Mohon tunggu...
The Children's Post
The Children's Post Mohon Tunggu... -

Unlock the fullest potential

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru Mendidik?

1 Juni 2014   04:49 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:52 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebut saja namanya Ivan. Ia masih di luar kelas saat jam pelajaran dimulai. Salah seorang guru bertanya: "Apa yang bisa membuat fun untuk belajar?" Ivan menjawab dengan pasti, "by leaving me alone." Jawabnya sambil menyengir. Jawaban Ivan sesungguhnya adalah jawaban jujur bahwa urusan belajar sesungguhnya akan lebih menghasilkan jika ia melakukan sendiri.

Serupa tapi tak sama, cuplikan di atas seakan mengingatkan kita pada Jean-Baptiste Colbert, menteri keuangan Raja Louis XIV pada 1665-1984. Suatu hari pada tahun 1680, ia bertanya kepada para pengusaha Prancis dalam sebuah jamuan makan tentang apa yang dapat diberikan negara untuk kemajuan bisnis mereka. Le Gendre, salah seorang pimpinan pengusaha Prancis menjawab singkat, “Biarkan kami sendiri (Laissez-nous faire).”  Jangan campuri urusan kami!

Kedua kisah di atas, Ivan dan Le Gendre setidaknya mewakili sketsa pemikiran yang berusaha melepaskan diri dari dogma-dogma agama dan kekuasaan politik sebelum Renaisans. Seakan tidak banyak berubah, konsep dan praktik pendidikan di Indonesia pun tak ubahnya seperti pada zaman kegelapan. Standarisasi pendidikan yang sarat dengan kepentingan politik negara, arahan kurikulum yang semakin baku dan tak terbantahkan, serta dogma-dogma yang harus ditanamkan pada anak didik sangat jelas menjadi tindakan sengaja para penguasa dan praktisi pendidikan.

Buku teks yang telah disediakan wajib digunakan. Soal ujian mutlak keluar dari buku teks. Di samping itu, guru harus mengejar target untuk menghabiskan isi buku serta soal-soal latihan. Belum lagi melakukan acara-acara sekolah untuk membangun keceriaan siswa. Alhasil, tidak mudah menemukan guru sekelas Plato, Aristoteles atau Sokrates. Guru yang muncul dalam kekelaman ini adalah guru yang berpacu mengejar sertifikasi guru dari pemerintah, guru yang sepenuhnya sadar bahwa pengajarannya di kelas tidak maksimal (sehingga ada peluang baginya mengajar les sepulang sekolah bagi murid-muridnya, sembari mendapatkan penghasilan tambahan), guru yang komitmen dan konsistensinya terhadap anak didik rendah, guru yang sama sekali tidak mampu berpikir kritis, guru yang tidak lagi gemar belajar (kecuali untuk mendapatkan gelar, karir, prestise dan gaji tambahan), serta guru yang bahkan tidak kenal sama sekali dengan maha guru pendidikan seperti Plato, Aristoteles, Plato, Hume, Descartes, John Locke, Montessori serta penggagas pendidikan di dunia.

Keadaan ini benar-benar menghadirkan kembali kondisi asali yang ditunjukkan oleh Thomas Hobbes dalam buku mahakaryanya, Leviathan. Guru sekedar mencari hidup bahkan menjadikan anak-anak sebagai komoditas belaka. Mematok harga tinggi plus biaya les di rumah, serta memajang foto bersama anak-anak didiknya untuk menunjukkan bahwa ialah yang paling berjasa dalam membentuk generasi emas bangsa ini. Tindakannya tak lebih dari membangun citra guna mendapat hadiah dan pujian belaka. Seakan tanpanya, anak-anak tak akan mampu bertumbuh maksimal. Ia lupa bahwa orangtua yang mengandung dan membesarkan anak-anak itulah yang justru paling pantas mendapatkan hadiah atas keberhasilan anak-anak bangsa. Anak-anak seakan tak kuasa lepas dari cengkeraman keadaan. Ia harus menjadi tak berdaya di hadapan para guru guna mendapatkan nilai dan apresiasi.

Meminjam pendapat D. Hume yang menggugat keadaan stagnan Inggris waktu itu: "From what is, we cant conclude what should be" akan menawarkan secercah harapan. Di dunia yang seperti ini, amatlah wajar jika guru tak lagi dibutuhkan. Kecuali guru  bangun dari tidur pulasnya dan bangkit menjadi guru bangsa. Guru yang membuka potensi anak didik, bukan menggurui potensinya. Guru yang lepas dari kepentingan dirinya. Guru yang berpikir kritis. Guru yang hidupnya adalah untuk anak-anak bangsa.

Pandangan bahwa anak-anak adalah kertas putih dan tidak memahami apa-apa pada praktiknya telah membuka peluang keruntuhan moral kaum dewasa. Kondisi nyaman ini menjadikan pendidikan sebagai alat politik yang paling ampuh guna mendukung kekuasaan. Sekolah menjadi lembaga bisnis penghasil profit. Guru yang seharusnya kaya dengan ilmu menjadi guru yang kaya gelar dan sama buasnya dengan pelaku bisnis kapitalisme lainnya. Anak-anak perlu segera dibebaskan dari belenggu dogma pendidikan semacam ini.

Tulisan ini tidak memberikan gambaran solusi atas carut marut eksistensi pendidikan Indonesia. Namun tulisan ini menunjukkan bahwa keadaan stagnan pendidikan bangsa ini masih memiliki harapan. Di tengah kemerosotan moral yang melanda pendidikan dan guru-guru negeri ini, masih selalu ada guru yang dengan setia menjadi pembuka potensi anak didik. Guru yang jauh dari gemerlap popularitas di dunia maya dan hingar bingar hedonisme dunia. Ia masih setia memandang anak-anak sebagai pemilik ilmu pengetahuan dari Khalik; menjadi saksi atas kemandirian, dan keajaiban pikiran anak-anak. Pandangan ekstrim yang menunjukkan ketidakberdayaan anak-anak perlu dibongkar dan dikembalikan pada fakta hukum alam yang ekstrim pula. Bagi Montessori, fakta terbesar dari hukum alam bahwa anak adalah pencipta manusia dewasa. Anak adalah ayah dari manusia. Child is constructor of the man (Montessori, The Secret of Childhood, 1978).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun