Pasti banyak pihak mencatat peristiwa pada akhir April lalu yaitu pertemuan antara Korea Utara dan Korea Selatan sebagai momentum penting , tidak saja bagi dua negara yang puluhan tahun bersiteru tetapi juga Asia bahkan dunia.
Kita tentu ingat ketika beberapa berita  menyangkut warga beberapa negara yang ditahan oleh otoritas  Korea Utara karena dianggap  melakukan kegiatan mata-mata atau hal lain menyangkut keamanan. Beberapa AS pernah ditahan Korut karena kegiatan itu dan mendapat kesulitan untuk pulang ke negaranya meski Amerika Serikat sudah berusaha untuk melakukan diplomasi.
Sebaliknya, begitu juga dengan Korut yang karena sikap tertutup, banyak menolak negosiasi dan diplomasi dengan negara lain akhirnya juga alami beberapa kesulitan menyangkut warganya. Contohnya ketika saudara tiri pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un yaitu Kim Jong Nam dibunuh di bandara internasional Kuala Lumpur Malaysia pada tahun 2017 lalu. Kematian Kim Jong-Nam terjadi dua hari setelah Korea Utara meluncurkan uji coba rudal, yang mendapat kecaman dari Dewan Keamanan PBB.
Negosiasi dan diplomasi sering akan bermuara pada perdamaian. Thesis ini diyakini sangat ampuh untuk menyelesaikan banyak konflik berkepanjangan bagi beberapa negara. Dalam negosiasi, satu negara akan menggambarkan alasan dan situasi negaranya kepada negara lawan. Begitu juga sebaliknya. Dengan begitu kemudian mereka berdialog dan mencari titik temu . Jika negosiasi itu difasilitasi oleh pihak ketiga maka pihak ketiga akan berusaha agar konflik keduanya direduksi dengan dialog.
Pada akhir April lalu ternyata konflik dua negara - Korea Utara dan Korea Selatan-  itu berakhir dengan pertemuan dua pemimpin besar dua negara itu. Pertemuan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, diharapkan untuk  kebaikan bagi rakyat Korea. Diplomasi dan negosiasi mereka, diharapkan mencapai kemajuan  untuk perdamaian di masa depan dan bagi kesejahteraan seluruh semenanjung Korea.
Proses yang dilampaui oleh dua Korea pada April lalu adalah rekonsiliasi. Sedangkan Reunifikasi yang diharapkan akan terjadi, mungkin memerlukan waktu yang lebih panjang. Banyak hal yang harus dipresisikan untuk menuju reunifikasi kedua Korea itu misalnya perbedaan politik dan ekonomi yang besar. Masalah jangka pendek adalah pengungsi dari utara yang bermigrasi ke selatan. Masalah jangka panjang adalah perbedaan budaya, ideologi politik yang kontras dan diskriminasi yang mungkin terjadi.
Tak dinyana , Asian Games 2018 di Jakarta adalah momentum yang baik bagi dua Korea untuk mewujudkan (baca : mempercepat) proses reunifikasi itu. Dalam Asian Games  Jakarta, dua Korea itu bersatu dalam satu tim dengan bendera netral (gambar peta semenanjung Korea yang bersatu). Ini adalah bukti kesungguhan mereka untuk bersatu.
Tentu saja ini peristiwa besar dan melegakan bagi banyak pihak terutama Indonesia karena akhirnya peristiwa Asian Games dipilih oleh dua negara untuk menggambarkan keinginan mereka untuk berdamai setelah sekian lama terlibat konflik.Â
Mereka mungkin merasakan bahwa konflik yang berkepanjangan adalah hal tak diharapkan oleh warga mereka dan Asia serta dunia pada umumnya. Seperti kita ketahui, perpisahan dua Korea berarti juga pemisahan keluarga yang kebetulan mungkin punya tempat tinggal di utara dan satu di selatan waktu itu.
Peristiwa penyatuan dan perwujudannya di Asian Games melegakan banyak pihak. Ajang olahraga itu tidak hanya dilihat sebagai ajang adu ketangkasan olahraga tapi fenomena diplomasi untuk mewujudkan perdamaian dunia.
Percayalah, konflik tak pernah bisa abadi. Konflik tidak menyatukan tapi membuat orang terpisah dan merasa tak nyaman.