Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta Satu Malam Berujung Bahagia (Bagian 7)

16 Juli 2011   08:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:38 2570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam Cerita sebelumnya, saya mendapatkan tugas dari Ibu Sinda untuk menyelidiki Pak Herman yang sedang di Bangkok. Sayapun berangkat ke Bangkok dan menginap di Hotel Sheraton Grande Sukhumvit, hotel yang juga ditempati Pak Herman.  Di Bangkok saya sudah bisa mengontak Diah dan membuat janji untuk wawancara.

Hampir semalaman saya nongkrong di Sunday Brunch, restoran yang ada di samping lobby hotel. Padahal sudah dari jam 18.00 saya melakukan pengintaian untuk mengetahui aktifitas Pak Herman, namun belum juga saya melihatnya melewati pintu lobby.  Jam 10 malam saya sudah tidak betah duduk di restoran lagi. Sudah bergelas-gelas minuman saya habiskan untuk menemani perburuan hari pertama. Akhirnya saya memtuskan untuk kembali ke kamar di lantai 6. Sesampai di kamar saya coba untuk menelpon ke kamar Pak Herman dengan telpon lokal hotel sesuai informasi nomer kamar yang diberikan oleh Bu Dwi Rini. Sampai dengan deringan yang ke 10, panggilan tersebut belum juga ada yang mengangkatnya. Berarti Pak Herman memang belum kembali ke kamarnya. Dua Pilihan Target Pagi-pagi benar saya sudah bangun dan menyiapkan semua perlengkapan untuk wawancara dengan Diah. Sesuai pesan di facebooknya kemarin, dia akan datang ke hotel sekitar jam 8 pagi ini. Ah betapa mudahnya penyelidikan ini. Dua target dalam satu kali perjalanan. Jam 7  lewat 15 menit, saya  sudah turun ke restauran dengan membawa kamera perekam tersembunyi dan tentu saja kupon sarapan pagi yang diberikan oleh pihak hotel waktu check-in. Suasana restoran tampak sudah mulai ramai. Setelah menyerahkan kupon jatah sarapan pagi, saya berjalan menuju meja prasmanan. Oh rupanya makanan favorit hotel ini adalah seafood. Berbagai ikan laut tersaji dalam panci-panci stainless steel dengan pemanas listrik. Biasanya hotel-hotel di Indonesia menggunakan tempat makanan besar yang di bawahnya terdapat kompor berbahan bakar spirtus untuk menjaga makanan tetap hangat. Saya mengambil sedikit nasi ditambah dengan 2 potong cumi kuah hitam yang tampaknya sedap. Wuih ukuran cumi jenis sontong ini lumayan besar. Pasti telur cuminya banyak dan isinya bukan tahu dan telur yam seperti yang biasa saya temui di ruman makan masakan padang di tanah air. Tadinya saya mau tambah dengan daging bistik, namun saya meragukan kehalalan daging tersebut. Lebih aman makan seafood aja. Sebungkus kerupuk dalam toples rasanya cocok juga sebagai tambahan selera hari ini. Maklum wong ndeso, kalau tidak makan disertai krupuk raanya kurang afdhol. Saya lihat sebuah  meja kosong dekat dengan meja yang saya tempati tadi malam. Seorang waitres datang mendekat untuk menawarkan minuman. "Excuse me, tea or coffe Sir?" tanya waitress tersebut sambil menyodorkan tekonya. "I prefer orange juice. Would you please?" Jawab saya dengan wajah penuh harap. "Oke Sir, wait for a second." Jawabnya lagi dengan senyum. Tak lama kemudian dia datang lagi dengan membawa segelas penuh orange juice kesukaan saya. Rasanya minuman ini mas untuk disajikan bersamaan dengan seafood. Yah hitung-hitung untuk menetralisir rasa khas makanan laut, walaupun pada masakan cumi ini tidak berasa amis. Saya perhatikan banyak juga bule-bule eropa  yang sedang sarapan pagi. Dari aksen dan pemilihan kata, saya bisa menerka dengan mudah bahwa mereka bukan dari Australia yang lebih senang datang ke Bali, maupun bule dari Amerika yang saya kenal betul aksennya. Rata-rata mereka hanya sarapan roti plus telur mata sapi ala sandwich. Sebagian lagi yang lain lebih memilih frech fries dengan potongan daging steak yang besar. [caption id="attachment_119904" align="alignright" width="400" caption="Courtesy of http://www.123rf.com"][/caption] Persis di belakang meja saya sekelompok turis dari arab. Beberapa di antara mereka masih menggunakan baju terusan khas arab yang disebut thoub untuk pria dan abaya untuk wanita. Warna thoub yang digunakan pria-pria arab tersebut lebih sering saya temui berwarna putih atau hitam. Belum pernah ada pria arab menggunakan warna menyala seperti merah, pink, ungu, kuning, apalagi motif bunga-bunga. Bisa-bisa tuh  orang dicap 'bahlul' atau bahkan 'majnun' oleh sesama orang arab sendiri. Selain itu, pria arab tersebut menutup kepala mereka dengan kain keffiyeh (sorban) dan ikat kepala atau bandana berwarna hitam yang saya tidak tahu namanya apa. Rupanya mereka adalah orang-orang kaya arab yang sedang berlibur. Tidak lebih dari 5 menit, makanan di piring saya habis tanpa sisa. Saya kembali ke bagian roti dan kue kering. Sebuah piring kecil saya isi penuh dengan sepotong 'kue entah apa namanya' yang topping diberi cream dan 2 potong brownies kukus seperti brownies kukus Amanda. Cukuplah untuk camilan saat menunggu Diah nanti. Jam tangan Fossil saya sudah menunjukkan 08.15, Diah yang saya tunggu belum juga menampakkan wajah indahnya. Okelah, saya tunggu dengan sabar sambil terus memperhatikan orang yang lalu lalang di depan restauran. Diah sudah terlambat 30 menit dari jadwal yang dia tentukan. Saya memutuskan untuk menelponnya saja untuk memastikan Diah ingat dengan janji pertemuan kita pagi ini. Beruntung kemarin via facebook saya mendapatkan nomernya selama di Bangkok. Melalui telpon saya mencoba menghubungi Diah di bagian Bussines Corner yang melayani telpon, fotocopy hingga akses internet. Beberapa saat kemudian telpon yang saya hubungi memperdengarkan nada dering tunggu sebelum akhirnya sebuah suara terdengar di seberang sana. "Hallo, could I speak to Ms Diah please?" "Yes, I am Diah. Sorry Sir, with whom I Speak?" jawab wanita tersebut yang ternyata diah sendiri. "Hallo Diah, ini Choiron. Jurnalis yang dari Surabaya." ujar saya dengan cepat dalam bahasa Indonesia setelah yakin yang mengangkat telpon adalah Diah sendiri. "Maaf Pak, saya tidak bisa segera ke tempat Bapak, ada panggilan mendadak dari kantor. Apakah Bapak bisa kesini? Bapak bisa temui saya di.." Sebelum Diah menyebutkan alamatnya saya langsung menyela untuk tunggu sebentar untuk saya bisa menyediakan selembar kertas dan alat tulis. Beruntung di sebelah kanan telpon terdapat kertas memo dan sebuah ballpoint bertuliskan Sheraton  yang ujung atasnya terikat pada dudukan pena di meja seperti yang dipakai di beberapa bank. "Oke, saya siap mencatat." "Temui saya di Siam Paragon, Rama 1 Road, Pathumwan, blok 312. Saya tunggu secepatnya ya Pak." ujarDiah dengan nada berharap. "Baiklah, saya segera kesana. Terimakasih." Baru saja menutup telpon, saya melihat sekelebat sosok yang dari kemarin juga sedang saya cari, ya betul Pak Herman. Dia sedang berjalan keluar lobby menuju sebuah mobil Mercy warna hitam keluaran terbaru bersama seorang pria parlente berwajah indocina. Saya jadi panik karena saya harus memutuskan untuk mengikuti Pak Herman atau pergi ke Siam Paragon untuk menemui Diah. Beruntung saya masih sempat mengambil beberapa gambar saat Pak Herman sebelum akhirnya Pak Herman masuk ke dalam mobil. Namun akhirnya saya putuskan untuk ke Siam Paragon saja menemui Diah. Untuk Pak Herman saya masih punya 2 hari lagi untuk mencari tahu kegiatannya di Bangkok. Melihat aktifitasnya hari ini, sepertinya urusan Pak Herman tidak jauh-jauh dari urusan bisnis. [caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Taxi Bangkok (Courtesy of www.virtualtourist.com)"]

Taxi Bangkok (Courtesy of www.virtualtourist.com)
Taxi Bangkok (Courtesy of www.virtualtourist.com)
[/caption] Saya bergegas keluar dari lobby hotel untuk mencari taxi. Sebenarnya saya bisa menghubungi Methee, penghubung saya selama di Bangkok, namun saya harus membuat janji minimal 2 jam sebelumnya. Di depan pintu masuk, seorang petugas hotel membantu  saya mendapatkan taksi dengan menggunakan radio komunikasinya. Sesaat kemudian sebuah taksi berwarna pink berhenti di depan pintu masuk. Saya minta diantar ke Siam Paragon kepada si sopir yang ternyata cukup fasih berbahasa inggris. Saat saya tanya, dia bilang kalau sopir taxi di Bangkok memang dikursuskan bahasa Inggris agar bisa melayani wisatawan dengan baik. Pantas saja turis di sini tidak takut tersesat. Karena selain setiap nama jaman, rambu jalan dan papan nama ditulis dalam bahasa Thailand. Bahasa Thailand disebut phasa thai (ภาษาไทย) yang artinya "bahasa rakyat Thailand". Taxi yang saya tumpangi bergerak keluar dari area Hotel Sheraton Grande yang terletak di distrik Sukhumvit. Kami melewati beberapa blok masih di wilayah distrik Sukhumvit. Tampak di depan saya sebuah jalan layang tengah kota yang cukup megah. Si Sopir seolah-olah sebagai pemandu wisata saya, menjelaskan apa-apa yang saya lihat di sepanjang jalan. Menurutnya jalan tol itu bernama Chalerm Maha Nakhon Expy. Lepas dari distrik Sukhumvit saya melewati Ploenchit BTS yang merupakan stasiun pemberhentian kereta cepat. Pemerintah Thailand memang luar biasa dalam menyediakan akses transportasi umum. Tidak sampai 10 menit, saya sudah berada di depan sebuah mall super bagus masuk wilayah distrik Pathum Wan. Di bagian atriumnya terdapat tulisan Siam Paragon. Oh ini yang namanya Siam Paragon. Pagi ini parkirannya tidak terlalu penuh. Taxi berhenti sebelum pintu masuk khusus untuk pemberhentian taxi. Setelah membayar sebesar 350 baht (1 baht=280 rupiah), saya menuju ke pintu masuk Mall Siam Paragon. Di bagian depan terpampang berbagai informasi fasilitas yang bisa wisatawan kunjungi. Thailand begitu serius menggarap pariwisata. Mereka ingin wisatawan betah berkunjung ke negera mereka dengan memberikan layanan transportasi dan informasi yang baik. [caption id="" align="alignright" width="427" caption="Siam Paragon"]
Siam Paragon
Siam Paragon
[/caption] Rupanya salahsatu tempat yang menjadi andalan Siam Paragon ini adalah sebuah tempat rekreasi yang bernama Siam Ocean World yang katanya memiliki aquarium air laut terbesar di Asia Tenggara. Mirip-mirip Sea World yang ada di Ancol Jakarta. Tiket masuknya tercantum disitu sebesar 850 baht atau sekitar 283 ribu rupiah. Tapi nantilah, yang penting saya bertemu dengan Diah terlebih dahulu sebelum berkunjung ke dalamnya. Rupanya udara dingin membuat saya jadi ingin buang air kecil. Saya menelusuri koridor ke arah kanan sesuai petunjuk jalan letak toilet. Tiba di depan sebuah areal toilet saya dibuat bingung dengan jumlah ruangan yang tidak biasa. Selain toilet yang disediakan untuk pria dan wanita, di sini juga terdapat toilet untuk waria (shemale). Saya tersenyum kecut membayangkan  bagaimana repotnya menjadi waria. Seorang dengan pakaian wanita, namun saat kencing sambil berdiri. Jika dia masuk area wanita, para wanita akan risih dengan kehadiran pria lengkap dengan pistolnya. Sedangkan jika waria tersebut masuk ke toilet pria, dia takut menjadi 'korban' keusilan pria. Memang ada yang berani ganggu waria? tanya saya pada diri sendiri. Toilet waria ini adalah bentuk pengakuan pemerintah dan publik Thailand pada gender ketiga selain pria dan wanita. Memang Thailand terkenal sebagai negeri para banci. Di Thailand, banci atau dikenal dengan istilah transgender atau transexual bukan merupakan aib. Bahkan beberapa orang tua sangat bangga dengan anaknya yang artis banci. Banyak pertunjukan kabaret dan tari-tarian yang diperani oleh kelompok waria ini. Saya sempat terkejut saat  memperhatikan toilet khusus waria tersebut, tampak keluar 2 orang gadis cantik dari dalamnya. Cantik sekali, saya mungkin tidak akan menyangka kalau 2 orang tersebut adalah waria dengan baju seksi dan lekuk tubuh yang aduhai karena begitu sempurnanya operasi plastik dan riasannya. Berbeda dengan waria yang pernah saya temui di terminal bratang dan di Jalan Irian Barat Surabaya,  badan mereka rata-rata tinggi dengan rahang dan bahu masih tampak seperti pria. Belum lagi riasan mereka yang tampak kurang halus. [caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Tanda Toilet khusus Shemale atau waria di Bangkok"][/caption] Tiba-tiba salah seorang dari waria cantik yang saya perhatikan tadi menoleh dan berkata, "Sìng thī̀ khuṇ kảlạng mxng hā thī̀?", dengan mata melotot. Saya tidak mengerti ucapannya. Tapi melihat dia melotot marah, rupanya dia tersinggung karena saya melihatnya terlalu lama. "Sorry...sorry..." ujar saya sambil terburu-buru masuk ke dalam toilet pria. wah galak juga ya para waria cantik tadi. Rupanya mereka marah karena saya melihat mereka dengan ekspresi yang aneh. Berarti saya salah menggunakan ekspresi wajah saat melihat mereka tadi. Diah yang Cantik Keluar dari toilet 3 dimensi tadi, saya menaiki beberapa eskalator untuk tiba di lantai 3. Setelah berjalan memutari beberapa toko pakain import merek terkenal seperti Versace, Gucci dan Louis Vuitton, saya tiba di blok 312 seperti yang dimaksud Diah. Ternyata itu adalah sebuah kantor yang berhubungan dengan agen penerbangan. Saya masuk ke dalam dan menemui front officenya. Seorang resepsionis menyapa saya dengan berkata,"Good morning Sir. May I help you?" "Good morning, my name is Choiron. I have an appointment with Ms Diah, Diah Deestariyani." "Wait for a moment Sir." ujar respsionis tersebut sambil mengangkat gagang telpon dan menghubungi seseorang. "Please sit down. Ms Diah will meet you soon." "Thank you." jawab saya sambil berjalan menuju sekumpulan sofa yang berfungsi sebagai ruang tamu sekaligus ruang tunggu. Saya sengaja memilik tempat duduk di pojok ruangan agar bisa melihat sekeliling kantor tersebut yang dindingnya dilapisi kertas dinding (wallpaper) dengan warna krem dan motif bunga-bunga. Terdengar musik background mengalur lembut alam ruangan dari speaker kecil yang tersebar di beberapa sudut ruangan. Kali ini saya dengar Michael Learns to Rock atau yang biasa disingkat menjadi MLTR dengan lagunya 25 Minutes too Late. Tidak sampai selesai lagu tersebut habis, pintu penghubung antara ruangan dalam dengan front office dibuka. Tampak 2 orang wanita keluar dan berjalan menuju ke arah saya. Salahsatunya saya kenali sebagai Diah sesuai dengan wajah yang ada di foto-fotonya bersama Pak Herman. Sedangkan wanita sebelahnya yang tidak kalah cantiknya juga berwajah Indonesia. Saya berdiri menyambut keduanya. "Pak Choiron? Senang bertemu dengan Bapak. Kenalkan ini teman kerja saya sesama pramugari, Ayu." ujar diah membuka pembicaraan dengan saya sambil menjulurkan tangan untuk bersalaman. "Saya Ayu, Silvia Ayu Yunita" "Saya Choiron," sambil menerima uluran tangan wanita yang bernama Ayu ini untuk bersalaman. "Mari Pak, ikutin saya, kita ngobrol di luar saja ya." Sambil mempersilahkan saya untuk mengikutinya.
Sambil berjalan Diah menanyakan maksud kedatangan saya untuk menegaskan kembali pembicaraan yang telah kami lakukan di facebook sebelumnya. Diah mengajak saya ke sebuah food court di lantai atas. Kami memilih tempat duduk 1 meja dengan 4 kursi. Dia dan Ayu duduk berjajar dan saya duduk persis di depan mereka. Sebuah daftar menu disajikan oleh seorang waitres. Masing-masing memesan makan dan minuman. Kali ini saya hanya memesan Khao pad naem nasi goreng khas Thailand dengan sosis hasil fermentasi,  serta sebotol softdrink. Sedangkan Diah dan Ayu sama-sama memesan Pad thai sejenis masakan mirip Kwetiau yang berisi daging ayam dan makanan laut. Sekitar 30 menit saya menggunakan kesempatan untuk mewawancarai Diah. Mulai dari seluk beluk profesi pramugari, hingga apa tantangan wanita Indonesia kedepan. Hal itu untuk memenuhi tuntutan skenario saya sesuai pengakuan saya sebagai seorang jurnalis yang sedang membuat tulisan atau profil wanita Indonesia. Sambil makan, Diah mengutarakan pendapatnya dengan cerdas. Sesekali tawanya meledak saat dia menceritakan berbagai kejadian lucu seputar profesinya. Beberpa kali senyum Ayu mengiringi cerita Diah sebagai teman seprofesinya. Saat saya tanya sampai kapan kalian akan menjadi pramugari dan apa arti pendidikan formal bagi kalian berdua. Mereka terdiam beberapa saat sampai akhirnya Diah menjawab dengan ramah. Menurut Diah, dia tidak tahu sampai kapan. Namun terkait arti pentingnya pendidikan, Diah berpendapat bahwa pendidikan tetap penting untuk menunjang kariernya.  Ayu berpendapat senada dengan Diah akan pentingnya pendidikan formal. Bahkan mereka berdua mengaku kalau mereka juga saat ini terdaftar sebagai mahasiswi di sebuah perguruan tinggi pada jurusan public relations. Cinta Satu Malam Itu Setelah suasana cukup akrab, saya mulai menggiring pembicaraan pada hal yang menjadi tujuan utama saya datang ke Bangkok. Sangat sulit buat saya memilih kata dan kalimat yang tepat untuk masuk pada pertanyaan pribadi. "Oh ya, apakah Ayu kenal dengan Pak Herman atau Suherman dari Surabaya?" tanya saya dengan serius. "Pak Herman... rasanya saya pernah mendengar nama itu. Pak Herman yang mana ya Pak?" dengan dahi mengerut mencoba mengingat-ingat. Sayapun mengeluarkan selembar foto Diah dan Pak Herman saat keduanya sedang berada di sebuah restoran sambil berangkulan. "Wah benar ini foto saya dengan Pak Herman yang saya kenal 3-4 bulan lalu ya. Gimana kabarnya Pak Herman Pak? Bapak apanya Pak Herman?" tanya ayu dengan nada selidik. "Saya sama-sama dari Surabaya dengan Pak Herman, yah teman biasa saja. Saat beliau mendengar saya akan ke bertemu dengan Mbak Diah ini, beliau menitipkan salam dan foto ini." "Sebentar Pak, Bapak jangan bohong ya. Foto ini sebenarnya ada di kamera saya, saya tidak pernah mengirimkan foto ini ke orang lain termasuk ke Pak Herman. Jadi saya kira Bapak telah membohongi saya!" ujar Diah dengan nada ketus. Wajah saya berubah menjadi pucat pasi dan tegang. Diah yang begitu lembut dan cantik ternyata bisa juga berubah menjadi harimau yang membuat saya mati kutu dan kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaannya. Saya terdiam sambil mengatur nafas agar tenang menghadapi serangan tiba-tiba tersbut. "Sudah, sebaiknya Bapak jujur saja, dan ceritakan saja maksud Bapak yang sebenarnya." kata Ayu mencoba mendinginkan suasana. "Baiklah, saya mohon mbak Diah dan Mbak Ayu. Saya ini sebenarnya detektif partikelir yang disewa oleh istri Pak Herman untuk menyelidiki foto ini." ujar saya mencoba meyakinkan Diah dan Ayu. Akhirnya saya bercerita mulai dari awal ditelpon Ibu Sinda untuk menyelidiki dugaan perselingkuhan Pak Herman, kemudian penemuan email dan  5 foto yang dikirmkan lewat email ke email Pak Herman, sampai pada pengakuan Pak Herman pada Ibu Sinda bahwa dia tidak pernah melakukan perselingkuhan dengan wanita yang bernama Diah. Terakhir saya ceritakan kalau Pak Herman juga menggelapkan uang perusahaannya sendiri sebesar 500juta yang diduga untuk diberikan pada si wanita simpanannya. Diah dan Ayu mendengarkan dengan seksama sampai akhir cerita saya. "Pak Herman benar Pak, saya dan Pak Herman tidak pernah ada hubungan apa-apa. Bahkan setelah pertemua pertama di pesawat dan yang kedua secara kebetulan di hotel, setelah itu saya tidak pernah kontak lagi dengan beliau hingga hari ini." "Lalu siapa yang mengirimkan email dan foto ini kepada Pak Herman? Tadi kata Mbak Diah, foto ini diambil dengan kamera pribadi mbak Diah ya. Lalu mengapa di foto itu Mbak Diah dan Pak Herman begitu mesra?" "Ya itulah yang membuat saya juga bingung Pak. Saya tidak pernah kirim email BBM maupun chatting dengan Pak Herman." ujarnya dengan wajah penasaran penggantikan wajah harimaunya yang tadi sempat membuat saya takut. Ternyata secantik-cantiknya wanita kalau marah bisa menakutkan juga ya. Diah akhirnya mau menceritakan kejadian yang sebenarnya menurut versinya. Kata Diah, saat itu dia bertugas di penerbangan antara Jakarta-Bangkok. Saat di pesawat Diah sebagai pramugari menawari Pak Herman minuman dan Pak Herman meminta secangkir kopi Lampung atau Toraja. Namun kemudian Diah menawarkan Lemon Ice Tea. Entah mengapa menurut Diah, Pak Herman berubah pikiran dan memecan Lemon Ice Tea yang disarankannya. Kejadian berikutnya seperti yang diceritakan sebelumnya. Pak Herman menumpahkan Lemon Ice Tea tersebut di celananya sendiri. Diah membawa Pak Herman ke kabin belakang untuk membantu Pak Herman mengeringkan celananya. Dari situlah Pak Herman berkenalan dengan Diah. Saat Diah akan melanjutkan kembali ceritanya, saya menyela dengan pertanyaan, "Mengapa Mbak Diah menyarankan Lemon Ice Tea pada Pak Herman?" Diah mencoba mengingat-ingat kembali sebelum akhirnya menjawab, "Aha iya saya baru ingat. Pada saat  Ibu Jasmine membaca manifestasi penumpang sesaat sebelum para awak kabin berangkat. Beliau berpesan kepada saya agar penumpang pada kursi 12B ditawari dengan Lemon Ice Tea. menurut beliau, penumpang tersebut adalah teman lamanya. Bu Jasmine juga memintanya saya menumpahkan Lemon Ice Tea tersebut, namun kenyataannya Pak Herman sendiri yang menumpahkannya." "Siapa Ibu Jasmine itu?" tanya saya kepada Diah. "Beliau adalah supervisor kami. Boleh dibilang managernya para pramugari. Beliau bertugas mengatur penempatan pramugari pada beberapa penerbangan sekaligus bertugas mengevaluasi kinerja pramugari" "Loh bukankah pengaturan jadwal penerbangan, penempatan pilot dan pramugari di sebuah maskapai dilakukan dengan menggunakan sistem komputer?" "Betul pak, tetapi komputerkan tetap butuh campur tangan manusia untuk memasukkan data dan menentukan aturan." jawab Diah dengan yakin. Saya mengangguk-angguk tanda setuju. Sedangkan foto-foto tersebut menurut Dia memang dibuat di restaurant hotel mereka menginap. Saat itu Diah bertemu Pak Herman di lobby. Mereka berdua akhirnya membuat janji untuk makan malam bersama. Saat makan malam itulah Diah begitu terpesona oleh sosok Pak Herman yang menurut Diah begitu mirip Bapaknya. Diah menceritakan betapa 1 tahun ini putus kontak dengan bapak kandungnya karena bapaknya tidak menyetujui Diah menjadi pramugari. Padahal Diah begitu sayang dan mengidolakan bapaknya tersebut. Diah menceritakan pengalaman hidupnya tersebut dengan emosional. Matanya berkaca-kaca dan sesekali Diah meremas tissue yang ditanggannya tanda dia sedang resah. Ayu yang berada di sebelah Diah mencoba menenangkannya dengan menepuk-nepuk punggung Diah dengan perlahan. Setelah menenangkan perasaannya, Diah meneruskan kembali ceritanya. Pak Herman yang baru ditemuinya tersebut ternyata bisa menjadi obat rindu bagi sosok Ayahnya yang sedang marah. Makan malam waktu begitu istimewa sehingga timbullah keakraban diantara keduanya. Sedangkan Pak Herman yang memiliki 2 orang putra sebenarnya mendambakan juga kehadiran seorang putri. Rupanya kehadiran Diah menemani makan malamnya membuat Pak Herman juga merasa ada ikatan batin dengan Diah. Makan malan itu begitu berkesan bagi keduanya seperti sebuah kisah cinta satu malam. Mirip-mirip ONS (One Night Stands) tetapi rasa cinta seperti bapak dan putrinya. "Bagaimana dengan foto kalian berdua di kamar?" potong saya sebelum Diah menjelaskan lebih lanjut. "Oh, itu ceritanya, setelah kami berdua makan malam dan mengambil beberapa foto. Saya dan Pak Herman berjalan kembali menuju kamar masing-masing. Namun saat saya berdiri dari kursi bertumpu pada kaki, tiba-tiba kaki saya keseleo (jawa: keplitek) karen salah menempatkan kaki dengan sepatu tinggi saya. Pak Herman membantu memapah saya sampai ke kamar. Sebelum Pak Herman kembali ke kamarnya, saya sempat mengambil 2 foto ketika kami duduk di tepi tempat tidur." Mendengar penuturan Dia tersebut, saya menjadi mengerti cerita di balik foto yang tampak mesra seolah-olah seperti sebuah kisah cinta satu malam. "Kalau bukan Mbak Diah yang mengirimkan foto-foto tersebut lalu siapa?" tanya saya kembali pada Diah. "Mungkin pacar lama saya Pak. Sebelumnya saya berpacaran dengan pria bernama Donny, sampai akhirnya bulan minggu lalu saya putuskan karena dia ternyata ketahuan pacaran lagi. Minggu lalu dia sempat sebuah mobil baru yang katanya diberi oleh seseorang. Saya tidak percaya karena di jaman sulit seperti saat ini kok ya ada orang yang mau memberikan mobil seharga 400 juta." "Atau jangan-jangan Donny bertemu dengan Janda kaya raya atau tante--tante ala Malinda Bee." ujar saya sambil tersenyum. Diah dan Ayupun tersenyum penuh arti saat saya menyebut Malinda Bee. "Atau jangan-jangan Donny yang menggunakan email dan mengirimkan foto serta berkomunikasi dengan Pak Herman melalui BBM, serta memeras Pak Herman dengan modal foto-foto tersebut?" ujar saya melontarkan dugaan kecurigaan pada pria yang bernama Donny. "Boleh jadi Pak. Dia memang punya akses dan waktu untuk mengkopi file foto-foto saya yang ada di laptop. Dia juga tahu password email saya." kata Diah dengan wajah mulai cerah seolah-olah kita berhasil memecahkan kasus yang begitu rumit. Sebelum berpamitan untuk kembali ke hotel, saya minta Diah memberikan alamat Ibu Jasmine, Donny, serta alamat orang tua Diah. Tak lupa saya juga meminta Diah untuk Keep in Touch alias saling bertukar informasi walau hanya lewat facebook atau SMS. Saya menyalami Diah dan Ayu sambil mengucapkan terimakasih telah membantu saya memecahkan kasus ini. Setelah keluar dari pintu utama Siam Paragon, saya mematikan video recorder tersembunyi saya. Sepertinya semua penjelasan Diah bisa saya gunakan sebagai bahan untuk membuat laporan ke Ibu Sinda. Methee berjalan menghampiri saya dengan mobilnya. Saat menunggu Diah tadi, saya sempatkan untuk memberi tahu posisi saya pada Methee dan meminta untuk menjemput saya sekitar jam 12 siang. Fakta Baru, Ibu Jasmine Sekarang semua sudah jelas. Pak Herman tidak pernah selingkuh (selingan indah keluarga utuh) dengan Diah. mereka berdua hanya terlibat hubungan saling bersimpati dan berempati seperti antara bapak dan anak. Pertanyaan yang menggelitik di pikiran saya berikutnya adalah,
  1. Apa motivasi Ibu Jasmine yang katanya teman lama Pak Herman untuk menyuruh Diah menawari Lemon Ice Tea serta menginstruksikan untuk menumpahkannya, walau ternyata Pak Herman sendiri yang secara tidak sengaja menumpahkannya. Seolah-olah Ibu Jasmine ini tahu kesukaan Pak Herman pada Lemon Ice Tea.
  2. Kalau kisah awal pertemuan Bu Sinda dengan Pak Herman ini terjadi karena kasus tumpahnya Lemon Ice Tea, berarti Ibu Jasmine pasti kenal juga dengan Ibu Sinda. Boleh jadi keduanya teman akrab karena Ibu Sinda juga pernah menjadi pramugari di maskapai yang sama denga Ibu Jasmine saat ini.
  3. Benarkah Donny, mantan pacar Diah melakukan pemerasan kepada Pak Herman bermodalkan foto-foto mesra tersebut.

Sepertinya saya harus ke kembali  ke Jakarta untuk menuntaskan kasus ini. Keluarga Hefi Nasrudin Dalam perjalanan kembali ke hotel Sheraton Grande Shukumvit, saya meminta Methee yang mengurus semua keperluan saya selama di  Bangkok untuk memajukan jadwal kepulangan  saya dari lusa menjadi besok siang. Saya berharap bisa memecahkan teka-teki berikutnya sebagai lanjutan dari kasus ini. Malam hari ini nanti  saya juga berencana untuk mengunjungi teman lama saya saat kuliah dulu di kediamannya di pinggiran kota Bangkok. Suaminya bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia sebagai asisten atase pertahanan. Hefi sudah berjanji untuk menjamu saya jika saya mau mengunjunginya. Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun