Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saya Senang Ummat Islam Berkelahi

31 Agustus 2011   00:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:20 1416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bukan setan apalagi keturunan iblis. Cuman ghak tahu kenapa saya senang antum antuma berkelahi saling caci-maki dan seterusnya meributkan waktu lebaran, metode hisab dan rukyat, sampai membahas posisi dan peran serta organisasi keagamaan seperti NU (Nahdlatul Ulama) dan MU (bukan Manchester United, tetapi maksudnya Muhammadiyah). Lucunya lagi ummat Islam di Indonesia itu ternyata memang bodoh dan tolol seperti saya sendiri yang merasa tolol saja melihat orang pada ribut perkara mau dihisap atau mau disedot. Padahal di Surabaya (jalan Irian Barat), dihisap atau disedot bayarnya sama mas, cuman 50 ribu.  Sedoooot mas... :D [caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="icekiddie.wordpress.com"][/caption] Mengapa saya senang ummat Islam Berkelahi? Ya ada banyak alasan mengapa memang kalian harus berkelahi. Namun yang utama adalah agar saya bisa menulis tulisan ini sehingga saya tidak kehabisan bahan untuk menulis. Sorry saya cuman bercanda. Jangan Anda hakimi saya berdasarkan Al-Quran dan Hadist yang ditambah dengan Asbabul Nuzul plus Asbabul Wurud dan ijma para ulama lainnya. Agama Islam itu sudah turun lebih dari 14 abad lamanya. Namun ternyata permasalahan ummat begitu kompleks. Oleh karena itu bila nabi baru dipastikan tidak turun, maka pasti dibutuhkan mujaddid-mujaddid yang akan terus memperbaharui penafsiran ajaran Islam agar ummat Islam tidak terkukung dalam kejumudan berfikir. Ajarannya memang sudah tua, tetapi manusia penganutnya pasti masih muda-muda, tidak lebih dari 100 tahun. Mujaddid (pembaharu) inilah yang diharapkan bisa memberikan pencerahan bagaimana berislam ala Rasulullah  Muhammad SAW, tentu sesuai jamannya. Mengapa? Karena ajaran Islam dalam Al-Quran dan hadist itu tetap, hanya penafsirannya saja yang berbeda di setiap jaman. Celakanya bila penafsiran itu dianggap sakral dan mutlak, sehingga perbedaan penafsiran yang sesuai dengan jamannya akan dianggap menyalahi tuan guru, syech, kyai, atau  nenek moyangnya terdahulu. Jadi jangan heran jika sampai saat ini kita bisa melihat kelompok-kelompok ummat Islam yang terjebak pada kejumudan berfikir dan taklid buta pada apa yang diajarkan oleh pendahulu mereka. "Kata kyai saya dulu...." Ah sudahlah.... :D Anda minta contoh? Baiklah, ingat Islam di Suriname -- sebuah bekas jajahan Belanda tempat banyak orang Jawa diangkut kesana sebagai tenaga rodi alias kerja paksa? Sebagian dari mereka belajar Islam di Jawa dengan mengatakan kalau kiblat itu menghadap kulon (barat).  Saat mereka sampai di Suriname, sampai generasi kedua dan ketiga, sholat itu masih menghadap ke barat walau tahu kalau kiblat yang ada di Mekkah itu bukan lagi di arah barat Suriname. Akibatnya masjid dan musholla di Suriname ada yang menghadap ke barat dan adapula yang menghadap ke timur. Sebagian dari mereka masih terpaku pada ajaran kyainya tanpa mau merevitalisasi ajaran. Beruntung saat ini, generasi berikutnya di Suriname sudah mulai belajar Islam dari berbagai sumber lainnya dan tidak taklid buta pada ajaran nenek moyangnya. Memang ajaran Islam itu bukan ajaran budaya yang terpaku pada apa yang diajarkan oleh generasi sebelumnya. Tetapi semua hal harus dipahami dengan kerangka berfikir kekinian. Jadi kombinasi antara iman, ilmu, niat, dan amalan harus seimbang, agar andai kata 'tersesat' masih di jalan yang benar. Contoh lain adalah, sebuah kelompok Islam di beberapa tempat di Indonesia yang menggunakan acuan perhitungan awal dan akhir puasa berdasarkan kitab-kitab yang ditulis oleh pendahulunya. Begitu mereka takzimnya pada pendahulunya tersebut, sehingga bagi mereka itulah ajaran yang paling benar yang mereka tidak akan pernah mau meninjaunya kembali. Mudah-mudahan tidak terjebak sama seperti masyarakat Suriname yang walaupun dia berada di Arab sekalipun masih tetap meyakini kalau kiblat itu berada di barat. Apalagi ya.... Oh ya, dengan ributnya ummat Islam untuk saling berkelahi, maka mereka akan semakin pintar dan cerdas. Tentu saja saya tidak berharap perkelahian ini menggunakan otot, taring dan cakar ala Animal Instinct. Biar ummat Islam berkelahi untuk saling beradu argumentasi, sehingga semua orang akan ikut berfikir, belajar, dan pada akhirnya jika mereka berbicara itu atas dasar ilmu. Malukan jika berargumentasi sampai berbusa-busa tetapi hanya mengandalkan kalimat "Pokoknya" saja. Hikmah perkalahian kata-kata dan pemikiran di akhir bulan ini membuat saya tertarik dengan dasar-dasar penentuan awal dan akhir bulan dalam kalender Hijriyah. Dalam Islam, bulan begitu sangat penting karena penentuan amalan ibadah ditentukan berdasarkan bulan. Lalu kemudian saya berfikir, bagaimana bila kemudian bulan terlambat datang karena rotasi bulan mengelilingi bumi terganggu oleh tabrakan bulan dengan asteroid atau komet Shoemaker yang ekornya menghantam bulan hingga bulan pecah menjadi 2 bahkan 3. Apakah  Anda masih ribut dengan bulan? Ataukah semua ajaran Islam terkait waktu akan gugur dengan sendirinya karena sang bulan sudah pecah menjadi 2 atau 3 bagian? Ataukah memang itu adalah akhir dari dunia? Sudah ah... Saya pusing mikirnya. Saya mau baca-baca lagi ummat Islam yang sedang berkelahi perang kata-kata  untuk memuaskan nafsu amrahnya di Kompasiana lagi. Menghibur dan lucu. Tolong, jangan ajak saya berkelahi kalau Anda tidak setuju dengan tulisan saya ini, karena saya hanya ingin jadi penonton saja sambil makan ketupat dan opor lebaran yang ghak mungkin basi karena istri saya cukup pintar menggunakan borak edisi lebaran. Monggo silahkan dilanjut... :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun