Tahun ini kita dikejutkan hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) di negara Filipina dimana Marcos Junior alias Bong Bong memenangkan konstestasi negara itu. Seperti diketahui, Bong bong adalah anak dari almarhum Marcos Senior alias Ferdinand Marcos yang digulingkan dalam demonstrasi besar pada tahun 1986.
Itu terjadi karena kepemimpinan Ferdinand Marcos selama dua decade dinilai diktaktor, koruptif dan banyaknya pelanggaran HAM pada masa kepemimpinannya. Setelah digulingkan, Ferdinand Marcos mengasingkan diri ke Hawaii dan meninggal pada 1989.
Sifat koruptif keluarga Marcos kala itu, dibeberkan oleh media massa dengan koleksi sepati dan busana milik istrinya, Imelda Marcos yang sangat mahal bagi ukuran rakyat Filipina. Seperti diketahui, meski negara itu relative dekat dengan Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara di Eropa, tingkat kehidupan rakyatnya tidak terlalu baik. Sebagian malah harus keluar negeri sebagai tenaga kerja tanpa keahlian khusus.
Kemenangan Bong Bong dikatakan mengejutkan karena pilihan itu didominasi para pemilih muda yang kurang tahu sejarah keluarga Marcos secara lengkap. Ketidaktahuan sejarah ini bisa jadi merupakan disinformasi soal keluarga itu.Â
Perilaku keluarga Marcos yang buruk seperti saya ungkap diatas tertutupi oleh beberapa buzzer yang dipakai oleh keluarga itu untuk memperbaiki citra politik mereka.Â
Beberapa pihak mencatat bahwa selama dua tahun sebelum Pilpres Filipina diadakan, perbaikan cita politik itu mulai dikerjakan oleh para buzzer itu. Beberapa pengamat mengatakan bahwa buzzer-buzzer itu juga melontarkan narasi-narasi yang keras bahkan tajam untuk menjatuhkan lawan mereka.Â
Terlepas dari  Filipina, Indonesia juga mengalami hal yang nyaris sama. Mungkin kita ingat Pilpres 2014 dan tahun 2019 dimana narasi-narasi yang dilontarkan oleh dua pihak sangat tajam dan "membelah" bangsa. Bahkan beberapa diantaranya adalah disinformasi.
Ucapan kampret dan kadrun "dipelihara" sampai sekarang oleh beberapa pihak. Hal itu menunjukkan bahwa dampak keterbelahan itu begitu dahsyat. Hal yang sama juga terjadi saat Pilkada Jakarta, dimana keterbelahan disebabkan karena SARA. Dan itu sangat menyakitkan bagi kedua belah pihak.
Terlepas juga dari Pilpres dan Pilkada, narasi-narasi kasar menjadi hal yang akrab dengan warganet Indonesia. Efek Anonymous dengan membuat akun palsu, seringkali menjadi tameng yang aman bagi netizen untuk mengungkapkan kata kasar, tak santun dan sering tidak bisa dipertanggungjawabkan bahkan fitnah. Narasi bahwa si A adalah PKI, atau si B disebut si tolol adalah narasi-narasi yang tak layak diucapkan di kehidupan nyata dan maya sekalipun.
Narasi-narasi itu cenderung berdampak psikologis yang dalam semisal luka hati dan rasa benci yang cenderung permanen. Narasi-narasi kasar itu juga berlindung dibawah tameng demokrasi. Seakan demokrasi adalah
Sudah saatnya kita mengubah gaya bermedsos kita. Jika di kehidupan nyata warga Indonesia dikenal sebagai warga yang santun, ramah dan murah senyum. Kenapa di dunia maya kita dikenal sebagai warga yang senang memaki, mudah marah dan tajam dalam berkata-kata.
Memang tidak mudah untuk mengubah narasi-narasi itu menjadi narasi yang santun, tapi bukan berarti  tidak bisa dilakukan bukan?
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H