Mohon tunggu...
chitania sari
chitania sari Mohon Tunggu... Freelancer - mahasiswa

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ego Nabi Ibrahim dan Ego Kita

23 Juli 2021   13:58 Diperbarui: 23 Juli 2021   14:03 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibrahim memang seorang yang teguh.Bapak banyak bangsa ini menjadi hulu bagi tiga agama samawi atau lebih tepatnya kita menyebut dengan agama abrahamik; agama yang berhulu nabi Abraham / Ibrahim , yaitu yahudi, islam dan kristen.

Namun kali ini kita bincangkan dari sudut agama Islam, dimana Ibraham diminta oleh Allah untuk menyembelih anaknya sendiri. Padahal Ismail, adalah anak yang secara khusus diminta oleh Ibraham dan diberi oleh Allah setelah sekian lama Ibrahim memohon.

Ketika Allah meminta Ibrahim menyembelih anaknya sendiri, Ibrahim melihatnya dengan mata iman yang luas. Dia tahu bahwa Allah adalah pemilik segala sesuatu di dunia, bahkan nyawa kita. Sehingga meminta anak yang sangat dikasihinya dan sulit diperoleh itupun di turutinya, tanpa banyak tanya.

Hingga tiba saatnya dia benar-benar akan menyembelih Ismail, Allah mengetahui seberapa luas dan dalam iman Ibrahim kepada Allah sehingga dia mengganti Ismail dengan beberapa hewan yang saat itu terjebak di ranting pohon.

Bisakah kita meneladani keimanan Ibrahim; yang mampu meluruhkan egonya meski itu sangat sulit demi imannya kepada Allah ?

Bagi kita harta, keluarga yang sakinah dan karir adalah "Ismail" yang diberikan oleh Allah kepada kita. Tak semua orang yang bisa menyaingi karir kita yang meroket. Atau tak ada yang tidak iri saat seseorang dipersunting oleh seseorang yang ganteng dan kaya dan kemudian diberi keturunan yang sempurna dan hidup berkecukupan serta nama yang tenar. Itu adalah 'Ismail yang kita punya.

Lantas, bagaimana jika "Ismail" itu diminta oleh Allah. Atau oleh kondisi dan situasi, para ismail itu lenyap dalam sekejap dari genggaman kita. Penggambaran ini sering dilontarkan banyak orang pada masa pandemi Covid-19 saat ini.

Bagaimana 'para ismail' yang kita punya yaitu keluarga yang kita cintai tiba-tiba meninggalkan kita karena penyakit ini. "Ismail" itu bisa berwujud anak kita yang masih kecil, orangtua  yang sangat kita kasihi, atau istri atau suami yang sangat kita cintai. Apakah kita rela dan ikhlas melepas mereka.

Sikap Ibrahim yang sabar dan matang mungkin bisa teladani sampai sekarang. Meluruhkan ego sebelum Allah meminta ismail kita. Kita rela dan ikhlas untuk selalu menjaga jarak, menerapka prokes, dan mengurangi mobilisasi ada ego yang kita tekan agar semuanya berjalan dengan baik ; Covid tidak menyebar dengan luas.

Sama halnya dengan nabi Ibrahim, dengan meluruhkan ego, kita semua mendapat tempat di hati Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun