Mohon tunggu...
chitania sari
chitania sari Mohon Tunggu... Freelancer - mahasiswa

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Ramadan dalam Satu Frekwensi

29 April 2021   17:17 Diperbarui: 29 April 2021   17:26 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum Pandemi terjadi, bulan Puasa adalah sesuatu yang tidak saja ditunggu-tunggu oleh masyarakat muslim, tapi juga umat lain menantikan momentum itu. Pada bulan itu memang  kerap ada pasar kaget yang muncul di pinggir jalan-jalan kampung, di alun-alun-alun kota sampai pada perumahan tempat banyak kost mahasiswa. Mereka tidak saja menjual takjil tapi juga penganan untuk berbuka puasa. Banyak diantara para pedaganga dadakan itu yang non muslim, tapi mereka berupaya menyediakan masakan sebagai buka puasa (dan sebagian juga sahur pada tengah malam)

Di beberapa kota kecil, gereja setempat menyediakan juga menyediakan buka puasa gratis bagi yang membutuhkan. Setiap hari puluhan sampai ratusan kotak disedikan oleh para suster di sebuah yayasan Katolik di sebuah kota kecil. Banyak gereja di beberapa kota juga melakukan hal serupa.

Anak sekolah juga menunjukkan toleransinya. Beberapa diantara mereka yang biasa membawa makanan dari rumah sebagai bekal di sekolah, memakannya di beberapa ruang tertutup agar tidak memecah konsentrasi teman-teman mereka yang menjalankan ibadah puasa. Ini tentu saja terjadi sebelum pandemi karena selama pandemi memang belum ada sekolah yang beroperasi dengan rentang jam yang panjang. Sebagian sudah beroperasi dengan rentang waktu pendek.

Ramadhan adalah ritual umat Islam. Tapi ritual ini mengandung dimensi sosial bahkan lintas iman. Toleransi seperti dijelaskan di atas bukan saja milik kaum rakyat smata, namun juga tokoh-tokoh lintas agama. Para suster dan pastor dengan tulus membagikan kotak buka puasa untuk kaum muslim adalah cermin bahwa mereka menghargai kepercayaan umat lain (muslim).

Begitu beberapa orang Biksu di ashram juga melakuknan hal yang kurang lebih sama. Mereka membaktikan diri bukan saja terhadap agamanya saja namun juga menghargai umat lain. Kita bisa melihat banyak tukang becak maupun orang yang bekerja di sektor informal berobat di klinik-klinik milik kaum Budha atau Kong Hu Cu , juga Kristen. Begitu juga pada saat Ramadhan dan Idul Fitri mereka juga membagikan sesuatu.

Nanti pada saat Idul Fitri tiba, mereka secara tulus akan memberikan ucapan Idul Fitri kepada seluruh umat muslim. Para tokoh itu biasanya akan hadir pada perayaan puncak idul fitri. Begitu juga di tingkat kampung, masyarakat non muslim akan memberikan selamat kepada masyarakat muslim. Begitulah situasi masyarakat kita yang toleran , pluralis dan berada dalam satu frekwensi dalam melihat ritual dan kegembiraan satu agama di Indonesia.

Toleran dan berada dalam satu frekwensi merupakan tiang untuk meraih kebahagiaan dan kemenangan. Ia juga energi untuk kemajuan dan kemakmuran negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun