Eh, Capres melulu yang dibahas. Masalah yang kemarin belum ada kelanjutannya lho. Biar adem masyarakat. Masih ingat khan kemarin bahkan masih hangat jadi perbincangan tentang berbagai anggapan yang terjadi di masyarakat tingkat bawah menyoal keputusan-keputusan dalam hal beribadah, secara khusus saat melihat dari kasus yang terjadi di yogyakarta .
Secara “waras” saya menganggap bahwa ungkapan dari Bapak Kapolri atau juga pihak pemerintah lain adalah hal yang sangat positif dengan “menahan diri tidak beribadah dirumah” (ga usah sembahyang apa ya?) untuk menghindari segala hal yang bisa jadi memicu masalah-masalah baru dalam kasus “beribadah”. Hanya masalahnya adalah tidak semua tentu paham akan maksud kata-kata ini.
Secara pribadi saya yang membaca berbagai kabar saat itu juga lantas berfikir, apa iya tidak boleh beribadah di rumah? Bukankah hal seperti ini telah ada sejak sangat-sangat lama. Lalu kenapa saat ini menjadi seakan terbatasi begitu saja oleh sebuah aksi yang bisa dikata merugikan pihak yang lain.
Kemana toleransi yang dulu ada? “Yang dulu”, karena saat ini diakui atau tidak intoleransi ini berkembang dengan sangat pesat di negara yang dikenal dengan kebhinekaannya. Sebagai contoh di Gunungkidul, perayaan Paskah lansia yang seyogyanya dilakukan jadi satu kemudian dibagi menjadi 8 tempat yang berbeda karena alasan tidak adanya ijin tempat. Di Rumah pemimpin galang press terjadi penyerangan saat sedang ada ibadah. Di sleman juga terjadi hal yang kurang lebih sama. Semua berlatar belakang masalah yang melulu soal ibadah.
Yang besar semakin ingin menjadi besar dan yang kecil semakin terinjak, mungkin kata inilah yang kemudian layak digulirkan karena tindakan kelompok-kelompok atau perorangan yang mengatas namakan sebuah agama besar dalam aksinya. Pertanyaannya adalah apakah benar seluruh umat yang disebut sebagai yang terwakili menerima tindakan-tindakan ini? Jawabannya tentu ada iya dan ada tidak.
Memang tak akan mudah mengubah pola yang telah ada ini. Apalagi bila sudah menyangkut visi misi kelompok tertentu dengan atribut agama. Sudah terlalu banyak paham yang saya sendiri sebagai orang awam tak paham untuk apa. Apakah melulu jaminan surga atau justru ada pihak-pihak yang menunggangi aksi-aksi ini semua. Alangkah baiknya jika yang besar justru merangkul yang kecil, demikian juga sebaliknya (pemikiran saya). Memberi dukungan dan saling melindungi begitu maksudnya. Dan ini memang sebenarnya telah ada juga yang malakukan meski masih sangat sedikit.
Pihak berwajib, dinas terkait dan semua yang memiliki kewenangan tentunya harus bertindak tegas agar kerukunan serta toleransi dapat kembali bertumbuh subur demi menjadi bangsa yang besar dan dihormati. Tindak tegas para pelaku tindak kekerasan serta intoleransi yang terjadi di negara kita tercinta ini. Beri kenyamanan beribadah agama apapun, karena agama adalah pilihan yang bebas dari masing-masing pribadi. Kontrol sosial memang sangat perlu dan apabila terjadi hal yang tidak seharusnya “musyawarah untuk mufakat hendaknya menjadi jalan satu-satunya” bukan dengan kekerasan seperti yang terjadi.
Dan yang pasti, hendaknya para penguasa atas negara ini arif dalam berkata-kata. Mampu menjelaskan apa yang jadi keinginan dengan gamblang agar tidak terjadi kesalah pahaman di masyarakat tingkat bawah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H