Dan kemudian aku kembali teringat katamu sepuluh tahun silam. Bulan menerangi saat gelap malam mulai membutakan kita. Bulan memberi cahaya. Meskipun bukan cahayanya sendiri. Bulan menerangi. Dan kusadari, kamu benar.
Tapi waktu berjalan. Begitupun dengan bulan, dan juga hidup. Aku kira roda hidup telah berputar terlalu ekstrim. Menjadikan bumi berubah arah seratus delapan puluh derajat. Menjadikan kita berubah menjadi pribadi yang berbeda, berkebalikan, namun tetap bertolak belakang.
Kamu mencoba berpikir masuk akal, sementara aku yang sudah lama kehilangan akal, berubah menjadi berpikir sepertimu. Dengan perasaan, dengan hati, dengan keindahan.
Bayangan pepohonan itu masih membisu. Mereka hanya dapat bergerak jika angin bertiup. Dan bulan masih terang. Sinarnya yang berwarna jingga masih ada, dan itu sangat membuatku ingin mengajakmu ke tempat ini.
Tapi mungkin kamu, di kotamu yang terlampau modern itu, sedang menikmati ribuan warna dalam layar LCD - mu. Dan tak memperhatikan bahwa bulan kali ini berwarna jingga.
Bulan di kotamu mungkin sudah tergusur dengan kelap - kelip lampu penerangan jalan dan gemerlap lampu hias yang membuat kamu, serta semua orang di kotamu menjadi mendadak buta untuk melihat kearah bulan. Membuatmu dan seluruh orang di kotamu, menjadi mendadak lupa, walaupun hanya untuk sekedar menyadari bahwa ada bayangan yang terpantul di tempat berpijak yang bisa mengingatkanmu dan semua orang di kotamu yang sudah terlanjur mati rasa itu, tentang Bulan.
***
Semilir angin berhembus. Dan bayangan itu meliuk - liuk ke kanan dan ke kiri mengikuti hembusan angin. Bayangan itu masih ada, begitupun dengan bulan. Dan aku.
Cuma kamu yang menghilang. Bukan ditelan bumi. Tapi ditelan hatimu yang sudah terlanjur beku oleh kotamu sendiri.
Dan aku bisa menebak. Lagi, dan lagi, seperti apa neraka yang selalu kau sebut surga..
Bulan malam ini mungkin masih ada di kotamu, tetapi bayangannya jelas ada di kotaku..