Hal ini tentu tidak berarti bahwa pembelian Twitter-nya adalah kabar baik yang dia ingin kita pikirkan.
Twitter memiliki keunikan di antara media sosial, dan karena itu juga memainkan peran sentral dengan apa yang disebut sebagai Perang Melawan Kebenaran.
Keunikan Twitter, bukan pada jumlahnya. Enam belas jejaring sosial lainnya memiliki lebih banyak pengguna dimana Facebook, adalah yang terbesar, terhitung pada 2,9 miliar di Januari, dibandingkan dengan 436 juta pengguna Twitter.
Pada sisi kesenjangan pendapatan, bahkan lebih lebar, dengan pemilik Facebook Meta yang mengumpulkan $117 miliar ditahun lalu, dibandingkan dengan $ 5 miliar yang dimiliki Twitter. Yang unik dari Twitter bukanlah angkanya, tapi kata-katanya, dan bukan apanya, tapi siapanya;Â
pemimpin politik dan negara yang kicauannya telah menggantikan apa yang pernah dilakukan melalui jaringan juru bicara, koresponden, editor, printer, dan sistem distribusi.
Saat ini, semua orang, mulai dari walikota kota kecil hingga pemimpin negara adidaya berbicara kepada komunitas, kota, negara, dan seluruh dunia secara langsung dan seketika dengan mengetikkan keyboard smartphone. Kecualian Korea Utara, para pemimpin dunia menggunakan Twitter terlepas dari lokasi, warna kulit atau keyakinan.
"Tuhan telah bangkit!" Paus Fransiskus melaporkan minggu lalu sebelum memberi tahu umat manusia: "Janganlah kita tinggal di antara makam, tetapi lari untuk menemukannya," tak lama sebelum Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei meyakinkan kita dalam sebuah tweet bahwa "AS semakin lemah dari hari ke hari kebijakan domestiknya maupun kebijakan luar negeri, Ekonomi, serta  keamanannya."
Di antara dua kutub agama ini terhampar jutaan selebritas dan pembuat opini, sebuah bukti kejeniusan formula yang mencerminkan semakin menyusutkan rentang perhatian umat manusia yang semakin pendek dan melipatgandakan penolakannya untuk membaca, dan ketidakmampuan untuk menulis, apa pun yang lebih lama dari beberapa paragraf. Hal ini tentu saja bukan alasan untuk peduli tentang siapa pemilik Twitter.
Perang melawan kebenaran telah berkecamuk selama lebih dari satu dekade. Jenderalnya adalah rezim anti demokrasi, targetnya adalah nilai dan institusi dunia bebas, dan senjatanya adalah influencer. Buzzerger merupakan gombolan pembohong bayaran yang mengelola fake website, membuat fake comments, dan membuat akun media sosial palsu.
Di luar aktifitas mereka mengintai kepentingan komersial dan individu yang tidak diminta yang menggunakan Twitter untuk menyebarkan kebohongan secara sadar.
Keberadaan momok ini, keberanian dalangnya, dan potensi kerusakannya terungkap ketika badan intelijen AS menetapkan bahwa Rusia mengaktifkan ribuan akun yang mewakili orang Amerika palsu yang menghasut jutaan orang untuk memanipulasi pemilihan presiden mereka