Mohon tunggu...
Chatarina Komala
Chatarina Komala Mohon Tunggu... Tenaga Lepas -

“We write to taste life twice, in the moment and in retrospect.” ― Anaïs Nin

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bulan di Kotamu, Bayangan di Kotaku

18 Juli 2011   02:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:35 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kamu pernah bilang. Bulan itu lambang kecantikan. Dia adalah dewi kecantikan. Bukan hanya itu, bulan adalah simbol kedamaian. Kedamaian yang menghangatkan saat dingin malam mulai merasuk dan,menerangi saat gelap malam mulai membutakan pandangan mata. Tapi aku bilang, bulan hanya benda bulat yang punya banyak bopeng di wajahnya. Bulan tidak bercahaya, dia hanya memantulkan cahaya. Kemudian kamu berkelit, dan kamu menceritakan padaku banyak sejarah peradaban yang menggantung dirinya pada, Bulan.

Jogja, Januari 2000

Percakapan kita malam itu tentu masih terngiang dalam telingaku, merasuk melalui otakku, dan kemudian hatiku. Kita berbeda. Kamu memandang segalanya dengan hati. Aku memandang segalanya dengan logika. Tidak tahu mana yang benar. Yang jelas, tak mungkin pandanganku yang salah, dan tak mungkin juga pandanganmu yang salah.

Seperti kali ini. Malam ini. Aku menempatkan diriku di bawah atap teras depan. Mencoba mencari kamu. Mencari kata - katamu yang terus saja membuyarkan pikiranku tentang, bulan.

Sudah sepi disini. Padahal jam dinding yang masih saja berdetak baru saja menunjuk pukul setengah delapan malam. Listrik di kotaku mendadak padam. Membuat dua komplek pemukiman yang dikelilingi dengan perkebunan dan sawah menjadi gelap mendadak. Termasuk rumahku. Membuatku tidak bisa melanjutkan pekerjaan yang mulai memaksaku untuk diselesaikan. Dan inilah sekarang kondisiku, sendiri di teras, menatap langit, dan menikmati secangkir teh panas yang belum kunjung dingin.

Dan saat ini aku mulai membayangkan terjadinya fenomena yang tak pernah masuk akal. Bahwa kamu, bergegas pergi dari kotamu yang selalu kamu anggap modern itu, dan kembali ke sini, di tempat ini, di waktu sepuluh tahun yang lalu.

Kamu jelas sudah tampak berbeda. Hebat. Kata pertama yang paling cocok untuk kuucapkan padamu. Keren. Kata kedua. Menggunakan kemeja lengan panjang dibalut dengan jas berlapis beludru mungkin sedikit membuatmu gerah. Tapi itulah simbol kekuatan yang selalu ingin kau raih. Dan aku ingat betul, bukan kau saja yang menginginkan simbol itu, tapi semua orang dalam kotamu.

Aku meniup teh yang masih belum dingin. Menyeruputnya sedikit. Masih panas. Dan aku membayangkan, sepanas inikah neraka yang selalu kau sanjung sebagai surga ?

Aku mulai menatap bulan. Bulan yang utuh, bulat, dan berwarna jingga. Dan kemudian teringat lagi, bahwa kamu pernah berkata, bahwa bulan berwarna jingga itu indah. Sangat indah jika melihatnya melalui tiga indera. Melihatnya, mendengarnya, dan merasakannya.

Listrik masih belum menyala, dan itu artinya aku harus menunggu lebih lama dari perkiraanku, mungkin besok, untuk segera melanjutkan pekerjaanku.

Dan saat ini, detik ini. Pandanganku mulai menuju pada satu titik. Bayangan. Seperti kata buku, bayangan akan terbentuk bila ada cahaya. Sontak aku melihat sekeliling. Tak ada cahaya. Listrik masih padam, dan sinar dari lampu petromax takkan cukup untuk membentuk bayangan dari pepohonan yang sebesar dan sebanyak itu.

Dan kemudian aku kembali teringat katamu sepuluh tahun silam. Bulan menerangi saat gelap malam mulai membutakan kita. Bulan memberi cahaya. Meskipun bukan cahayanya sendiri. Bulan menerangi. Dan kusadari, kamu benar.

Tapi waktu berjalan. Begitupun dengan bulan, dan juga hidup. Aku kira roda hidup telah berputar terlalu ekstrim. Menjadikan bumi berubah arah seratus delapan puluh derajat. Menjadikan kita berubah menjadi pribadi yang berbeda, berkebalikan, namun tetap bertolak belakang.

Kamu mencoba berpikir masuk akal, sementara aku yang sudah lama kehilangan akal, berubah menjadi berpikir sepertimu. Dengan perasaan, dengan hati, dengan keindahan.

Bayangan pepohonan itu masih membisu. Mereka hanya dapat bergerak jika angin bertiup. Dan bulan masih terang. Sinarnya yang berwarna jingga masih ada, dan itu sangat membuatku ingin mengajakmu ke tempat ini.

Tapi mungkin kamu, di kotamu yang terlampau modern itu, sedang menikmati ribuan warna dalam layar LCD - mu. Dan tak memperhatikan bahwa bulan kali ini berwarna jingga.

Bulan di kotamu mungkin sudah tergusur dengan kelap - kelip lampu penerangan jalan dan gemerlap lampu hias yang membuat kamu, serta semua orang di kotamu menjadi mendadak buta untuk melihat kearah bulan. Membuatmu dan seluruh orang di kotamu, menjadi mendadak lupa, walaupun hanya untuk sekedar menyadari bahwa ada bayangan yang terpantul di tempat berpijak yang bisa mengingatkanmu dan semua orang di kotamu yang sudah terlanjur mati rasa itu, tentang Bulan.

***

Semilir angin berhembus. Dan bayangan itu meliuk - liuk ke kanan dan ke kiri mengikuti hembusan angin. Bayangan itu masih ada, begitupun dengan bulan. Dan aku.

Cuma kamu yang menghilang. Bukan ditelan bumi. Tapi ditelan hatimu yang sudah terlanjur beku oleh kotamu sendiri.

Dan aku bisa menebak. Lagi, dan lagi, seperti apa neraka yang selalu kau sebut surga..

Bulan malam ini mungkin masih ada di kotamu, tetapi bayangannya jelas ada di kotaku..

12 Januari 2010

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun