Mohon tunggu...
RENI NOFRIANTI
RENI NOFRIANTI Mohon Tunggu... lainnya -

Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Pangan IPB

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jalanku di Titian Telaga

5 Maret 2013   05:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:18 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan gaya super cuek ku ambil bola basket yg ada di samping kursi tamu. Dengan cekatan ku drible sampai ke pintu luar, ” Ibu, Nit pergi latihan dulu ya, nanti pulang jam 6, Assalamu'alaikum,” aku pamit sambil menutup pintu.
“ Cepat pulang Nit, jangan telat, nanti dimarahi sama Bapak, ” ibu melanjutkan pekerjaannya di dapur.
Inilah kegiatan yg kulakoni sejak kelas 1 SMP. Setiap pulang sekolah, aku dan teman-teman latihan basket. Hitung-hitung biar nambah tinggi, prinsipku waktu pertama kali latihan.
***
Inilah aku, Nitya Handika si bungsu dari 4 bersaudara. Entah angin apa yg mengubah namaku ini menjadi sosok “Nitty” si gadis tomboy tapi penurut. Aku hidup dalam asuhan keluarga yg sangat ketat aturan. Bapakku yg begitu keras dalam aturan dan prinsip. Aku mengerti dengan kedisiplinan bapakku. Aku yang selalu penurut dengan aturan-aturan bapak, sangat berbeda dengan karakter kakak perempuanku yg terkadang membangkang. Karena sifat penurutku inilah aku bisa mencairkan emosi Bapak. Aku bisa membujuk bapak untuk mengizinkanku mengikuti latihan basket. Dengan cara begini, aku bisa menumbuhkan rasa percaya Bapak padaku.
Hari sudah menunjukkan pukul 4 sore. Beberapa temanku udah melakukan pemanasan di lapangan. Aku segera bergabung dengan mereka. Beberapa peregangan ku lakukan untuk melemaskan otot-otot yg kaku, lalu aku berlari mengitari lapangan 3 kali putaran. Aku mengambil bola, mendrible dan dengan gerakan cekatan ku lakukan gerakan lay-up. “Shoot... yes, masuuuk,” teriakku kegirangan.
Pelatih basketku belum juga datang. Dilangit, awan hitam berarak menggantikan birunya langit. Sepertinya hari mau hujan. Tapi aku dan teman-temanku seolah tak menghiraukannya. Kami malah semakin asyik dengan permainan kami. Akhirnya, kami tetap melanjutkan permainan sambil mandi hujan. Itulah kebiasaan ku dengan teman-teman. Sebenarnya aku takut, kalau ketahuan sama ortuku aku main hujan, aku akan kena marah.
Tapi kalau sudah keasyikan main, aku kadang tidak begitu peduli dg kesehatanku.
Sayup-sayup suara azan magrib mulai berkumandang, seakan menyadarkanku. “Sudah lewat pukul 6” batinku. “Teman-teman nit pulang dulu ya, sudah lewat pukul 6, Bapak pasti mencari nit,” sambil berlari kencang aku meninggalkan teman-teman menuju rumah yg tidak begit u jauh dari lapangan.
Sambil mengendap-ngendap aku mengintip ke jendela. Tiba-tiba, ada yang menepuk pundakku di belakang, “ Baru pulang Nit, koq basah-basah ?”, tepukan abangku mengagetkanku.
“ Iya bang, tadi main hujan,” anggukan kepala ku jujur.
“ Ya sudah, masuklah, mandi sana,” aku nyengir mengikuti langkah abangku. Aku segera berbenah-benah dan bersiap-siap sholat maghrib.
***
Masa-masa SMP adalah masa-masa yang paling ku senangi. Masa dimana aku bisa belajar serius, masa mengenal dan menekuni hobi dan masa – masa tempat menuangkan berbagai kreativitasku. Aku sangat menyukai olahraga, seni dan karya sastra. Orangtua dan keluarga sangat mensupport kegiatan-kegiatanku. Saat aku giat-giat latihan basket, abangku memberi hadiah bola basket. Saat aku menyukai puisi dan puitisasi, keluarga ku tidak pernah mentertawakan ekspresiku di depan cermin. Saat aku gila-gilaan berkaroke buat persiapan pergelaran seni, abangku yang ke 2 malah berekspresi, “ Tadi yang nyanyi nit ya ? ”, sambil nahan senyum. Saat aku dan teman-teman harus latihan tari buat acara sekolah, keluarga mengizinkan aku latihan di rumah. Aku tidak menyia-nyiakan kepercayaan keluargaku. Aku harus buat mereka tersenyum, dengan mengukir prestasi untuk mereka.
“ Pak, Nit besok latihan basket ke SMA Simabur,” aku membuka pembicaraan dengan Bapak malam itu.
“ Koq jauh ? “, tanya Bapak sambil menatap mataku.
“ Iya Pak, sekarang Nit dan teman-teman udah bergabung dengan tim basket Mayank di Simabur, jadi latihannya kalau di hari sekolah di sini, tapi kalau Sabtu dan Minggu di Simabur, “ aku mencoba memberi penjelasan ke Bapak.
Bapak hanya diam, tetapi sepertinya sedang berfikir.
“ Tapi disana juga ada bang Irfan lo Pak, anaknya tante Sum, dan juga ada bang Randi, anaknya pak Ris, jadi nanti Nit bisa pulang bareng sama mereka. Lagian teman-teman Nit semua kan juga ikut latihan disana Pak,” aku mencoba meyakinkan Bapak kembali.
Bapak masih belum memberi tanggapan.
“ Pak, latihan disana untuk mempersiapkan tim bertanding ke Padang 2 minggu lagi, Nit diikutkan loh Pak dalam pertandingan itu, kapan lagi nit bisa mengukir prestasi disana Pak,” aku mencari-cari mata Bapak, berharap ada segurat kata iya disana.
“Hmm… baiklah, asalkan benar-benar latihan disana Nit, Bapak izinkan,” Bapak akhirnya mengangguk.
“Yesss……….,” aku berteriak girang dihati. “ Makasih ya Pak,” aku tersenyum manja ke arah Bapak.
Akhirnya tambah lagi kegiatan rutinku. Aku tak merasa masalah walaupun latihannya dimulai dengan lari dari sekolah sampai ke SMA Simabur. Semua ku lewati dengan enjoy bersama teman-teman.
Ini adalah kesempatan pertamaku ikut pertandingan basket se Sumatera Barat. Setiap sore adalah waktu latihan bagi kami. Chest-pass, bound-pass, lay-up, shooting, three point, semuanya harus kami kuasai. Yah, aku harus semangat, meskipun diantara teman-temanku, aku adalah yang paling kecil.
Hari pertandingan datang juga. GOR UNP sudah dipadati oleh para supporter dari masing-masing tim. “ Kak Maica, ramenya, tinggi-tinggi semua orangnya,” gumamku sambil memegangi lengan kak Maica, rekanku yang paling tinggi dalam tim ku.
“ Enjoy Nit, meski kecil pasti bisa koq lawan mereka,” kak Maica menyemangatiku.
Akhirnya tibalah waktu tim kami bertanding. Kami berhadapan dengan tim 3 tuan rumah. Pertandingan yang lumayan seru dan seimbang. Alhamdulillah, tim kami berhasil mengalahkan mereka, dan masuk ke babak selanjutnya. Tapi sayang, tim cowok langsung kalah.
“ Bapak, kami berhasil, makasih do’anya Bapak,” gumamku dalam hati, sambil membayangkan wajah Bapak di rumah.
Keesokan harinya kami melanjutkan lagi pertandingan. Kali ini lawannya benar-benar dahsyat. “ Ncu, besar semua mereka,” kali ini aku menyikut Putri yang biasa ku panggil Uncu.
“Iya nit, cemas juga Put dibikinnya,” Putri juga merasakan hal yang sama denganku.
“ Enjoy lah Put, Nit, ayooo…..” teman-teman mengulurkan tangan sambil memberikan komando untuk meneriakkan yel-yel tim kami.
Ini sungguh pertandingan yang butuh perjuangan yang besar. Selain lawan yang tinggi semua, kemampuan bermain mereka patut diacungi jempol. Aku sangat susah merebut bola mereka, malah mereka menyikutku. “ Waaw…sakit,” teriakku. Abang Ad, pelatih basketku berteriak dari pinggir lapangan, “ Mayank go…. Mayank go, Nit bangkit, ayoo,”. Melihat bang Ad yang seperti itu, aku mencoba kembali berlari ke garis pertahanan. Tak peduli sakitnya aku karena siku mereka.
Kak Maica, Rani, Jeris dan Putri, sepertinya juga sangat kewalahan. Alhamdulillah, ada time out. Aku sangat haus. Bang Ad, terlihat seperti emosional.
“ Tidak ada kata menyerah. Mana Kekuatan pertahanan kalian? Dari tadi tidak ada satu pun three point dari tangan-tangan kalian, lay-out tidak begitu banyak yang masuk. Meskipun mereka tinggi, jangan ciut nyalinya. Sekarang ayoo…,” Bang Ad kembali mengulurkan tangan memberi komando untuk meneriakkan yel-yel lagi.
Peluit wasit berbunyi, mengomandokan untuk segera memasuki lapangan. Aku melempar handuk keringatku ke teman yang masih menunggu antrian bermain. “ Aku harus bisa, Bismillah…,” batinku.
Semangat baru juga ku lihat dari teman-teman lainnya. Kami mengeluarkan semua teknik bermain agar bisa mempertahankan tim kami dalam pertandingan ini. Sudah terlihat beberapa penambahan score kami dibanding sebelumnya. Akhirnya, kemenangan tak berpihak di tangan kami, walaupun scorenya hanya beda tipis. Tapi aku tetap tersenyum, “Bapak, ini tetap adalah prestasi,”.
***

Pagi ini begitu sejuk. Aku duduk di pinggir kolam di samping rumah. Sayup-sayup kudengar lantunan Shella On 7 dari kamar abangku. Abangku yang ke 2 sangat menyukai lagu-lagu SO7, sama seperti aku. “ Coba keluar di malam badai, nyanyikan lagu yang kau suka, maka kesejukan yang kau rasa, coba keluar diterik siang, ingatlah bintang yang kau sapa, maka kehangatan yang kau rasa,” aku mengikuti syair-syair sambil melempar daun-daun untuk makan ikan.
“ Hey Nit, mau ngapain hari ini?” tanya abangku.
“ Nggak ngapain-ngapain bang, kenapa?” aku tetap melempar daun ke kolam.
“ Nggak ada,” ucap abangku sambil ngambil posisi duduk disampingku.
“ Nit, besok pake jilbab lagi ya?” abang ku juga ikut melempar daun ke kolam.
“ Koq?” tanganku terhenti melempar daun, dan langsung mengalihkan pandangan ke abangku.
“ Lebih baik pake jilbab, mulai besok pakai ya,” abangku tetap cuek melempar daun.
“ Jangan sekarang lah Bang, nggak siap nit,” ucapku pendek.
“ Trus mau kapan?” abang berbalik menatap mataku.
“ Belum tahu sih, Nit lebih enjoy kalo begini bang,” aku membela diri.
“ Pokoknya besok harus pake jilbab lagi,” sifat keras abangku yang ke 2 ini mulai keluar.
“ Koq dipaksa sih?” aku cemberut.
“Iya pake aja, biar lebih cantik,” abangku segera berlalu dariku.
“ Iih… maksa banget sih,” aku menggerutu sendiri.
Aku udah hafal karakter abangku. Apa yang dikatakannya harus dituruti, kalo tidak aku akan dimarahi. Aku nggak mau cari-cari perkara sama dia, jadinya aku harus nurut. Abangku sebenarnya pasti memiliki tujuan yang baik untukku, tapi abangku selalu tidak bisa menyampaikan secara baik apa yang dia inginkan.
Keesokan harinya aku benar-benar memakai jilbab. Ada rasa risih juga. Walaupun di sekolah memang memakai jilbab, tapi di luar jadwal sekolah aku nggak pernah memakai jilbab. Memang aku memakai jilbab tak sepenuh hati. Akhirnya aku bertahan memakai jilbab Cuma 1 hari saja.
“ Koq cemberut aja ? ” tanya uniku.
“ Iya, si Asyik nyebelin,” sungutku, tanpa memanggil abangku dengan kata abang, tapi gelarnya.
“ Emang kenapa?” uni masih bertanya.
“ Yaa, Nit belum siap dengan ini,” aku menyodorkan jilbab ke uni ku.
“ Oooh…cantik koq, nyaman koq pake jilbab,” uni ku meyakinkan karena emang dia telah memakai jilbab.
“ Tapi Nit belum bisa Riaaa, nggak pede, nggak bebas gerak, mana baju Nit masih kaos pendek semua,” aku masih cemberut kearah uniku.
“ Pake aja dulu baju Ya,” uniku masih meyakinkan.
“ Nggak selamanya bisa kan?” aku masih membela diri.
“ Untuk ke depan beli kaos dan celana panjang lagi,” uni mencoba mencari solusi.
“ Untuk sekarang Nit benar-benar nggak siap Riaaa, Uniku sayaaang,” ekspresi manjaku mulai keluar.
“ Berjilbab itu memang harus dari hati Nit. Percuma pake jilbab, tapi wajah setiap hari cemberut, nggak ada cahayanya,” komentar uniku.
“ Nit janji suatu hari pasti Nit akan berjilbab beneran.” Aku meyakinkan uni.
“ Itu semua tergantung Nit, tergantung hati nit sendiri,” Uni memberikan statement terakhir dan segera berangkat belajar kelompok.
Aku masih merenung. “ Gimana ya bagusnya?” batinku.
“ Nit harus persiapkan semua dari sekarang, Nit harus persiapkan hati Nit dulu. Suatu saat Nit pasti berjilbab. Pasti,” tekad ku dalam hati.
***
To be continue………

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun