Beberapa bulan yang lalu, seorang teman membeli sebuah novel. Sampul novel yang menari ternyata membuat saya penasaran untuk membacanya. Awalnya si, pas lihat pertama kali belum terlalu tertarik untuk membacanya. Pasalanya ketika saya mencoba membaca salah satu bagian dari novel tersebut bahasanya masih kaku. Ditambah lagi tidak ada prolog atau sejenisnya yang mengambarkan utuh kisah novel tersebut secara ringkas.
Namun lama-kelamaan karena Novel di tempat saya suda nggak ada, akhirnya saya putuskan untuk membacanya. Lihat dari sampul depan judulnya Sarjana Muda menantang samudra kehidupan. Dilihat dilembaran akhir jumlah halaman empat ratus tujuh puluh Sembilan. Dari profil penulis, penulisnya ternyata dua orang. Satu alumnus psikologi sebuah perguruan tinggi di Jakarta bernama Menur Widilakmi dan santunya seoreang alumnu sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta, namanya Gatotkoco Suroso. Dari kedua naman tersebut, sebenarnya saya sama sekali tidak mengenal keduanya. Dan baru pertama kali ini saya membaca namanya.
Well. Terlepas dari siapa yang nulis, saya hanya ingin menyimpulkan alias meringkas Novel tersebut. Dan juga nanti saya beri kritikan dan juga saran yang insya Allah membangun. Baik, awal ceritanya ada seorang anak petani yang berusaha keras untuk kuliah. Namun di balik kemauan kerasnya tersebut, ada masalah ekonomi keluarga yang menjadi rintangan baginya. Ya, seoang keluarga dari buruh tani memang kebanyakan orang yang sederhana –kalau tidak mau dibilang pas-pasan-. Namun ternyata tekad yang dia miliki dan cita-cita yang ingin dia gapai sangatlah kuat.
Dia memiliki cita-cita untuk melanjutkan kuliahnya di sebuah Universitas Swasta terkenal di Yogyakarta. Setelah lulus nanti, dia ingin memajukan desa tempatnya besar. Untuk melanjutkan cita-citanya bersekolah di perguruan tinggi , tokoh yang namai penulis dengan Langgeng tersebut meminta izin kepada kedua orang tuanya. Pada awalnya, ibunya tidak setuju dengan keinginan Langgeng. Sebab tahulah mereka jika biasa kuliah itu tinggi. Mereka hanya takut nanti kalau tidak bisa membiayai kuliah Langgeng. Namun, ternyata bapaknya sangat mendukung. Bahkan bapaknya berjanji akan berusaha lebih kuat untuk bekerja agar bisa menyekolahkan Langgeng hinga lulus sarjana muda. Mendengan semangat bapaknya, ibunya pun akhirnya luluh dan mengiyakan saja permintaan Langgeng.
Setelah mendapatkan izin dari kedua orang tuanya. Langgeng langsung pergi ke Yogyakarta dan dan mendaftarkan dirinya di universitas yang dia inginkan. Ya, dia ingin sekali bisa kuliah jurusan ekonomi di kampus tersebut. Setelah mendaftar dan segalam macamnya, akhirnya Langgeng resmi menjadi mahasiswa di kampus tersebut.
Semasa kuliah, Langgeng aktif dalam berbagaimacam perkumpulan mahasiswa. Dia sangat fokal dan anti korupsi. Sekecil apapun bentuk korupsi yang dia ketahui pasti dia tolak. Setiap ada hal yang mencurigakan masalah anggaran pasti dia telisik. Seakan-akan dia adalah pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi.Dalam menjalankan aktifitasnya, dia tidak sendirian. Sebagaimana dalam kehidupan kampus, selalu saja ada geng yang berkumpul untuk membicarakan banyak hal. Dalam hal ini Langgeng mempunyai empat patner diskusi yang menjadi sahabat setianya. Satu dari medan bernama Daeng, satu dari Jakarta bernama Ucup, satu dari makasar bernama Petrus, satu lagi perempuan asli Medan.
Langgeng dan teman-temannya selalu membicarakan hal terupdate tentang perekonomian bangsa. Yang menjadi soroton lima mahasiswa tersebut adalah kurangnya pemerintah memperhatikan ekonomi keraksayat. Yakni ekonomi kelas rakyat yang bisa dilakukan dan diaplikasiakan oleh semua lapisan masyarakat. Bukan okonomi liberal yang hanya bisa dilakukan kalangan borjuis banyak modal.
Apa yang digemborkan Langgeng bersama empat temannya tentang ekonomi kerakyatan bukanlah tanpa sebab. Mereka melihat bahwa saat ini walau zaman sudah maju, namun kemajuan itu hanya ada dalam satu sisi. Sedangkan sisi lainnya masi tertinggal bahkan terkesan mundur. Hal tersebut seirama dengan lagunya bang Haji yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Faktor mendasar masalah ini adalah karena yang bergerak dalam bidang ekonomi yang lahannya basa hanya orang-orang berjas dan bermodal. Yang tujuannya hanya untuk kekayaan pribadi bukan untuk kesejahteraan manusia. Menurut Langgeng, ekonomi kerakyatan merupakan methode ampuh untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Sebab ekonomi kerakyatan lebih mementingkan aspek pemerataan kesejahteraan disbanding dengan ekonomi lainnya yang hanya berorientasi pada pemenuhan tujuan sebagian golongan saja.
Sebenarnya, konsep perekonomian kerakyatan sejalan dengan asas nilai ekonomi yang dibangun oleh Syariat islam. Menghendaki pemerataan kesejahteraan dengna memungut pajak atau zakat dari orang kaya dan disalurkan kepada orang miskin. Mengatur perdangan yang menitikberatkan pada keadilan dan kejujuran, dan lain-sebagainya.
----
Tak terasa Langgeng sudah empat tahun dikampusnya. Bekerja di sawa membantu orang tuanya ternyata bisa membuatnya bertahan hingga “mau” mendapat gelar sarjana muda bidang ekonomi. Hari ujian skripsipun tiba. Tiga orang dosen penguji di damping dua orang dosen pembimbing siap menemni Langgeng dalam suasana menegangkan tersebut. Ujian pun dilaksanakan, dan pengumuman dikeluarkan.
Walhasil, ternyata si Langgeng adalah juara satu dengan IPK tertinggi. Jadilah dia wisudawan terbaik se kampusnya. Namun, Langgeng tidak terbesit sama sekali untuk melanjutkan S2 atau menjadi dosen dan pengajar. Cita-cita Langgeng kini tinggal satu. Yakni membangun desanya. Cita-cita Langgeng inilah yang patut kita tiru dan teladani. Seorang dengan gelar sarjana, terbaik pula sekampusnya, namun tetap ingat dengan desanya. Ingin membangun desanya, dan ingin memperkenalkan desanya ke rana nasional bahkan mancanegara.
Saat ini bisa kita amati sendiri. Terlebih jika kita adalah anak desa. Betapa banyak kita melihat orang-orang yang kuliah keluar kota. Jakarta atau kemana gitu. Setelah lulus, seakan kacang upasan yang lupa kulitnya. Ya, memang begitulah. Banyak yang nyangkut dengan kota tempat belajarnya dan lupa dengan tempat dia bermain dan menghabiskan hari-harinya semasa kecil. Salah satu faktor yang menjadi pendorong utama hal semacam ini ada dua hal, yang pertama dia takut tidak bisa berpenghasilan besar di desanya, dan yang kedua dia putus asa dengan keadaan desa dan masyarakatnya.
Banyak orang yang tidak pulang kedesanya, dan meninggalkan desanya semakin tertinggal dan memilih mengembangkan tempat lain hanya karena motif ekomoni pribadi. Memang sih, hidup di luar desa atau berhijrah ketempat lain itu bisa menambah wawasan, menambah jaringan, dan juga menambah kekayaan. Namun bukankah desa juga bisa disulap menjadi kota yang tetap mempertahankan ciri “kedesaannya” ?.
Sebagai umat islam, pilihan untuk kembali ke kampong halaman setelah lulus memang bagus. Sebagaimana ayat al-Quran yang memerintahkan untuk menuntut ilmu ke luar kota dan jika sudah selesai kembali untuk mengajarkannya ke kampungnya, bagus bukan ?.
Kembali ke Langgeng. Setelah lulus kuliah, dia langsung meninjauh sebuah waduk yang ada di desanya. Rencanya dia akan membuka budidaya ikan di waduk tersebut sekaligus membangun rumah makan dari hasil pertanian ikan di waduk tersebut. Namun yang menjadi kendala saat itu adalah biaya. Ya, modal uang kadang menjadi kendala serius dalam memulai usaha. Namun Langgeng tetap yakin bahwa usaha itu modalnya adalah diri sendiri. Bukan uang. entah apa maksud perkataanya. Namun yang penting, ketika Langgeng merasa kesulitan untuk mendapatkan modal, dia mengambil langkah yang luar biasa supernya. Dia memutuskan untuk merantau ke Jakarta dan mengumpulkan modal di sana. Super bukan ?
Sebenarnya, pak lurah desa Langgeng ingin membuka investor asing untuk mengelola waduk tersebut. Namun langgen menolak dengan keras. Sebab jika yang mengelolah adalah investor, jelas masyarakat akan sedikit sekali dilibatkan dan untung besarnya hanya akan dinikmati investor tersebut. Paling Cuma 10 persen saja yang akan dinikmati warganya. Itupun larinya ke aks desa bukan ke kantong masyarakat. Langgeng sejak semula memang menginginkan sebuah usaha yang dikelola masyarakat sendiri, modal dari masyarakat sendiri, supaya nanti untung dari usaha tersebut bisa langsung dibagi bersih kepada masyarakat.
Bukan namanya anak muda bergelar sarjana kalau menyerah dengan keadaan. Setibanya di Jakarta, Langgeng beberapa bulan tinggal di rumah temannya, Ucup. Mencari kerjaan kesana kemari. Berpindah dari gedung pencakar langi satu yang lainnya. Dia perna bekerja bagian administrasi, namun suatu saat perna disuruh bosnya untuk merekasaya keungan.Jiwa Langgeng yang sejak dulu benci, bahkan bisa dikatakan sangat-sangat benci dengan korupsi tentu saja menolaknya dengna keras. Walhasil diapun di pecat dari pekerjaannya.
Dia pun perna bekerja sebagai tukang bersih-bersih di sebuah rumah makan. Suatu ketika rumah makan tersebut kedatangan pengunjung anak-anak berseragam SMA. Mereka nampaknya sengaja menumpahkan makanan mereka ke lantai. Langgengpun memebrsihkannya. Namun mereka kembali mengotorinya. Mereka memang berniat untuk menghina Langgeng. Tidak terima dengan penghinaan, Langgeng pun menasihati mereka. Merekatidak terima, ternyata salah satu dari mereka adalah anak bos rumah makan tersebut. Maka ayahnya pun dipanggil. Langgeng menjelaskan kepada ayahnya jika dia bekerja bukan untuk dihina atau direndahkan. Dia bekerja untuk sesen uang halal untuk merealisasikan cita-cita membangun desanya.
Menjadi sales regulator tabung gas pun perna dia jalani bersama temanya, Ucup. Di hari pertamanya jadi sales dia langsung diperintahkan untuk menjajahkan dua puluh lima buah regulator gas. Namun hanya satu yang terjual dari Langgeng dan lima dari Ucup. Ucup mendapat komisi dua puluh lima ribuh sedangkan Langgeng hanya lima ribu saja. Sadar dia tidak akan bisa mengumpulkan modal dengan cepat dengan kerja seperti itu, akhirnya dia langsung berhenti dan mencari pekerjaan lainnya.
Kini Langgeng mulai tidak enak dengan keluarga Ucup. Sudah berbulan-bulan dia tinggal di sana gratisan dan dia juga belum mendapatkan pekerjaan yang dia inginkan. Akhirnya dia memutuskan untuk pindah dan mencari indekos yang murah dengan lingkungan yang menyenangkan. Singkat cerita diapun mendapatkan kos-kosan. Sebuah rumah seoran pengusaha yang di dalamnya terdapat kamar kosong. Mulailah Langgeng tingal di sana. Awalnya keluarga tersebut menawari Langgeng untuk bekerja di perusahaannya. Namun dengan sopan Langgeng menolaknya karena ingin berusaha sendiri.
Suatu ketika Langgeng ingin melanjutkan perjalanannya mencari pekerjaan. Tak disangka dia bertemu dengan Kristin, teman semasa kuliahnya di yoyakarta. Akhirnya mereka berdua menepi ke sebuah warteg di daerah Blok M. mereka terlihat asyik mengobrol dan merencanakan sesuatu. Ya, mereka berdua berniat untuk membuaka sebuah rumah makan. Sebab bagi mereka semua orang pasti butuh makan. Mangkanya mereka beranggapan akan laris manis.
Tak butuh lama akhirnya mereka merealisasikan gagasan cerdas tersebut. Keduanya bekerja keras hingga akhirnya warung makan campur aduk khas jawa dan padang tersebut terkenal sehingga banyak pengunjung yang mengunjunginya.
Dalam menjalankan bisnisnya, Langgeng tidak selalu mulus, perna suatu ketika warungnya kebakaran. Semuanya ludes. Namun bukan jiwa anak muda dengan gelar sarjana muda kalau putus asa begitu saja. Langgeng kembali bersemangat dan mengumpulkan tenaga untuk mendirikan kembali warungnya. Padahal saat itu Langgeng sedang mengikuti perlomabaan rumah makan. Untuk mengejar ketertingalannya dari warung makan lainnya, langgen tak henti-hentinya bekerja. Hingga akhirnya dia dinobatkan sebagai pemenang dan mendapatkan hadia dua milyar rupiah.
Melihat hadia yang cukup banyak, Langgeng mulai berfikir untuk pulang kampung. Dua milyar rasanya suda cukup untuk membangun desanya. Maka diputuskanlah untuk balik kampung dan rumah makan yang dirintisnya diteruskan oleh Kristin.
Setibanya di desa, dia langsung melakukan gebrakan super. Semua warga dilibatkan dalam pembangunan keramba apung. Jelas masyarakat sangat suka dengan apa yang dilakuakan Langgeng. Meskipun dia di Jakarta sudah begitu sukses namun dia tetap satu kata satu tujuan, membangun desanya yang tertinggal.
Ringkasan cerita Langgeng ini membuat sebuah inspirasi yang super wau bagi saya pribadi. Bagaimana seorang pemuda dengan semagatnya yang tinggi tidak perna terpengaruh untuk ikut-ikutan memperkaya diri dan membiarkan orang disekitarnya kelaparan. Bukanlah seorang muslim jika dia kenyang namun sekitarnya kelaparan. Bukanlah seorang muslim jika dia aman tidur nyenyak namun sekitarnya tidak bisa tidur nyenyak.
Jiwa Langgeng memang jiwa sosial yang sangat anti dengan korupsi. Jauh dari pikiran memperkaya diri.Dalam dirinya hanya terbesit kata untuk memajukan desanya. Mengangkat ekonomi masyarakatnya. Dia tidak tega kalau masyarakat desanya selalu terpuruk. Dipenjundangi oleh orang lain dan berada di garis kemiskinan yang bagitu parah.
Wassalam..
Chilso 95
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H