Mohon tunggu...
Jessica Pradipta
Jessica Pradipta Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Universitas Sumatera Utara, penggiat sastra dan warna. Ia terus menulis agar selalu hidup di berbagai tempat dan waktu, berguna dan tidak punah. CelotehNgoceh.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[My Diary] Selamat Tinggal!

13 April 2016   17:27 Diperbarui: 14 April 2016   16:28 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita putus.. Putus hubungan.

Jangan sesali aku. Kau telah bersedia menyimpan setiap rasa dengan sepenuh hati. Oleh karena itu, terimalah permintaan maafku yang sepenuh hati pula.

 

Rendy. Nama yang selalu kusebutkan itu, yang tak jenuh tersenyum dungu itu, yang selalu berusaha hadir di kisahku, yang selalu berkamuflase di belakangku, yang selalu memberi bumbu jengkel pada kisahku, yang selalu siap menjadi tempatku berlabuh –mengenai pilihan kata terakhir itu, aku tak bercanda, Diary –ternyata adalah seorang yang kubutuhkan.

Keadaan rumah yang nyaris retak membuatku putus asa. Ide untuk mengistirahatkan jantung yang berdetak ini sudah terbersit di benakku tadi siang. Mau bagaimana, Diary? Aku selalu mengalah dan berusaha mempertahankan mereka dengan sepenuh hati dan perjuangan. Namun mereka tak satu pun yang ikut berusaha. Aku melakukannya untuk Ayah dan  Ibu, tapi mengapa mereka tidak mau melakukan apapun untuk mereka sendiri? Aku merasa semua upayaku sia- sia. Aku lelah, tak berdaya.

Aku rindu kedua Kakekku main catur bersama. Aku rindu semua Bibi dan Omku tertawa bersama. Aku rindu kami –Ayah, Ibu dan Aku –makan malam bersama, lagi.

 [caption caption="unknown/oneworldnews.com"]

[/caption]Ketika semua yang kucintai menyerah pada keegoisannya masing- masing, merasa kesepian dan sebatang kara, Rendy satu- satunya yang selalu siap menjadi sahabatku, tempatku berlabuh.

Tangisku pecah di pundaknya. Semua keluh kesah tertahan kini dapat mengalir deras padanya. Ia menampung semua masalahku, tentu saja kini aku memercayainya. Diary, tahukah kamu? Alih- alih mengganggu dan membuatku semakin gusar, dia memberi respon; solusi, pendapat, atau paling tidak kata- kata yang menyejukkan dan menyegarkan jiwaku yang sering kering ini. Dialah pelabuhan kesedihan dan kebahagiaanku kini, wahai Diary.

Silakan menertawakanku, aku pantas mendapatkannya. Jiwa sekaratku yang tak berdaya itu, entah bagaimana, yang mengangkat katarak pada mataku. Mata hati. Kini dapat melihat jernih kebaikan- kebaikan di sekitarku.

Keajaiban telah terjadi. Sekian lama aku tak merasakannya lagi, Aku melihat.

Iya, kini aku tersipu malu. Mengapa baru sekarang aku menyadari itu. Namun aku juga bersyukur, daripada tidak pernah sama sekali, kan, Diary?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun