang tertimpa lampu jalanan. Tiba-tiba terdengar kembali suara minta tolong. Kali ini cukup jelas memang benar berasal dari bangunan tinggi tower sebelah kanan. Suara seorang wanita muda disertai dengan jeritan. Perasaan menjadi was-was dan adrenalin melonjak naik membayangkan apa yang terjadi dengan si wanita dan teriakannya. Aku coba untuk melihat lebih jelas lagi ke dalam bangunan. Nampun mata ini benar-benar tidak dapat melihat apa-apa. Hujan rintik-rintik kini berubah menjadi hujan dengan butiran air yang lebih besar. Hujan deras mulai mengguyur dengan deras. Aku segera merapatkan diri ke dinding bangunan di samping pintu gerbang Adistana. Luamayan ada sedikit atap yang bisa digunakan untuk berteduh. Sementara sepeda motor aku biarkan tetap kehujanan. Padahal tadi pagi baru saja dicuci. Huf... nasib... Perhatianku kembali ke suara teriakan minta tolong seorang wanita di dalam kompleks Adistana. Benarkah apa yang kudengar? Atau ini hanya ilusi saja. Entahlah.... Beberapa kali kucoba melihat kearah bangunan apartemen mangkrak tersebut, yang muncul hanya suasana kengerian. Sepertinya setan dan demit di bangunan tersebut sedang berposta pora merayakan sesuatu.  Sementara dari tadi, bulu kuduk terus merinding. Tidak ada tanda-tanda hujan akan reda. Aku harus membuat keputusan apakah harus menunggu sampai reda, atau pulang saja dengan pakaian basah kuyup. Untung tas ranselku kedap air, sehingga beberapa berkas dan notebook aman dari air hujan. "Tidak ada cara lain kecuali harus nekad pulang," ujarku dalam hati. Sejurus kemudian, aku telah berlari ke arah sepeda motorku, memasang helm dan segera berlalu dari areal bangunan tanah kutukan. Sesampai di rumah, istriku menyambutnya denga wajah cemas. Rupanya dia menungguku di ruang tamu dan tidak bisa tidur sebelum suaminya datang. "Kenapa malam sekali?" tanya istriku sambil melepas jaketku yang basah. "Iya tadi masih ada pekerjaan lembur. Sampai di Ngagel terpaksa berhenti karena kehujanan," jawabku sambil memandang wajah istriku yang begitu teduh. Sebuah wajah yang selalu tampak selalu tersenyum dengan deretan gigi putih dan alis tebalnya, walau aku tahu dia hidup serba pas-pasan bersamaku. "Ini diminum dulu teh hangatnya," ujar istriku saat aku keluar dari kamar mandi. "Iya terimakasih Cin," jawabku sambil menyambut sodoran segelas teh hangat. Cin adalah singkatan dari  Cintaq (baca: cintaku) sebagai panggilan sayang kepada istriku. "Sudah makan  sayang?" tanyanya kembali. "Sudah tadi di kantor," jawabku berbohong. Walau aku belum makan, tetapi terpaksa  harus bilang sudah makan. Karena pasti istriku akan sibuk kembali di dapur menyiapkan makan malam di jam tidurnya ini. Sementara tampaknya dia begitu lelah seharian menjaga dan merawat anak bungsuku yang sedang lincah-lincahnya berjalan ke sana kemari. "Roti saja Cin kalau ada," jawabku lagi. "Ini Sayang rotinya. Aku tidur dulu ya. Kalau nanti ada perlu, bangunin aku ya," kata istriku sambil mencium pipiku. "Iya, terimakasih Cin," jawabku sambil mencubit lengannya. Sambil menikmati roti dengan segelas teh hangat, pikiranku masih tertuju ke suara teriakan minta tolong seorang wanita yang tadi aku dengar di areal tanah kutukan. Entahlah, aku sendiri antara yakin dan tidak yakin.Kalau aku harus lapor polisi, apa buktinya. Apa nanti aku tidak disangka mengerjai polisi dengan laporan palsu atau hasil halusinasi. Entahlah... yang pasti mataku sudah mulai lelah dan rindu bertemu bantal. Bersambung ke Gadis di Tanah Kutukan (Part-2) Keterangan Sumber gambar 1 dari: www.skyscrapercity.com Sumber gambar 2 dok.pri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun