Mohon tunggu...
Nindya Chitra
Nindya Chitra Mohon Tunggu... Novelis - Pengarang dan Editor Paruh Waktu

Hubungi saya di Instagram atau Twitter @chitradyaries

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kisah Anak dari Korban Perkosaan dalam Novel Gerimis di Mata Rinai

1 Maret 2022   14:51 Diperbarui: 1 Maret 2022   16:01 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah selesai membaca manuskripnya, saya sempat bertanya pada Aluna, bagaimana bisa terpikir untuk menulis cerita yang anti-mainstream seperti ini? Latar daerah yang kental, isu kemanusiaan, pergolakan emosi yang kuat, serta tragedi yang sempat membuat saya bergidik dan geleng-geleng kepala---benar-benar terasa nyata. Setiap karakternya membawa emosi yang manusiawi, tidak digambarkan sempurna atau terlalu dibuat-buat, tetapi justru memperkuat alur ceritanya. Aluna mengaku bahwa cerita ini terinspirasi dari kisah nyata! Seseorang pernah mengalami kisah tragis sekaligus indah ini!

Saya tidak menyangka ada sosok Sabai, Rinai, dan Syamsu yang asli dalam bentuk manusia. Selain terkejut, saya merasa beruntung, Aluna menangkap dan mengabadikan kisah ini dalam bentuk buku dan dapat menyebarluaskan hingga pelajaran hidupnya terabadikan.

Aluna senang memaparkan cerita dengan padat. Sama seperti Dari Rindu kepada Kenang yang pernah saya sunting, Gerimis di Mata Rinai juga termasuk novel dengan halaman tidak begitu tebal. Meski dalam beberapa adegan tampak terburu-buru dengan lompatan waktu yang cukup jauh, tetapi makna cerita tersampaikan dengan halus dan maksud lompatan itu pun dapat dipahami sebagai kebutuhan cerita. Aluna tak suka mendramatisasi keadaan atau tokoh. Dia menyampaikan emosi dan masalah yang dialami para tokohnya, lebih sering apa adanya. Namun, hal ini tidak mengurangi bangunan suasana cerita karena telah terbentuk melalui gaya cerita yang cenderung melankolis. Mungkin gaya cerita ini terbentuk berkat kepiawaiannya berpuisi.

Cerita dimulai dari kilas balik kelahiran Senandung Rinai yang tidak diinginkan oleh ibunya, Sabai Rangkuti, kemudian bergerak ke lima belas tahun setelahnya, menyorot kehidupan Sabai yang dianggap orang gila dan Rinai yang tumbuh sebagai anak autisme tanpa kasih sayang. Sabai membenci Rinai karena anak itu mengingatkannya pada tragedi perkosaan yang berakhir dengan dirinya yang diarak keliling desa dan ditinggal kekasihnya, Syamsu Chaniago. Sejak kejadiaan nahas yang menimpa Sabai, Syamsu tak pernah kembali ke desa tempat mereka tinggal. Semula, orang-orang mengira Syamsu-lah ayah dari Rinai karena selama belasan tahun itu Sabai hanya bungkam. Ternyata, rahasia tragedi itu tak sesederhana dugaan orang-orang.

Dari tiga tokoh utama yang menonjol: Rinai, Sabai, dan Syamsu, tokoh favorit saya adalah Syamsu. Meskipun dia digambarkan lemah dan penuh kekurangan di awal, karakternya terus berkembang seiring berjalannya cerita. Karena dia bisa dibilang tokoh kunci dalam cerita ini, perkembangannya mempengaruhi perkembangan tokoh-tokoh lain.

Ranah Minang yang menjadi latar novel ini tidak digambarkan dengan detail, meski begitu, Aluna memasukkan latar ke dalam kehidupan sehari-hari tokohnya, cara berpikir tokohnya, perilaku tokohnya, keputusan-keputusan yang dibuat, serta hal-hal lain yang lebih halus sehingga latar tersebut terasa lebih meresap ke dalam benak pembaca, tidak sekadar tempelan.

Setelah menuntaskan kisah ini, saya menangkap amanat penting: terkadang, ada hal-hal buruk yang tidak terduga terjadi dalam hidup. Meski berat, kita perlu belajar menerima dan memaafkan, kemudian menjadikan pengalaman itu pijakan untuk bertumbuh menjadi lebih baik. Karena memaafkan dan menerima memberikan manfaat untuk diri kita sendiri dibanding terus mengutuk, membenci, sampai akhirnya kehilangan hal terbesar: diri sendiri.

Kisah tragis yang menyentuh jiwa. Silakan hubungi penulisnya di Instagram @alunaaksara jika kamu tertarik meminang satu atau mungkin banyak kopi novel ini. Aku rekomendasikan novel ini untuk pembaca usia dewasa muda ke atas, ya, karena isu yang dibahas lumayan sensitif untuk remaja. Namun, kalau kamu remaja yang tertarik belajar tentang tanggung jawab dan ikhlas, dengan sedikit bumbu dampak kekerasan seksual, kamu boleh baca novel ini. Ada cukup banyak kata-kata umpatan. Semoga kamu mampu menyikapinya dengan bijak.

Sekian. Terima kasih telah membaca reviu singkat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun