1.Pengantar : Ketahanan Energi
Ketahanan energi memang menjadi issue utama hampir di seluruh negara di dunia, terutama negara konsumen energi. Tak terkecuali Indonesia yang saat ini menjadi salah satu negara pengimport minyak terbesar di asia tenggara [1]. Padahal sebelumnya, Indonesia merupakan negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC atau Organization of the Petroleum Exporting Countries sejak tahun 1962, namun keluar pada tahun 2008, karena Indonesia telah berubah menjadi negara pengimpor sejak tahun 2003. Hal ini dikarenakan konsumsi minyak Indonesia lebih besar daripada produksi dalam nasional [2]. Data yang dikutip liputan6.com menyebutkan, kalau minyak nasional hanya mampu memproduksi hingga 820 barel per hari karena belum ditemukannya sumur minyak baru. Sedangkan kebutuhan per harinya hingga 1.6 juta barel, sehingga harus import hingga US$ 185 juta per hari [1].
2.Konversi Energi dan Permasalahannya
Langkah cepat dan tepat untuk penyelamatan ketahanan energipun dilakukan pemerintah dengan melakukan konversi energi dengan membatasi distribusi minyak tanah dan ‘memaksa’  masyarakat beralih ke gas. Untuk itu, pemerintah membagikan kompor gas dan tabung gas 3kg secara gratis, sebagai langkah mempercepat sosialisasi penggunaan gas. Tentu saja pada awalnya, konversi minyak ke gas cukup menimbulkan masalah di masyarakat. Tabung gas 3kg menjadi momok karena begitu seringnya pemberitaan tabung gas meledak dan kebakaran, hingga tabung gas 3kg warna hijau mendapat julukan ‘bom melon’ karena warnanya yang sama seperti buah melon. Penyebabnya bukan hanya karena masyarakat masih baru dalam penggunaan gas, tetapi juga karena komponen peralatan kompor gas seperti selang dan regulator, yang kurang baik untuk digunakan [4]. Saat ini, kecelakaan yang diakibatkan penggunaan tabung gas, sudah tidak lagi terdengar.
Mengapa langkah pemerintah dikatakan tepat? Pertama, cadangan minyak bumi semakin menipis dan hanya cukup untuk 53 tahun ke depan [5], sedangkan cadangan gas alam Indonesia justru berlimpah dan cukup untuk 59 tahun ke depan sampai digunakannya energi alternatif lainnya [6]. Kedua, harga minyak dunia yang terus meningkat. Sedangkan konsumsi bahan bakar minyak, termasuk minyak tanah, disubsidi oleh pemerintah agar harganya menjadi murah. Akibatnya, anggaran subsidi pemerintahpun meningkat, sehingga berakibat pada defisit anggaran. Pemerintah memandang perlu memangkas subsidi untuk BBM dan gas, agar anggarannya bisa dialihkan untuk program pemerintah lainnya yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat, seperti tunjangan kesehatan, pendidikan dan pembangunan infrastruktur. Konversi minyak tanah ke gas saja bisa menghemat anggaran hinga Rp.123 trilyun [7]. Ketiga, Â BBM dan gas yang disubsidi lebih sering tidak tepat sasaran karena justru dinikmati oleh orang kaya dan industri. Adanya BBM dan gas bersubsidi memang menyebabkan adanya disparitas harga yang berakibat pada banyaknya kasus penyelundupan BBM dan gas, seperti penjualan minyak tanah, bensin dan solar ke industri, konsumsi premium oleh mobil mewah, hingga pengoplosan tabung gas 3 kg ke 12 kg yang harganya untuk non subsidi. Tahun 2013, ada 900 kasus yang terungkap terkait penyalahgunaan BBM dan gas [8].
3.Kenaikan Harga BBM dan Gas
Pada jaman Orde Baru, rakyat memang tahunya semua harga murah dan stabil karena disubsidi. Menurut Daniel Anzar dikutip dari merdeka.com [9] menyatakan, Â "Kalau mereka bilang enakan zaman Pak Harto, itu enggak salah, karena di situ semua subsidi dibiayai utang dan eksploitasi besar-besaran." Hutang luar negeri Indonesia saat itu selain untuk subsidi, juga banyak dikorupsi. Akibatnya, Soeharto mewariskan hutang yang begitu banyak. Selain itu, sulit juga bagi pemerintahan berikutnya untuk mencabut subsidi BBM dan beranggapan kalau kita ini masih kaya raya dengan kandungan minyak bumi.
Menurut laporan National Geographic, Indonesia adalah salah satu negara pemberi subsidi terbesar di dunia dari 11 negara. Sepuluh negara lainnya adalah Iran, Arab Saudi, Rusia, Mesir, China, Amerika, India, Venezuela, Uni Emirat Arab dan Uzbekistan. Disebutkan juga, harga bensin di Arab Saudi justru lebih murah daripada sebotol air mineral [10]. Â Pemberian subsidi yang terlalu besar juga dinilai tidak sehat oleh berbagai kalangan, seperti India yang memiliki penduduk miskin yang cukup besar, subsidi BBM yang mereka lakukan justru diterima oleh masyarakat yang mampu [11].
Jadi, adalah hal yang wajar bila pemerintah mencabut subsidi BBM yang tidak tepat sasaran, dan mengalihkannya ke berbagai program yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas nasional. Ganjalan kenaikan BBM dan gas dengan menghapus subsidi saat ini adalah adanya dampak pada tingkat inflasi yang tidak bisa tidak akan terjadi, sehingga akan memberatkan daya beli masyarakat. Namun bukankah pemerintah sendiri sudah begitu berpengalaman dalam menaikkan harga BBM dan gas secara gradual dan membuat program kompensasi dalam bentuk semacam BLT, untuk mengurangi dampak bagi masyarakat miskin.
4.Skema Penyesuaian Harga Elpiji Pertamina
Saat ini, pemerintah melalui Pertamina, berencana menaikkan harga dengan melakukan penyesuain harga gas hingga tahun 2016 nanti mencapai harga keekonimian. Saat ini per tabung ukuran 12kg dihargai Rp.92.500 yang dipasaran dijual seharga Rp.100.000. Akhir tahun 2014 ini, Pertamina mematok harga sebesar Rp. Rp. 103.700/tabung. Tahun 2015, naik sekitar 50% menjadi  Rp.147.000/tabung dan hingga januari 2016, harga per tabung akan mencapai Rp. 175.900 atau sekitar 90% dari harga saat ini.
[caption id="attachment_343571" align="aligncenter" width="600" caption="Meteran Gas PGN - Gambar dari @Ipunk"]Skema Kenaikan harga Elpiji tabung 12kg hingga 2016 (Sumber: Pertamina[12])
Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa 3 teman pengguna tabung gas elpiji 12kg, rata-rata penggunaan per tabung bisa hingga 2.5 - 3 bulan aktif untuk memasak untuk keluarga sebanyak 3-4 orang. Itu berarti, biaya yang dikeluarkan per bulan untuk elpiji per bulan sekitar Rp. 30 ribu hingga 40 ribu rupiah. Penggunaan elpiji juga tergantung jenis kompor hemat elpiji atau bukan. Jadi bila harga elpiji 12kg naik hingga Rp.180 ribu, berarti biaya belanja gas elpiji perbulan sekitar Rp.60 ribu per bulan. Untuk kalangan kelas menengah dan bawah dengan pendapatan minimal Rp. 2 juta per bulan, biaya tersebut masih cukup terjangkau. Sedangkan untuk kelas bawah yang penghasilannya di bawah Rp. 2 juta, biasanya meeka akan menggunakan elpiji tabung 3kg yang masih disubsidi pemerintah. Namun, disparitas harga antara elpiji 3kg dan 12kg cukup jauh, kembali lagi akan memicu munculnya oknum-oknum nakal yang akan membajak elpiji 3kg dan menjualnya dalam kemasan 12kg.
5. Penutup: Pertamina dan PGN
Saat saya dan beberapa teman berdiskusi tentang rencana kenaikan gas Pertamina, seorang teman menertawakan keresahan kami pengguna gas elpiji Pertamina yang selalu dibuat resah dengan kenaikan berkala. Ternyata, teman saya tersebut di kompleks perumahannya menggunakan gas berlangganan dari PGN atau Perusahaan Gas Negara yang langsung terhubung melalui pipa ke rumah-rumah.  Menurutnya, selain praktis karena tidak perlu  mengagangkat tabung gas, biaya bulanannya tergolong murah. Rata-rata biaya pemakaiannya sekitar Rp. 32 ribu saja per bulan. Saya jadi berharap, andai semua masyarakat terlayani kebutuhan gas rumah tangganya dengan model berlangganan PGN ini. Mengapa gas PGN lebih murah daripada gas Pertamina? Selain karena adanya biaya distribusi atau pengangkutan tabung, PGN ternyata menerapkan subsidi silang antara pelanggan industri dengan pelanggan rumah tangga.
Ternyata selama ini PGN selama ini lebih banyak melayani kebutuhan gas untuk industri daripada rumah tangga. Bahkan sebenarnya, PGN sendiri berencana memperluas area pelanggan yang saat ini hanya sekitar 90 ribu di seluruh Indonesia, dari 1 juta pelanggan. Alasan utamanya adalah karena mahalnya biaya membangun infrastruktur jaringan pipa gas [13]. Memang, biaya pendaftaran langganan PGN masih cukup mahal. Seorang teman yang tinggal di Bantarjati - Warung Jambu Bogor menyebutkan angka 2 juta rupiah untuk biaya berlangganan. Itupun harus antri hingga 2 tahun, hingga akhirnya dapat menikamti gas alam secara berlangganan. Sedangkan seorang teman di Deltasari Sidoarjo menyebutkan biaya instalasi awalnya sekitar 1 juta rupiah beberapa tahun lalu.
Andai Pemerintah memprioritaskan pembangunan infrastruktur gas berlangganan, tentu PGN akan dapat melayani masyarakat dengan lebih luas lagi. Selain itu, pasti beban Pertaminan untuk menyediakan gas elpiji dalam tabung akan berkurang. Masyarakat juga akan dapat menikmati gas dengan harga murah, aman dan praktis, tanpa harus menggotong-gotong tabung gas yang begitu berat dan beresiko. Pemerintah juga diharap memberikan subsidi biaya pemasangan awal, atau minimal dalam bentuk pinjaman untuk dicicil dalam waktu 1 tahun, sehingga biaya pemasangannnya bisa terjangkau. PGN juga bisa mencontoh PLN yang menerapkan kerjasama dengan pihak ketiga dalam melaksanakan instalasi sambungan baru dengan biaya terjangkau.
Bagaimana dengan gas berlangganan ala PGN? Anda mau?
REFERENSI
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Negara-Negara_Pengekspor_Minyak_Bumi
[7] http://www.merdeka.com/uang/konversi-minyak-tanah-ke-gas-3-kg-diklaim-hemat-rp-123-triliun.html
[8] http://www.bphmigas.go.id/new/berita/disparitas-biang-keladi-penyelewengan-bbm/
[9] http://www.merdeka.com/peristiwa/di-zaman-soeharto-utang-dipakaui-untuk-bayar-subsidi.html
[10] http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/06/11-negara-dengan-biaya-subsidi-bbm-terbesar-di-dunia
[12]Â https://docs.google.com/file/d/0B6tFwXUo6zhzaDVXQUJwd3lwSWM/edit
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H