Mohon tunggu...
Ching Sioe
Ching Sioe Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Sastra Inggris Unair '20

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Perjalanan

25 Juli 2022   20:16 Diperbarui: 25 Juli 2022   20:35 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Truk pengangkut kayu itu berangkat dari Semarang sekitar pukul sembilan pagi. Saya tak bisa beri tahu Anda apapun selain warnanya yang hitam, terpal biru, dan nama sopirnya, Rudianto. Saya tahu menyelundup bukanlah hal yang benar, tetapi sudah agak lama sejak terakhir kali saya mempertimbangkan benar-salah sebelum melakukan sesuatu. 

Tekad saya sudah bulat dan tak dapat diganggu gugat; saya akan mudik walaupun itu berarti harus duduk berimpitan dengan dua manusia lain di sudut bak truk dengan gelondongan kayu mengelilingi kami seperti benteng. Saya pun agaknya sejak awal telah tertipu sebab saya kira saya akan sendirian saja di sana. Lima ratus ribu harusnya cukup untuk sebuah truk pribadi!

Mereka sepasang suami istri, mungkin tak sampai lima puluhan. Sekilas pandang saja saya tahu mereka akan segera tertangkap jika terlihat oleh polisi. Bukan, bukannya tampang mereka kriminal. Hanya saja jaket tebal dan dua buah tas besar di dekat kaki mereka adalah ciri utama pemudik. 

Saya tak membuat kesalahan serupa. Berhari-hari sebelumnya sudah saya paketkan ke kampung halaman sebuah tas berisi baju ganti dan seamplop uang. Jadi saya duduk meringkuk di bak truk itu hanya dengan sehelai kaus tipis, celana pendek, ponsel, dan dompet. Seandainya saya terpaksa turun dan berpura-pura jadi pejalan kaki di depan hidung rekan-rekan Anda yang berjaga di perbatasan, saya tak akan ketahuan.

Sapaan pertama Si Suami kepada saya adalah sebuah pertanyaan mengenai apakah saya tak membawa virus. Akal saya mendesak untuk mengembalikan pertanyaan itu kepada mereka sebab bukan saya yang berkeliaran berkilo-kilo jauhnya dengan muka telanjang tanpa masker seperti orang tak kenal virus. 

Namun saya telan kembali niat itu sebab sorot mata tajam dan dingin laki-laki di depan saya itu seolah berkata kalau dia bisa meninju dagu saya kapan saja. Saya putuskan untuk tidur, membayangkan gelondongan kayu di bahu saya sebagai bantal. 

Saya terkejut oleh fakta bahwa saya bisa tetap setengah tetidur selama lebih dari satu jam sementara pasutri itu berbicara tanpa henti. Obrolan mereka seputar utang dan ongkos pulang yang tak cukup bercampur dengan mimpi saya tentang kampung halaman.

Saya terbangun oleh sebuah suara aneh yang terasa menggelitik telinga. Anda tahu suara mesin motor yang tersendat-sendat ketika dipaksa menyala? Kira-kira itulah yang saya dengar. 

Butuh beberapa detik sampai saya menyadari itu adalah suara batuk. Si Istri yang duduk di depan saya sedang terbatuk sampai punggunya melengkung ke depan sementara kedua telapak tangannya menekan mulut. Saya menanyakan apakah dia tidak apa-apa, sebisa mungkin terdengar iba tetapi justru takut yang terpancar dari suara saya. 

Bagaimana tidak, jarak kami tak sampai setengah meter dan saya tak bisa menerka berapa banyak virus tak kasat mata yang mungkin menyusup lewat celah-celah tangannya dan sekarang beterbangan di dalam udara yang saya hirup.

"Dia tidak bervirus," kata Si Suami seraya menyerahkan selembar saputangan kepada istrinya. Paling tidak akhirnya ada sesuatu untuk menutup mulutnya dan saya sedikit lega sebab mereka masih menunjukkan tanda kewarasan. Namun itu cuma sampai sebuah tangan mendarat pada pundak saya.

"Kamu takut?" Si Istri bertanya dengan mata yang menyipit, dia tampaknya tersenyum di balik saputangan itu. Tak sampai tiga detik tangannya menempel di pundak saya tetapi tangan itu bahkan masih terasa selama bermenit-menit berikutnya. 

Ribuan semut gaib menggeranyangi tubuh saya ketika saya melihat pundak saya sendiri dan membayangkan apa saja yang mungkin menempel di sana. Terbayang bagaimana ibu saya akan memeluk saya dan meletakkan wajahnya tepat di sana. Saya harus segera mencucinya! Ah, tidak, saya akan membuang baju itu begitu turun.

Si Istri masih terus batuk sampai kami melewati perbatasan pertama, perbatasan Semarang-Salatiga. Saya bergidik melihatnya mati-matian menahan batuk sampai tubuhnya gemetar ketika truk diberhentikan oleh polisi. 

Kami lolos dari pemeriksaan tetapi saya tak yakin bisa lolos  dari kegilaan. Pundak saya terasa nyeri akibat menekan permukaan gelondongan kayu kuat-kuat dan jarak terjauh antara saya dan pasutri itu cuma lima puluh sentimeter.

Perjalanan tak berhenti hanya karena saya dongkol dan takut. Lewat tengah hari saat truk melaju di Solo menuju Ngawi, Rudianto memutuskan untuk berhenti di pom bensin. 

Si Suami turun untuk membeli makanan sementara saya dan Si Istri tetap tinggal. Tak bisa saya ungkapkan keinginan untuk pergi ke toilet dan mencuci tangan, tetapi toilet pom bensin selalu ramai saat musim mudik dan saya tak ingin mencemplungkan diri ke dalam horror yang lebih besar lagi. Tidak apa-apa, tinggal beberapa jam lagi sebelum tiba di Madiun. Situasinya tak bisa bertambah buruk.

Untuk beberapa saat tampaknya memang begitu. Si Istri mencoba mengajak saya bicara seolah mencari teman dalam perjalanan. Diceritakannya putranya di kampung dan bagaimana mereka merantau untuk membiayai sekolahnya. Dia sedang bercerita tentang pekerjaan serabutan yang dilakoninya ketika ponsel saya berdering. Ibu menelepon.

Masalah datang setelah itu, setelah perasaan saya sedikit tenang usai mendengar suara ibu saya. Si Istri memohon dengan suara memelas, "Saya butuh menelepon rumah." Dari sekian banyak alternatif penularan virus yang ada, salah satu yang paling mudah mungkin adalah dengan meminjamkan ponsel ke orang asing yang sedang batuk. 

Sepasang manik hitam berselaput katarak tipis itu tahu saya tidak bersedia. Dia menangkap kecemasan yang terlukis pada kerutan di kening saya dan justru memanfaatkannya. Dia bangkit bertumpu pada lututnya, mencoba mendekati saya dan merebut ponsel itu sambil terus batuk. Saya sudah kehilangan lima ratus ribu dan yang saya dapatkan hanyalah sebuah kekacauan.

Senyum mengembang di wajahnya begitu ponsel saya jatuh menghantam lantai bak ketika saya putuskan untuk menyerah. Dengan berapi-api dia menyapa anaknya di kampung, berkata bahwa dia meminjam ponsel seseorang di jalan. Saya hampir mengoreksi bahwa dia merampasnya. 

Saya tak pemberani sejak kecil, tetapi tak pernah saya bayangkan akan berada di situasi semacam itu. Wajah Si Istri yang berseri-seri mendengar suara putranya tampak seperti iblis di mata saya, berpura-pura menertawakan ucapan putranya di seberang telepon padahal yang dia lakukan adalah mencemooh ketakutan saya. Sedang saya tak punya kekuatan untuk melawan iblis itu.

"Terima kasih, kamu baik sekali." Tangannya terulur untuk menyerahkan ponsel itu kepada saya. Begitu saya hendak merainya kembali, dia menarik tangannya. "Maaf, saya membuatnya kotor. Harus dibersihkan dulu." Saputangannya. Saputangan yang dia gunakan saat batuk, kali ini bergerilya menyapu seluruh permukaan ponsel saya, mengusap kotoran-kotoran di sana sekaligus menghapus kesabaran saya sampai bersih.

"Apa-apaan?" Saya hendak merebut ponsel di tangannya ketika terdengar suara gemuruh gelondongan kayu, tanda seseorang sedang berada di atasnya. Si Suami kembali dengan sebungkus nasi dan raut muka terkejut.

"Tidak apa-apa, dia baik sekali meminjamiku telepon." Diraihnya telapak tangan saya dan dia meletakkan ponsel saya di sana. Yang terjadi selanjutnya adalah saya meringkuk dengan tatapan nanar dan tangan yang seolah mati rasa. Saya tak ingin menyentuh apapun. Saya tak boleh menyentuh apapun.

Truk kembali berjalan. Kami semakin dekat dengan perbatasan Ngawi dan saya semakin dekat dengan keinginan untuk berteriak begitu kami berhenti untuk pengecekan. Ya, saya tak bisa memikirkan opsi yang lebih waras lagi. Biarlah kami tertangkap dan Rudianto dipecat atau sekalian dipenjara.

"Istri Anda merebut ponsel saya."

"Lalu? Sekarang sudah dia kembalikan. Kamu keberatan dengan biaya teleponnya?"

"Bukan, Anda tidak mengerti. Istri Anda batuk dan berbahaya jika---"

Sebelum saya selesai bicara, kuliah panjang tentang teori hidup-mati yang sudah diatur membuat telinga saya merah padam. Si Suami, dengan mulutnya yang tak bermasker dan sibuk mengunyah, berkata bahwa saya bisa saja mati sekarang juga karena serangan jantung, atau si Rudianto bisa saja mengantuk dan menerjunkan truk ini ke dalam jurang sebentar lagi---itu bodoh sebab saya tahu kami tidak sedang melewati jurang apapun. Namun agaknya kebodohan itu tidak membuat saya maklum. Emosi yang sedari tadi terlanjur tersulut akhirnya meledak juga.

"Ada skenario yang lebih baik," saya berkata sambil membuka masker. Amarah seolah menjelma menjadi lidah api, menjilat habis ketakutan dalam benak saya. "Kalian bisa mati dua minggu lagi karena saya tulari virus. Kalian tahu rasanya tak bisa mengecap apa-apa? Atau dikelilingi begitu banyak udara tetapi tak ada yang bisa dihirup sebab paru-paru kalian kempis dan tak bisa mengembang? Oh, andai kalian tahu sejak awal. Saya telah terjangkit virusnya." Sungguh, saya pikir saya berbohong waktu itu. Jika saya tahu, saya tak akan melakukannya.

"Berhenti omong kosong dan pakai lagi maskermu. Mukamu menyebalkan." Si Suami berusaha tampak tak acuh sementara istrinya memandangi saya dengan ragu.

Saya tahu akan babak-belur setelahnya. Siapa peduli! Saya mulai batuk. Bukannya tenggorokan saya gatal atau berdahak, saya cuma suka melihat kecemasan di mata mereka, melihat bagaimana kami bertukar peran dengan mudahnya.

Kerah baju saya dicekal lalu entah ide dari mana, saya batuk tepat di wajah pria itu. Tinju pertamanya mendarat di mata kiri saya. Hal terakhir yang saya ingat adalah pekik ngeri dari Si Istri. Kemudian bercak putih memenuhi pandangan saya.

***

Pemuda itu menyunggingkan sebentuk senyum yang hampir menyiratkan kepuasan. Namun, penyesalan terpancar dari matanya yang separo terpejam karena bengkak dan memar. "Selanjutnya, Anda tebak sendiri. Saya bangun di tengah sawah, di tengah-tengah jalan tikus. Perlu jalan kaki hampir dua jam sampai saya bertemu seorang warga dan hal pertama yang saya lakukan adalah menjerit melarangnya menyentuh saya. Ponsel dan sisa uang di dompet sudah ludes tak bersisa. Durjana-durjana di truk itu mengambil harta saya sekaligus membawa serta virusnya sebagai bonus."

Petugas polisi di hadapannya melengkapi catatannya sambil berkata, "Setidaknya untung Anda tidak menulari keluarga Anda, bukan? Kami akan cari mereka sebisa mungkin. Jangan banyak berpikir, Anda akan dipulangkan ke Semarang segera setelah hasil tesnya negatif. Anda tampaknya butuh waktu untuk merenung."

"Ya, saya sedang merenungkan beberapa puluh kilo itu, jarak antara Ngawi dan Madiun. Beberapa puluh kilo lagi sebelum ibu saya tertular dan bagaimana dirampok di tengah jalan telah menyelamatkan saya."

***

Dimuat dalam antologi cerpen berjudul "Nyala Aksara di Tengah Pandemi" pada tahun 2021. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun