Perkara Indosat dan IM2
Kasus Indosat dan IM2 mencuat keranah hukum dan bermula ketika Danny AK, pimpinan sebuah LSM Konsumen Telekomunikasi Indonesia (KTI) melaporkan adanya penyalahgunaan jaringan bergerak seluler 2,1 GHz/3G yang dilakukan oleh Indosat dan IM2 ke Kejati Jawa Barat. Berdasarkan laporan Danny AK, maka Kejaksaan Agung menerbitkan Surat Perintah Penyidikan No.PRINT-04/F.2/Fd.1/01/2012 tertanggal 18 Januari 2012. Dalam surat perintah penyidikan itu disebutkan pula tersangka kasus penyalahgunaan jaringan frekuensi 2,1 Ghz milik Indosat, yaitu Indar Atmanto, Dirut IM2.Indar Atmanto diduga melakukan penyalahgunaan jaringan bergerak seluler frekuensi 2,1 Ghz/3G milik Indosat melalui produk internet IM2. Dengan penyalahgunaan frekuensi tersebut maka negara dirugikan sebesar Rp 3.8 trilyun.
IM2, selaku penyelenggara jasa internet tidak pernah mengikuti seleksi pelelangan pita jaringan bergerak seluler frekuensi 2,1 Ghz/3G.
IM2 menyelenggarakan jaringan itu melalui kerja sama yang dibuat antara Indosat sebagai pihak yang yang menyewakan jaringan seluler pada frekuensi 2.1 Ghz/3G dan pihak IM2 selaku pengguna jaringan dan penyelenggara Internet. Indosat adalah operator telekomunikasi yang mempunyai 40 juta pelanggan dan terbesar ketiga setelah Telkomsel dan XL Axiata. IM2 sendiri adalah anak perusahaan dari Indosat dengan kepemilikan saham mayoritas dan dengan demikian dikontrol langsung oleh Indosat.
Kejagung menuding kerjasama antara Indosat dan IM2 tersebut bertentangan dengan pasal 33 UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Pasal 58 ayat (3), dan Permen/Kominfo nomor 7 tahun 2006. Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut, maka IM2 tidak berhak menggunakan jaringan 3G karena tidak pernah mengikuti seleksi pelelangan pita jaringan seluler bergerak pada frekuensi 2,1 GHz/3G dan harus memiliki izin sendiri sebagai penyelenggara jaringan. Walaupun jaringan telekomunikasi dapat disewakan kepada pihak lain, hanyalah jaringan tetap tertutup, sesuai Pasal 9 UU Telekomunikasi.Dengan tidak adanya izin tersebut, negara kehilangan potensi pajak nilai BHP (badan hak penggunaan) jasa telekomunikasi.
Indar Atmanto pun dikenakan sejumlah pasal tindak pidana korupsi, yakni Pasal 2 dan/atau Pasal 3 UU Korupsi No. 31 Tahun 1999 dan UU No.20 Tahun 2001. Dengan dijerat pasal dan UU yang sama, pada tanggal 30 November 2012, selanjutnya eks Direktur Utama Indosat Jhonny Swandi juga ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan surat perintah penyidikan No. 141/f.1/fd.1/11/2012 tanggal 30 November 2012.
Opini Legal Menkominfo
Sebagai badan regulator yang mengatur, mengawasi kegiatan dan aktivitas industri telekomunikasi serta mengelola portfolio industri telekomunikasi, Menkominfo mempunyai hak dan kewenangan untuk menginterpretasikan berbagai perundang-undangan dan peraturan pemerintah mengenai telekomunikasi yang dijadikan landasan hukum bagi operator dan penyelenggra jasa telekomunikasi. Undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut diantaranya meliputi UU 36/1999, PP 52/2000, KM 2001.
Terhadap kasus IM2, sebaliknya Menkominfo telah menyatakan bahwa penyalahgunaan pita frekuensi generasi ketiga (3G) tersebut tidak bisa diperkarakan. Tidak ada kasus yang ditemukan. Pasalnya, sesuai dengan azas kepatuhan, kerjasama Indosat dan IM2 sudah sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi jo pasal 5 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 21/2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi.
Sebagai penyelenggara jasa (Internet Service Provider), IM2 dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan dapat menggunakan jaringan milik penyelenggara jaringan atau membangun sendiri. Dalam memberikan pelayanan broadband, IM2 menggunakan jaringan dan bukan menggunakan frekuensi. Indosat adalah penyelenggara jaringan seluler. Dengan demikian Indosat dapat menyewakan jaringan yang dimilikinya kepada penyelenggara telekomunikasi lain atau menggunakan jaringan untuk Indosat sendiri.
Hal itu juga ditegaskan pada pada pasal 9 ayat (2): Penyelengara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikas
Berdasarkan pendapat Menkominfo, IM2 juga tidak memiliki kewajiban membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) spektrum frekuensi radio karena IM2 menggunakan jaringan bergerak seluler milik Indosat. Kewajiban membayar BHP spektrum frekuensi radio ada pada Indosat.
Untuk mengklarifikasi kasus dugaan penyalah-gunaan pita frekuensi tersebut, Menkominfo juga telah melayangkan pendapat hukumnya melalui surat kepada Kejaksaaan Agung, Presiden, Wakil Presiden, Menkopolhukam, Menko Perekonomian, Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Kerugian Negara dan Audit BPKP
Pada awalnya, Kejagung menduga kerjasama antara Indosat dan IM2 sebagai anak perusahaan telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 3, 8 trilyun, namun pada tanggal 13 November yang lalu, berdasarkan audit BPKP, Kejagung menyatakan bahwa hasil audit BPKP menunjukkan penurunankerugian negara menjadi sebesar nominal Rp 1.3 trilyun.
Pihak Indosat menghormati hasil audit BPKP tetapi belum menerima salinan surat dan hasil audit BPKP yang disampaikan kepada Kejaksaan Agung tersebut. Sementara itu, Pihak Kejagung maupun BPKP sendiri juga tidak memberikan keterangan rinci mengenai perhitungan, bagaimana dan dari mana jumlah kerugian tersebut diperoleh dan ditetapkan.
Perlu diketahui bahwa pada saat ini terdapat +/- 260 perjanjian kerjasama serupa yang dilaksanakan oleh perusahaan internet service provider dengan 20 pemilik konsesi frekuensi, tidak hanya oleh Indosat dan IM2.Apabila perjanjian kerjasama serupa tersebut dinyatakan illegal maka hal itu mempunyai implikasi hukum, khususnya terhadap perusahaan Internet Service Provider, selaku penyewa dan pengguna jaringan dari penyelenggara pita frekuensi. Apakah seluruh penyelenggara Internet Service Provider harus dibubarkan karena perjanjiannya dengan operator dianggap tidak legal dan harus mengikuti tender dan punya jaringan dan izin jaringan tersendiri yang tidak sesuai dengan undang-undang dan peraturan pemerintah sebagaimana yang telah dinyatakan Menkominfo?
Apabila Indosat menetapkan harga sewa yang lebih rendah kepada anak perusahaannya IM2 daripada harga sewa kepada perusahaan ISP yang bukan kelompoknya pada dasarnya juga tidak menyalahi aturan, karena Indosat dan IM2 adalah perusahaan yang berada didalam satu kelompok perusahaan dan yang dirugikan bukan negara tetapi Indosat sendiri yang memiliki konsesi frekuensi 3 G tersebut.
Dan sebagaimana dinyatakan Indosat, sebagai penyelenggara frekuensi, Indosat juga telah melaksanakan kewajibannya kepada pemerintah sesuai dengan ketentuan KM 7 tahun 2006, yaitu pembayaran front fee, pajak BHP pita frekuensi setiap tahun, BHP penyelenggaraan telekomunikasi dan kontribusi Universal Service Obligation dan bahwasanya kewajiban–kewajiban tersebut telah diaudit oleh yang berwenang.
Secara legal, IM2 bertindak sebagai penyelenggara jasa internet dan bukan pihak yang memiliki konsesi frekuensi G3, sehingga tidak memerlukan izin untuk penyelenggaraan frekuensi3G dan tidak mempunyai kewajiban untuk membayar pajak BHP (Biaya Hak Penyelenggaraan). Indosat juga tidak mengalihkan frequensi yang dapat dibuktikan secara teknis dimana IM2 hanya menggunakan jaringan Indosat berdasarkan perjanjian kerjasama atau perjanjian sewa.
Kasus Indosat dan IM2 mengingatkan kita tentang kasus BP Migas dan pasal-pasal UU Migas yang dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai ilegal dan inkonstitusional yang menimbulkan ketidak pastian hukum pada industri Migas. Yang menjadi concern adalah bahwa kasus Indosat dan IM2 juga dapat menimbulkan dampak yang serupa pada industri telekomunikasi apabila pengadilan memutuskan bahwa Indosat dan IM2 melakukan pelanggaran hukum tanpa bukti-bukti yang jelas. Tidak ada kepastian hukum lagi.
Kebijakan tata usaha negara terkait industri tertentu bukanlah kebijakan zero sum game. Kebijakan zero sum game diantara lembaga pemerintah; kementerian dan lembaga hukum dan yudikatif yang mementingkan kepentingan lembaganya masing-masing atau kepentingan kelompok tertentu tanpa ada kasus yang jelas tidak hanya dapat merugikan industri telekomunikasi tetapi juga merugikan seluruh masyarakat Indonesia, khususnya para pengguna internet dan alat-alat telekomunikasi lainnya.
Sebagaimana diketahui, salah satu fungsi dari Kejaksaan Agung adalah melindungi lembaga negara atau mewakili pemerintah dan negara baik diluar atau dipengadilan denganmemberikan advis legal/hukum mengenai tata usaha negara kepada lembaga penyelenggara negara, tetapi disini masyarakat melihat Kejaksaan Agung justru malah menggunakan kekuasaannya untuk menggugat publik, yaitu para pihak yang telah dinyatakan oleh Menkominfo sebagai pihak yang beroperasi dan menjalankan bisnisnya sesuai dengan undang-undang dan ketentuan pemeintah yang berlaku. Yang disayangkan oleh banyak pihak, opini legal Menkominfo, selaku badan regulator yang dilayangkan kepada Kejagung diabaikan dan tidak mendapat tanggapan sama sekali.
Kebijakan pemerintah dan lembaga hukum yang bernuansa zero sum game seperti ini sudah sepatutnya dihentikan. Seharusnya, Kejagung memberikan tanggapan sehingga kasus ini dapat dibuka kepublik secara transparan. Yang menjadi fokus publik bukan permasalahan apakah Kejaksaan Agung telah menjalankan tugasnya sesuai prosedur didalam menangani gugatan perkara ini, tetapi persoalannya adalah landasan hukum yang dipakai untuk menetapkan kerugian negara dan tersangka apakah sudah sesuai atau tidak dengan hukum yang berlaku. Apakah masih diperlukan lagi interpretasi hukum UU dan ketentuan pemerintah mengenai telekomunikasi dari pihak ketiga, misalnya oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia? Atau melalui PTUN?
Kebijakan zero sum game untuk memenuhi ambisi pribadi atau lembaganya sendiri atau untuk memenuhi kepentingan guna meningkatkan citra atau untuk memperoreh dukungan kelompok politik tertentu, dapat menimbulkan beban biaya-biaya yang signifikan pada sistem perekonomian dan sistem pemerintahan, disamping juga menyuburkan korupsi dan memperlemah azas check and balancetatanan negara sesuai dengan konstitusi.
Transparansi Kejagung dan BPKP diperlukan sehingga proses hukum dapat dilakukan secara obyektif dan kewajarannyadapatdinilai oleh masyarakat. BPKP, sebagai lembaga pemerintah seyogyanya juga mempublikasikan hasil audit tersebut kepada masyarakat, khususnya kepada Masyarakat Telematika Indonesia dan Indosat dan M2 yang dituduh merugikan negara. Dengan itu, maka kerugian sebesar Rp1.3 trilyun dapat dibuktikan dan ditelusuri secara jelas berdasarkan dokumen pendukung atau bukti-bukti legal lainnya sehingga kerugian yang ditetapkan memang benar adanya dan pihak Indosat dan IM2 dapat juga memberikan tanggapannya terhadap audit BPKP. Dengan demikian, maka perkara kasus pelanggaran terhadap perizinan, penyalahgunaan kontrak kerjasama atau perkara kasus penggelapan pajak atau dana yang merupakan hak pemerintah sebagaimana yang dituduhkan Kejagung dapat ditetapkan secara jernih dan cermat, karena landasan hukumannya berbeda-beda.
Danny AK, sebagai pihak pelapor bahwasanya juga yang telah dijebloskan penjara sebagai akibat kasus pemerasan yang dilakukannya melalui ancaman somasi terhadap Indosat dan 4 operator telekomukasi lainnya mengenai layanan blackberry dan kerjasama operator dengan RIM. Hal ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan tidak memiliki kredibilitas sehingga masyarakat juga menilai bahwa kasus ini juga tidak dapat lepas dari serangkaian upaya Danny AK untuk melakukan pemerasan atau black mail kepada perusahaan-perusahaan operator telekomunikasi. Dikabarkan juga, Pemerintah Qatar, selaku selaku pemegang saham Indosat telah mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia terkait kasus ini. Kasus Danny AK dan surat pemerintah Qatar seyogyanya juga menjadi pertimbangan dari Kejaksaan Agung dan pada gilirannya juga oleh pengadilan.
Proses penyidikan tampaknya akan berjalan terus dan sebagaimana dinyatakan oleholeh Kejaksaan Agung pada tanggal 6 Desember 2012, bahwa penyidik tindak pidana khusus Kejaksaan Agung segera melimpahkan salah satu berkas tersangka eks Direktur Utama IM2 Indar Atmanto ke penuntutan. Berkas perkara Indar telah dinyatakan lengkap pada Rabu 5 Desember 2012.
Agar kasus ini dapat diselesaikan secara obyektif, pihak Indosat dan IM2 tentunya juga harus memastikan bahwa pengacara yang diberikan dan mendapat kuasa dari Indosat dan IM2 juga bebas dari “conflict of interest” terhadap kepentingan pihak Kejaksaan Agung atau pihak oknum tertentu dan/atau tidak dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu sehingga kebenaran dapat diungkap dengan sebenar-benarnya dan ditegakkan sekaligus.
Dengan itu, mudah-mudahan kepastian hukum dan kebenaran pada industri telekomunikasi yang diperlukan dan diharapkan oleh seluruh rakyat Indonesia masih ada. Dan mudah-mudahan perkara ini juga tidak dianggap sebagai zero sum game yang saling menghancurkan sesama lembaga negara untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H