Akhir-akhir ini fenomena tawuran antar pelajar masih terus terjadi di berbagai daerah. Padahal, tawuran tersebut seringkali tidak hanya menimbulkan korban luka, tapi juga korban jiwa. Tentu kita masih ingat bagaimana kebrutalan geng motor yang terjadi dimana-mana. Disisi lain, di dunia maya juga mulai marak anak-anak muda yang terlibat aksi saling membenci, saling menghujat dengan cara menyebarkan ujaran kebencian.Â
Apalagi di tahun politik seperti  sekarang ini, frekwensi penyebararan hoax dan ujaran kebencian semakin massif. Tanpa didasari, pihak-pihak yang secara sengaja terus mempertahankan tawuran, persekusi, menebar ujaran kebencian dan kebohongan, melanggengkan bibit radikal di dalam dirinya. Dan jika hal ini terus dibiarkan, maka mereka juga akan mendekatkan dirinya ke perilaku teror yang sering dilakukan oleh jaringan terorisme.
Sadar atau tidak, penyebaran bibit radikal itu terus terjadi hingga saat ini. Dan sadar atau tidak, diantara kita seringkali mengeluarkan ucapan dan perilaku yang justru memicu terjadinya perselisihan, perbedaan pendapat, bahkan konflik. Semuanya dilakukan dari para remaja hingga dewasa. Dari orang biasa hingga petinggi negara. Untuk bisa menang dalam perhelatan politik, seringkali cara-cara seperti menebar kebencian dan kebohongan digunakan. Menggunakan sentimen SARA untuk menjatuhkan atau menaikkan elektabilitas, juga seringkali dilakukan. Dan dampaknya dari itu, bibit radikal menyebar ke setiap sudut masyarakat.
Kondisi ini tentu akan menjadi bom waktu jika terus dibiarkan. Bibit intoleransi dan radikalisme akan terus menguat di kalangan generasi muda. Akan semakin banyak generasi muda yang menjadi korban, dari propaganda radikalisme, provokasi dan ujaran kebencian serta kebohongan. Dampak dari semua ini adalah, berubahnya ucapan dan perilaku yang mencerminkan karakter masyarakat Indonesia. Keramahan yang awalnya menjadi karakter masyarakat Indonesia, pelan-pelan mulai memudar dan berganti dengan amarah yang membabi buta.
Untuk bisa mengurangi atau menghilangkan bibit radikal tersebut, harus dimulai dari diri kita sendiri dulu. Jika banyaj pribadi yang bisa mengendalikan amarah, bisa jihad melawan hawa nafsunya, bisa mengendalikan ucapan dan perilaku, bisa merangkul keberagaman, bisa saling menghargai dan tolong menolong antar sesama, maka bibit radikalisme itu akan memudar dengan sendirinya.
Orang tua kita mengajarkan untuk selalu meminta maaf jika melakukan kesalahan. Terapkanlah hal tersebut pada diri kita sendiri, dan ajarkanlah hal yang sama kepada anak-anak dan lingkungan sekitar kita. Nenak moyang kita mengajarkan tentang pentingnya menjaga gotong royong, maka terus lakukanlah meski eranya sudah berubah menjadi modern.Â
Agama yang ada di negeri ini mengajarkan tentang pentingnya menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi  segala larangan-Nya. Pancasila juga mengajarkan tentang sila ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan sosial. Contoh-contoh tersebut ayo kita terapkan dalam setiap ucapan dan perilaku kita. Jika kita sudah menerapkan, maka sebarkanlah kepada semua orang, agar pesan-pesan positif tersebut menjadi obat mujarab ditengah maraknya pesan negative.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H