Di hari- hari sebelumnya, tak jarang aku mendapatinya melamun. Bersedia menjadi ember kesedihannya dan berusaha membuatnya tertawa di kala ‘Kesedihan’ yang tersembunyi itu sekilas ketahuan olehku sudah menjadi panggilan hatiku, Diary. Hanya itu yang kubisa, tak ada yang bisa kulakukan selain itu. Namun dengan enggan dia selalu menyembunyikannya. Dinda tak cukup percaya berbagi kesedihannya padaku. Dia tak percaya ‘Badai’ itu akan reda.
Biarlah aku menjadi lalatnya.. Aku hanya berusaha menjadi kunang- kunangnya.
 [caption caption="unknown/eveningnews24.co.uk"]
Tangisnya tumpah di pundakku. Aku bersyukur Tuhan mau memakaiku sebagai penyulut api lilin harapan yang nyaris padam itu. Dinda, bertahanlah.
Diary, tadi siang aku mengatakan padanya bahwa yang dilakukannya selama ini sudah benar. Dia tak bersalah apa pun. Bila memang kedua orangtuanya membuat keputusan pahit, itu sama sekali bukan salahnya. Tidak ada yang sia- sia. Dinda sudah berjuang dan pasti berdampak. Mungkin benih- benih yang ditanamnya masih berakar dalam tanah, belum terlihat. Tapi niscaya akan terus tumbuh, berkecambah dan tumbuh semakin besar dan berbuah. Tak ada lagi yang bisa dilakukan seorang anak, semua keputusan hanya ada di tangan kedua orangtuanya pada akhirnya. Sungguh pahit, memang.
Diary, aku hanya bisa mengucapkan hal itu kepada Dinda yang gulana. Aku sadar betul bukanlah malaikat yang dapat mengubah Dinda dan kehidupannya.
Kini, Dinda mengakuiku sebagai sahabat.
Apapun yang dipikirkannya, aku tak peduli. Aku terharu dan merasa terhormat memperoleh jabatan itu.
Bestfriend. Not a boyfriend indeed. Somehow I realize that a boyfriend isn’t a best friend. Now, she calls me as a bestfriend. Dinda’s bestfriend!! Best is always better than anything!
Diary, mulai sekarang aku mengandalkanmu. Akan kucatat setiap cipratan rasa antara aku dan Dinda. Aku tak ingin membiarkan satu rasa pun menguap dalam memori otakku yang tidak abadi ini.
Karena aku ingin Dia abadi dalam sejarahku.. sejarahnya.. sejarah kami berdua.