Mohon tunggu...
Sadzikri
Sadzikri Mohon Tunggu... Pelajar -

Pelajar SMA | Sejarah adalah pelajaran favorit saya | Menyukai politik karena politik itu seni realis terbaik | Juga seorang penggemar budaya pop Jepang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengenai Tahun Politik, Isu Agama, dan Generasi Muda

8 Juni 2018   21:37 Diperbarui: 11 Juni 2018   07:47 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hitungan beberapa waktu ke depan, Pilkada Serentak 2018 serta Pemilu dan Pilpres 2019 akan segera berlangsung. Pergelaran politik lima tahunan tersebut pastinya akan menjadi ajang setiap partai politik serta kadernya untuk meraih posisi kepala daerah, kursi dewan perwakilan, bahkan kepala negara Republik Indonesia alam "tahun politik" ini.

Karena hal tersebut, kita tidak merasa heran jika akhir-akhir ini terdapat banyak informasi mengenai berbagai politikus tanah air yang melakukan serangkaian cara atau manuver untuk membentuk aliansi dengan sesama partai politik dan merebut simpati rakyat yang akan memilih.

Salah satu cara politikus yang sedang cukup tenar akhir-akhir ini adalah penggunaan sentimen agama dalam panggung politik nasional. Tidak sulit untuk mencari contohnya, seperti membawa-bawa nama suatu agama dalam kampanye, memberi label "anti-agama X" pada siapapun yang tidak memilih calon yang "pro-agama X", dan lain-lain.

Hal tersebut memang semakin populer menjadi alat politik sejak seorang Gubernur DKI Jakarta melontarkan ucapan yang dianggap menistakan agama tertentu. Tentunya hal tersebut memicu pro kontra di kalangan masyarakat. Namun, bagaimana dengan reaksi generasi muda yang melihat hal tersebut?

Generasi muda Indonesia, memiliki perbedaan yang mencolok dibandingkan generasi-generasi sebelumnya, terutama dalam penggunaan internet. Karena generasi nuda Indonesia sudah diberikan pengetahuan dan akses internet sejak dini, maka hampir dapat dipastikan bahwa generasi ini akan lebih mudah beradaptasi dengan kehidupan dunia maya.

Karena akses internet itu pula, mereka dapat menerima berbagai informasi dari seluruh dunia secara mudah dan cepat. Informasi yang diterima bisa berbagai macam, dari berita, hiburan, hingga ide-ide yang semakin mudah didapat. Karena hal itu pula, generasi tersebut dapat lebih cepat mendapat dan menyerap ilmu-ilmu yang berasal dari luar negeri.

Namun, hal yang juga harus diperhatikan adalah sisi religius dari kedua generasi yang berbeda. Generasi muda, yang mudah mendapat berbagai informasi bahkan ideologi dari luar negeri akibat penggunaan internet, akan semakin mudah terpengaruh oleh paham-paham seperti liberalisme atau bahkan komunisme hingga fasisme.

Hal ini disebabkan karena dua paham tersebut seakan-akan dapat memenuhi keinginan manusia selama ini: kebebasan setiap manusia dan kesetaraan universal. Sementara itu, paham fasisme diminati karena persekusi atau genosida terhadap umat Yahudi, yang sampai sekarang dianggap sebagai penjajah tanah Palestina.

Penyebab lainnya adalah rasa keingintahuan yang besar. Pasti pernah kita dilarang untuk mengenal komunisme hanya karena "mereka adalah ateis". Hal itu pastinya akan menggugah rasa penasaran kita karena tidak ada alasan rasional mengapa kita dilarang mengenal komunisme selain alasan dogmatis bahwa komunis itu ateis.

Dengan aksesibilitas terhadap segala hal yang semakin mudah setelah adanya internet, maka kita dapat melampiaskan rasa penasaran tersebut melalui internet. Kita dapat dengan mudahnya mendapatkan artikel mengenai pemikiran-pemikiran liberal, komunis, fasis, dan lainnya.

Ilmu-ilmu yang telah didapatkan melalui internet kemudian mendorong kita untuk berpikir logis dan rasional. Dengan kemampuan berpikir logis dan rasional tersebut, Maka akan muncul berbagai pertanyaan mengenai ketuhanan dan agama yang mereka anut selama ini.

Hal tersebut lah yang menyebabkan mulainya suatu tren dimana beberapa generasi muda menjadi deis atau bahkan ateis. Karena rasionalitas pula, maka muncul pikiran bahwa "usaha dan hasil kerja keras itu lebih baik daripada agama". Inilah yang menjadi polemik saat Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.

Perlu dipahami, resistensi terhadap keterlibatan agama dalam politik semakin tinggi akibat adanya sentimen agama yang dimanfaatkan oleh kelompok tertentu, terutama dari golongan muda. Hal ini semakin diperparah dengan kasus-kasus intoleransi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang cenderung pro terhadap mereka yang memainkan isu-isu agama.

Jika para elit politik terus memainkan isu agama hanya demi kekuasaan yang fana semata, maka efeknya akan sangat berbahaya untuk generasi muda yang juga akan menjadi generasi penerus mereka.

Apakah ini yang kita inginkan? Demi kekuasaan yang fana, kita rela mengorbankan kehidupan beragama penerus-penerus kita? Atas nama "kepentingan rakyat", kita rela turut serta menanamkan bibit-bibit yang akan memudarkan sila pertama dari Pancasila?

Mungkin saya bukan orang yang ahli politik, tetapi saya mohon kepada setiap elit politik yang memainkan isu-isu agama demi kekuasaan, "Jangan gunakan agama dengan mengorbankan agama generasi setelah anda semua, apalagi hanya untuk sesuatu yang fana".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun