Setelah melewati masa-masa diplomasi yang cukup sulit,Presiden Korea Selatan dan Pemimpin Korea Utara akhirnya dapat bertemu kembali di KTT Inter-Korea yang ketiga kalinya sejak diadakan terakhir kalinya pada tahun 2007.
KTT yang diadakan di Kawasan Keamanan Bersama Panmunjom ini dapat dikatakan sebagai KTT yang sangat berbeda dibandingkan KTT sebelumnya. Untuk pertama kalinya, KTT Inter-Korea diadakan di wilayah Korea Selatan (KTT ke-1 dan ke-2 diadakan di Pyongyang). Untuk pertama kalinya pula Pemimpin Korea Utara menyebrang ke wilayah Korea Selatan setelah berakhirnya Perang Korea pada tahun 1953.
KTT ini berhasil menciptakan berbagai kesepakatan di antara kedua belah pihak, salah satunya adalah bahwa Korea Selatan dan Korea Utara akan bekerja sama untuk mengakhiri Perang Korea secara formal. Kesepakatan yang terpenting adalah bahwa kedua belah pihak akan mengusahakan denuklirisasi untuk Semenanjung Korea yang bebas nuklir.
Gangguan yang Memengaruhi Perdamaian
Namun, apabila kita melihat yang terjadi setelah KTT Inter-Korea sebelumnya, akan muncul ancaman berupa gangguan yang dapat mengganggu proses perdamaian di Semenanjung Korea. Beberapa gangguan yang pernah muncul di antaranya adalah perubahan situasi internasional dan perubahan situasi di Semenanjung Korea itu sendiri.
Setelah KTT yang pertama pada tahun 2000, muncul perubahan situasi internasional berupa Serangan Teror 11 September. George W. Bush kemudian memasukkan Korea Utara sebagai "poros setan" karena berusaha mengembangkan senjata pemusnah massal. Kedua Korea juga terlibat pertempuran laut di dekat Pulau Yeonpyeong pada tahun 2002. Ketegangan semakin meningkat ketika Korea Utara berhasil mengadakan tes nuklir pada tahun 2006.
Harapan perdamaian setelah KTT yang kedua pada tahun 2007 kembali mengalami hambatan yang datang dari perubahan situasi poltik di Korea Selatan. Presiden Korea Selatan yang baru, Lee Myung-bak, mengambil sikap yang berbeda dari pendahulunya, Roh Moo-hyun, terhadap Korea Utara. Sikap keras dari presiden baru yang cenderung konservatif, terutama mengenai masalah nuklir, menyebabkan deteriorasi hubungan antara kedua negara.
Selama lebih dari 10 tahun kemudian, ketegangan di Semenanjung Korea terus berada pada level yang cukup signifikan. Korea Utara terus melakukan tes nuklir pada tahun 2009, 2013, 2016, dan 2017. Korea Utara juga sempat melakukan provokasi militer pada Pembombardiran Pulau Yeonpyeong pada tahun 2010. Begitupun sebaliknya, Korea Selatan juga bertahan pada kebijakan yang keras dan konservatif selama kurun waku tersebut.
Asa Tidak Boleh Hilang
Meskipun demikian, asa yang muncul dari KTT Inter-Korea tahun 2018 tidak boleh mudah hilang akibat melihat pengalaman sebelumnya. Korea Utara dan Korea Selatan pasti mampu menyelesaikan masalah-masalah di antara mereka secara damai.
Hal tersebut dapat dipenuhi mengingat sedang mencairnya ketegangan di Semenanjung Korea yang sedang diupayakan kedua negara. Situasi tersebut juga didukung oleh situasi internasional yang mendukung perdamaian di Semenanjung Korea, termasuk negara-negara adidaya seperti AS dan Tiongkok.
Yang terpenting, dalam menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea, semua pihak harus dapat mencegah atau menahan munculnya gangguan-gangguan, termasuk perubahan situasi, yang dapat mengubah jalan menuju perdamaian di Semenanjung Korea. Oleh karena itu, setiap pihak yang terlibat harus bahu-membahu dalam mendukung perdamaian bahkan reunifikasi antara kedua Korea.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H