Perlu diketahui sejak awal adalah tulisan ini murni pendapat pribadi saya sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi Atma Jaya Yogyakarta yang pernah mengalami dan menempuh konsentrasi studi Kajian Media terhitung sejak semester II & III.
Genap dua semester lamanya saya tempuh segala materi konsentrasi studi Kajian Media di prodi Ilmu Komunikasi Atma Jaya Yogyakarta dari semester II dan III. Bagi yang belum tahu sama sekali mengenai apa itu Kajian Media, singkatnya, konsentrasi ini banyak mengkaji perihal apa yang terjadi di media dan sering terkait dengan isu-isu yang sarat kekuasaan, kepemilikan, struktur, dan kawan-kawannya. Jika kalian pernah mendengar mazhab Chicago, Frankfurt School, teori propaganda, dan teori-teori kritis lainnya, di sinilah awal berangkatnya teori pendekatan yang harus "dikatamkan" jika mengambil konsentrasi studi yang satu ini.
Ya, kritis adalah tuntutan dalam berproses di dalam studi kajian media. Saya sendiri cukup gambling di awal ketika memutuskan untuk mengambil konsentrasi yang banyak dibilang orang susah ini sebagai konsentrasi minor saya. Sementara konsentrasi mayor saya adalah Jurnalistik, ternyata walaupun Jurnalistik dan Kajian Media masih dalam satu ranah yaitu Media, pada kenyataannya bahasannya seakan sangat berseberangan.Â
Layaknya kutub medan magnet Utara dan Selatan, begitulah kiranya Jurnalistik dan Kajian Media. Yang satu membahas bagaimana menulis & membuat konten berita di media seideal dan sebaik mungkin, yang satu mengkritisi perihal di balik layar kerja media yang sesungguhnya dari mulai kegiatan produksi, distribusi, hingga konsumsinya. Saya tidak membicarakan yang mana yang lebih baik dan sebaliknya, tetapi saya hanya berbagi sekilas pengalaman ketika belajar di kelas Kajian Media.
Di semester II saya sempat merasa terbebani oleh konsentrasi minor saya jika dibandingkan dengan konsentrasi mayor, dikarenakan memang kenyataannya Kajian Media adalah sesulit itu adanya. Kita belajar teori kritis, membangun pemikiran kritis, selalu skeptis, melihat realita yang ada, menyentil isu terkait yang ada di media, statusquo, equality, feminism, ekonomi-politik, marxisme, kepemilikan media, dan mungkin masih banyak lagi. Kenapa saya bilang mungkin? Hal ini dikarenakan telah bergantinya kurikulum Ilmu Komunikasi Atma Jaya Yogyakarta terhitung semenjak saya memulai semester IV (yaitu bulan Januari-Juli 2016 kemarin).
Bergantinya kurikulum lama menjadi baru membuat empat konsentrasi studi yang ada sebelumnya; Public Relation (PR) atau Humas, Advertising atau Iklan, Jurnalistik, dan Kajian Media, dileburkan atau lebih dibuat umum menjadi dua pilihan saja; Komunikasi Strategis (leburan dari PR dan Advertising) dan Komunikasi Massa & Digital (leburan Jurnalistik dan Kajian Media).Â
Oh ya, sebelumnya di angkatan saya yaitu angkatan 2015 total ada 18 mahasiswa yang mengambil Kajian Media sebagai konsentrasi studi pilihannya (terlepas dari apakah dia hanya mayor ataupun minor) dari 300-an total keseluruhan mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2015. Konon seperti itulah sedikitnya yang mengambil Kajian Media sebagai pilihan konsentrasinya dari tahun ke tahun.
Jujur, terlepas dari betapa susah dan beratnya materi Kajian Media, ternyata saya merindukannya. Dan saya yakin 17 teman Kajian Media saya yang lain pun rindu dengan bahasan-bahasan nyeleneh ataupun bergaris "kiri" yang dibicarakan di kelas ini. Secara pribadi saya merasa memiliki cara pandang baru dalam melihat hal-hal, sekaligus merasa "bodoh" dalam artian terkagum bahwa ada teori-teori macam efek media, teori mitos media, budaya populer, budaya tinggi, modernisme post-modernisme, strukturalis post-strukturalis, dan kawan-kawannya. Sungguh akan merasa bahwa 'Wah ternyata saya tidak tahu apa-apa ya', kurang lebih begitu perasaan ketika belajar Kajian Media ini.
Menginjak semester V, Kajian Media telah dihilangkan. Ada beberapa pro-kontra timbul mengenai bergantinya kurikulum lama menjadi baru yang disebut memang wajib dari dikti ini, tetapi sekali lagi bagaimanapun mahasiswa tetap harus menjalaninya. Saya hanya sedikit merasa kecewa terhadap bagaimana teman-teman saya yang sedari awal sudah mengambil Kajian Media sebagai pilihan mayornya, lalu tiba-tiba di semester V mereka mau tidak mau harus berganti menjadi Komunikasi Massa & Digital sebagai embanan baru mereka.Â
Tetapi ada beberapa hal baik yang terjadi, seperti misalnya mata kuliah (yang dulunya merupakan mata kuliah wajib Kajian Media) yaitu Teori Komunikasi II menjadi mata kuliah wajib semua mahasiswa, dari hal-hal seperti ini saya kira bagus agar mahasiswa tahu dan belajar materi ini. Meski memang dari segi jumlah SKS dan silabus Teori Komunikasi II tidak akan serinci yang sebelumnya, tetapi tetap ini adalah hal baik yang pantas didukung.Â
Seperti itulah kiranya saya dapat menggambarkan kuliah Kajian Media yang terbilang singkat kemarin. Bagi kalian mahasiswa Komunikasi di universitas lain yang ada Kajian Media-nya, bersyukurlah dan selalu semangat. Tidak ada yang sia-sia dari setiap materinya, niscaya ilmu tersebut dapat berguna dan dipegang hingga akhir hayat kita sebagai manusia. Salam mahasiswa (Komunikasi)!