Mohon tunggu...
C.C. Agung Bujana
C.C. Agung Bujana Mohon Tunggu... -

Whatever

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Belajar Cinta Sejati dari Gerrard

18 April 2014   19:50 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:31 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Jika kita mendengar kata Liverpool, maka setidaknya ada tiga hal yang akan terlintas di kepala. Hal pertama tentu The Beatles, karena dari kota inilah, empat orang anak muda bernama Lennon, Mc Cartney, Harrison, dan Ringgo Star membangun mimpinya untuk kemudian menjadi band yang paling dikenang sepanjang masa. Hal kedua adalah Titanic. Di kota bernama Liverpool inilah kapal raksasa ini memulai perjalanannya untuk dikenang menjadi tragedi, yang kemudian diangkat oleh Steven Spielberg menjadi film yang meraup untung jutaan dollar. Hal ketiga, tentu saja Klub Sepakbola mereka yang amat membanggakan itu, Liverpool FC.

Liverpool FC adalah klub Inggris paling sukses sepanjang masa. 18 Gelar juara liga ditambah dengan kesuksesan menjadi yang terbaik di Eropa sebanyak 5 kali (bandingkan dengan MU yang ‘hanya’ 3 kali) adalah bukti nyata untuk menasbihkan predikat tersebut kepada The Reds (julukan Liverpool FC). Jauh sebelum Manchester United, Manchester City, Chelsea, Arsenal, dan klub-klub lainnya muncul dengan prestasinya, Liverpool melesat sendirian untuk mengukir namanya, bukan hanya di Inggris dan Eropa, tapi dunia. Jauh pula sebelum seorang Alex Ferguson mendapatkan gelar kehormatan ‘Sir’, manajer Liverpool bernama Bob Paisley telah mendapatkannya duluan.

Tapi kejayaan itu terjadi sebelum saya lahir. Memasuki periode 1990-an, dominasi Liverpool perlahan hilang. Di Inggris, Alex Ferguson datang untuk membawa klub berbaju merah lainnya Manchester United mendominasi Liga Inggris. Di Eropa pun nama Liverpool tenggelam.  Berbagai pelatih dan pemain hebat datang dan pergi, namun tetap gagal untuk membawa Liverpool merajai kembali Inggris. Namun ditengah keringnya gelar Liga Inggris tersebut, ada satu sosok yang tidak bisa lepas dari Liverpool, Steven George Gerrard. Memulai debut di Liverpool sejak 1998, hingga di awal 2014 nama Gerrard tetap berada dalam skuad Liverpool.

Jika orang bicara tentang loyalitas dan kesetiaan, maka kita akan dengan mudah menyebut nama Paolo Maldini dan Ryan Giggs sebagai model yang sempurna untuk menggambarkannya. Baik Maldini maupun Giggs hanya bermain untuk satu klub sepanjang karirnya, masing-masing untuk AC Milan dan MU. Akan tetapi, untuk masalah loyalitas dan kesetiaan, mungkin Maldini dan Giggs tidak akan pernah sehebat Gerrard. Akan lebih tidak sulit untuk bertahan pada satu klub jika klub anda mendapatkan semuanya dari klub. Dan itulah yang terjadi pada Maldini dan Giggs. Mereka mendapatkan semua yang dibutuhkan oleh setiap pesepakbola, trofi bergengsi. Maldini memenangkan 7 gelar domestik dan 5 gelar Liga/Piala Champions bersama AC Milan.  Giggs? Dia memenangkan 13 gelar liga domestik dan 2 liga champions bersama MU. Walaupun ada banyak faktor lainnya yang mempengaruhi kesetiaan seorang pemain pada sebuah klub, trofi merupakan faktor yang tak kalah penting untuk dipertimbangkan.

Sudah banyak kasus pemain hebat yang pergi meninggalkan klubnya demi trofi dan materi. Contoh paling aktual tentu Robin Van Persie meninggalkan Arsenal demi trofi juara bersama MU. Pemain Liverpool lainnya yang pernah dinobatkan sebagai bocah ajaib bernama Michael Owen juga pergi meninggalkan Liverpool demi meraih trofi bersama Real Madrid. Bagaimana dengan Gerrard?  Tampil lebih dari 600 pertandingan kali sebagai pemain Liverpool, Sang Kapten ini dengan kualitas hebat yang dimilikinya bahkan belum pernah mengangkat trofi juara liga domestik. Trofi paling bergengsi yang didapatkannya ‘hanya’ Liga Champions 2005, ketika ia dengan begitu herois memimpin Liverpool untuk melakukan comeback paling dramatis dalam sejarah final Liga Champions. Akan tetapi, tergodakah dia untuk meninggalkan Liverpool?  Sama sekali tidak. Dia tetap ada di sana mulai dari Manajer Roy Evans sampai Brendan Rodgers, tidak peduli dimanakah posisi Liverpool berada, dengan atau tanpa trofi, dia tetap berdiri paling depan disana. Tidak peduli pula dimana ia dimainkan oleh pelatihnya, apakah sebagai gelandang bertahan, gelandang serang, sayap kanan, atau bek kanan semua dilakoninya dengan hati yang penuh. Padahal kalau Gerrard mau, tentu tidak akan sulit baginya untuk menemukan klub yang bisa memberinya materi dan juga trofi.

Kini menjelang usianya yang ke-34, Gerrard berpeluang besar untuk melengkapi sejarahnya bersama Liverpool dengan memenangi Liga Inggris. Sebuah trofi yang sudah dinantikannya sejak debutnya bersama Liverpool, sejak ia berusia 18 tahun. Akan menjadi tragedi kecil jika seorang kapten yang sudah bermain lebih dari 600 kali dari klub dengan sejarah besar dan juga kapten dari tim nasional negaranya justru tidak pernah mengangkat trofi liga domestik sepanjang karirnya. Saya memang bukan pendukung Liverpool, bukan juga pendukung salah satu klub liga inggris. Tetapi melihat cinta dan kesetiaan Gerrard bersama Liverpool, saya berharap bahwa Liverpool-lah yang harus memenangkan gelar musim ini demi kapten mereka, Gerrard.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun