Gambar : detik.com
Peraturan Presiden (Perpres) 100/2014 sebagai payung hukum yang berisi tentang Percepatan Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS). Salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PT. Hutama Karya mendapatkan penugasan untuk membangun 4 ruas tol, yakni Tol Medan-Binjai 16,8 kilometer dengan investasi Rp 2 triliun, Palembang-Indralaya 22 kilometer dengan investasi Rp 1 triliun, Bakauheni-Terbanggi Besar 138 kilometer dengan investasi Rp 13,8 triliun, dan Pekanbaru-Dumai 135 kilometer dengan investasi Rp 14,7 triliun yang akan terbentang dari Lampung hingga Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dengan total panjang 2.771 kilometer dan dibagi menjadi 23 ruas yang akan dibangun bertahap sampai Tahun 2025 mendatang. PT. Hutama Karya telah ditugaskan untuk membangun 311,8 kilometer, yang terbagi atas 4 ruas jalan tol. Proyek Pembangunan JTTS ini merupakan bagian dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Cukup banyak permasalahan sebelum dibangunnya JTTS ini. Pertama, permasalahan pembiayaan pembangunan JTTS. Semula, ruas prioritas Trans Sumatera adalah ruas Medan-Binjai dan Palembang-Indralaya. Namun, Presiden Joko Widodo menetapkan agar Bakauheni-Terbanggi Besar lebih diprioritaskan karena punya arti penting untuk program tol laut. Sehingga, yang berawal dari 2 proyek menjadi 4 proyek. Hal ini, akan berpengaruh pada peningkatan pembiayaan pembangunan JTTS. Kedua, Pemerintah Indonesia tidak mengeluarkan regulasi terkait pembebasan lahan proyek JTTS, seperti lahan pertanian yang akan dijadikan jalan tol. Sehingga, tidak ada aturan hukum yang mengawal proses pembebasan lahan dan masih menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi investor, seperti PT. Jasa Marga. Dilihat dari kacamata hukum, regulasi pembebasan lahan pertanian telah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 2 Tahun 1993 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi perusahaan dalam rangka Penanaman Modal, lebih jelas lagi termaktub dalam Bab I Pasal 1.
Namun, permasalahan tersebut sudah terselesaikan sehingga proyek pembangunan JTTS ini dapat dijalankan. Pertama, untuk membangun ke-empat ruas tol tersebut, dilakukan perhitungan ulang seluruh kebutuhan investasi untuk menyelesaikan ruas-ruas Tol Trans Sumatera, yang telah menjadi tugas berdasarkan faktor inflasi dan ketidakpastian situasi ekonomi. Total investasi yang dibutuhkan mencapai Rp 30,84 triliun. Kebutuhan investasi tersebut kini meningkat menjadi Rp 33,602 triliun. Sumber pembiayaan pihak PT. Hutama Karya berasal dari dana Konvensional berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) yang berasal dari pinjaman perbankan dimana untuk 5 tahun kedepan kebutuhan PMN meningkat dari Rp 12,95 triliun menjadi Rp 17,4 triliun. Artinya, ada kenaikan kebutuhan PMN Rp 4,45 triliun atau 34,36%. Jumlah PMN yang tidak sedikit, menyebabkan kemungkinan bahwa dasar hukum proyek ini akan diubah dan ada kemungkinan pula perusahaan pelat merah maupun perusahaan lainnya juga akan dilibatkan dalam proyek pembangunan JTTS, salah satunya adalah pinjaman dari PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Selain itu, PT. Hutama Karya juga tengah melakukan penjajakan dengan sejumlah lembaga keuangan multilateral untuk mendukung pembiayaan pembangunan JTTS. Dikarenakan secara ekonomi pembangunan jalan tol di Sumatera masih terlalu berat, maka disepakati untuk membangun perusahaan patungan antara PT. Jasa Marga dan setiap Pemerintah Daerah (Pemda) di Sumatera. Pembagian tugasnya adalah Pemda membebaskan tanah dan mencadangkan sejumlah kawasan di sepanjang jalan tol untuk sebuah proyek bisnis di masa depan yang akan kelak dikelola bersama. Selain bersinergi dengan Pemda, PT. Jasa Marga juga akan bersinergi dengan BUMN lain, seperti BUMN perkebunan (karena jalan tol banyak melintasi perkebunan) dan BUMN kontraktor untuk konstruksi jalan tol itu sendiri. Kedua, Presiden Joko Widodo mengapresiasi Gubernur Lampung yang telah melakukan percepatan untuk pembebasan lahan, sekaligus menegaskan setiap pembangunan agar diselesaikan pembebasan lahannya agar proses pembangunan tidak terhambat dan dapat berjalan dengan lancar.
Masyarakat sendiri menanggapi pembebasan lahan untuk kebutuhan dengan cukup positif. Karena meski mereka sudah menjual tanahnya, perusahaan-perusahaan yang membeli tanahnya kemudian mempekerjakan mereka di perkebunan nantinya. Sehingga, masyarakat menganggap mereka masih memiliki sumber mata pencaharian dengan bekerja mengolah lahan perkebunan. Untuk mensiasati pola pikir masyarakat tersebut ada baiknya, PT. Jasa Marga dapat mengalokasikan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dengan melakukan pelatihan kewirausahaan kepada masyarakat yang tanahnya terkena pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol. Paling tidak usaha tersebut dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya kesediaan masyarakat dalam mempengaruhi percepatan pembangunan dan perekonomian Sumatera.Â
Saya setuju dengan proyek pembangunan JTTS tersebut. Namun, perlu diingat bahwa proyek ini bukan menjadi prioritas utama Pemerintah. Yang menjadi prioritas utama adalah Pemerintah Indonesia lebih dulu memfokuskan pembangunan infrastruktur di dalam negeri, ketimbang menyetujui pembangunan perhubungan antara Malaysia dengan Pulau Sumatera. Selain itu, pengerjaan suatu proyek jalan tol tidaklah semudah proyek pembangunan gedung atau industri. Pembangunan proyek jalan tol membutuhkan dana yang besar sedangkan perputaran pengembalian investasinya memakan waktu hingga puluhan tahun. Ditambah lagi dengan Presiden yang mengungkapkan bahwa nantinya selain diperuntukkan untuk jalan tol juga unuk instalasi listrik jalur kereta api bagi barang maupun transportasi rakyat.
Â
 Sumber : detik.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H