Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dosen Gagal Paham

4 Mei 2014   16:21 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:53 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ini makalah apa? Isinya semua logical fallacy. Coba kamu perbaiki lagi sehingga bisa lebih sesuai dengan kaidah silogisme modern," teriak Pak Narto sambil melempar sebuah makalah ke pojok ruangan.

Semua mahasiswa terdiam mendengar kalimat-kalimat kemarahan Pak Narto, yang sepertinya memang berubah menjadi pemarah sejak Pak Narto studi lanjut untuk mengambil gelar doktornya dan tidak juga lulus.

"Ini punya siapa lagi? Makalah macam apa ini? Premis mayor dan minornya tidak jelas begini.Ini benar-benar irrelevant premises. Saya tidak tahu appeal to motivate dari tulisan ini yang lebih banyak mencantumkan genetic fallacy begini. Siapa mengajarkan kalian menulis sehingga bertebaran fallacies of irrelevant premise. Belum lagi kesalahan etimological fallacy," teriak Pak Narto sambil meremas dengan keras makalah yang dipegangnya, seperti hendak dilumatnya.

Tono dan Tini yang duduk bersebelahan hanya bisa terdiam melihat makalahnya dikoreksi Pak Narto di depan kelas dengan begitu sadisnya.

"Baik, ada pertanyaan? Kalau tidak ada saya lanjutkan materinya." Semua mahasiswa terdiam karena takut setiap ucapan, gerakan bahkan lirikan mata mereka bisa membuat Pak Narto bertambah murka.

Pak Nartopun memulai penjelasannya tentang ilmu menggambar sketsa tiga dimensi. Sementara para mahasiswa mulai kasak-kusuk saling berbisik dengan kejadian di awal perkuliahan tadi. Termasuk Tono dan Tini yang masih bingung dengan koreksi Pak Narto.

"Ton, opo yo makalahmu ancur tenan ngono tah?"

"Emboh Tin. Rumongsoku wes bener. Iku ae seng tak tulis, tak jupukno teko tulisane Pak Narto dewe nang blog-e."

"Ealah... Tibake kon iku kopi-paste toh Ton," bisik Tini sambil menahan ketawanya.

"Hehehe.. Iyo. Ngono iku sek salah ae."

Tiba-tiba terdengar bentakan dari depan kelas.

"Hei kalian berdua!!! Apa yang sedang kalian bicarakan?" Ternyata itu suara Pak Narto yang sudah berkacak pinggang menatap dengan sorot mata tajam ke arah Tono dan Tini.

"Ehmm. Matek kon yo... Uwonge ngamuk tenan," bisik Tini lagi sambil menendang kaki Tono.

"Tenang ae... Aku ae seng njawab," jawab Tono kepada Tini.

"Anu Pak... Saya dan Tini sedang mendiskusikan mengapa kami susah mengerti penjelasan Bapak yang penuh istilah rumit nan asing di telinga," kata Tono mencoba berbicara dengan tenang.

"Ya itu karena kalian aja yang malas belajar dan tidak mau memperkaya diri dengan istilah-istilah yang biasa saya gunakan," jawab Pak Narto dengan pongah.

"Kalau Bapak berkata demikian, bukankah berarti Bapak telah melakukan argumentum ad hominem dengan melebeli kami malas." Kali ini Tono menggunakan istilah yang biasa digunakan Pak Narto untuk menjawab.

"Ah apa yang kamu tahu tentang argumentum ad hominem! Yang saya ucapkan itu fakta bahwa kalian tidak bisa memahami istilah yang saya gunakan karena memang malas!" Teriak Pak Narto. Kali ini sepertinya penyakit darah tinggi Pak Narto mulai kumat.

"Sekarang Bapak mulai memberi stigma pemalas kepada kami. Itu berarti Bapak telah melakukan poisoning the well," jawab Tono masih dengan nada sopan dan intonasi yang dibuat setenang mungkin, padahal jantungnya dad-dig-dug, karena ancamannya alamat dia tidak lulus di matakuliah ini.

"Maksud kamu apa?" Kali ini Pak Tono terlihat bertanya dengan nafas terengah-engah menahan emosi yang nyaris meledak.

"Saya hanya berharap leih mengerti apa yang Bapak jelaskan dengan bahasa yang mungkin bisa lebih kami mengerti. Itu saja. Kami hanya butuh belajar dari Bapak dengan lebih mudah karena memang keterbatasan pengetahuan dan IQ kami yang di bawah rata-rata Pak. Dalam istilah blog, itu dissebut KISS Pak."

"Apa itu KISS?" Tanya Pak Narto sambil terus mengatur nafasnya.

"Keep it simple stupid, Pak." Tono mencoba mengendalikan ekspresi wajahnya agar tidak tampak tersenyum atau membuat Pak Narto marah melihat dirinya. Apalagi saat menyebutkan kata 'stupid'.

Namun....

"Jadi kamu menganggap saya ini bodoh ya!!!" Teriak Pak Narto kembali.

"Sudah-sudah. Kamu saya larang untuk berbicara lagi di kelas ini! Kamu tidak boleh lagi berkomentar atau menjawab pertanyaan saya! Semua ucapanmu hanya red herring belaka!"

Semua terdiam, tanpa kecuali Tono yang merasa kasihan dengan Pak Narto yang gagal paham dengan pertanyaan dan penjelasannya. Tini maju ke depan membawa air gelas mineral yang diberikan Tono untuk Pak Narto. Tono tidak mau memberikan air dalam kemasan tersebut, takut malah membuat Pak Narto menjadi semakin marah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun