Al-Hallaj merupakan pelopor suatu ajaran yang disebut Al-Hulul. Secara etimologi, kata Al-Hulul berasal dari bentuk masdar dari fi'il : -- yang memiliki makna "bertempat tinggal di". Sedangkan menurut terminologi, Al-Hulul merupakan suatu konsep ajaran mengenai proses penyatuan antara sifat kemanusiaan dan sifat ketuhanan. Al-Hallaj ini menyatakan bahwa Tuhan dapat memilih tubuh manusia untuk melakukan penyatuan di dalam tubuh tersebut setelah hilangnya sifat-sifat kemanusiannya (nasut) yang ada pada manusia tersebut.
Al-Hallaj dianggap sebagai sosok yang bertanggung jawab dalam perkembangan tasawuf falsafi dengan ajaran Al-Hulul yang telah dikenalkan dalam ajaran tasawufnya. Menurutnya, manusia mempunyai sifat-sifat dasar ketuhanan (lahut) di samping sifat kemanusiaannya. Begitu pula dengan Tuhan, di samping sifat Ketuhanan-Nya, Tuhan memiliki sifat kemanusiaan (nasut).
Apabila sifat ketuhanan dalam manusia dan sifat kemanusiaan dalam diri Tuhan pada akhirnya dapat menyatu di suatu tubuh manusia, maka inilah yang disebut dengan hulul. Akan tetapi, agar dapat mencapai hingga pada tingkatan tersebut, maka harus dihilangkan atau dilenyapkan dahulu sifat-sifat kemanusiaannya tersebut melalui sebuah proses fana.
Al-Hallaj menyatakan bahwa ia telah mampu dan memperoleh pengalaman penyatuan tersebut. Ia menjelaskan pada saat ia telah berhasil berada pada tingkatan hulul, tubuhnya tidak hilang atau menjadi hancur. Akan tetapi, dua wujud tersebut bersatu di dalam satu tubuh. Proses penyatuan ini dapat terjadi dengan cara Tuhan yang turun ke bumi dan memilih tubuh Al-Hallaj untuk melakukan penyatuan.
Menurut pandangan beberapa kalangan, dari konsep ajaran Al-Hulul ini dapat diambil dua poin. Pertama, berdasarkan untaian kata dan syair-syair penuh cinta yang dikemukakan Al-Hallaj, terlihat bahwa Al-Hulul merupakan pemikiran yang berkembang dari konsep "mahabbah" yang dibawakan tokoh sufi Rabi'ah al-Adawiyah.
Kedua, konsep Al-Hulul dianggap hampir seperti konsep ittihad atau penyatuan dengan Tuhan yang dipelopori oleh Abu Yazid. Akan tetapi, menurut Harun Nasution, konsep bersatunya manusia dengan Tuhan yang dialami oleh Abu Yazid itu tidak sama dalam prosesnya dengan apa yang dialami oleh Al-Hallaj.
Perbedaan antara ittihad dengan Al-Hulul ialah saat Abu Yazid naik ke langit untuk melakukan proses penyatuan dengan Tuhan. Sementara itu, pada konsep Al-Hulul, jalan Tuhan yang turun ke bumi dan akhirnya bersatu di dalam dirinya. Perbedaan lainnya adalah apabila Abu Yazid bersatu dengan Tuhan-Nya, dia merasakan bahwa dirinya telah hancur sehingga hanyalah terdapat satu wujud dan hanya sifat Tuhan yang ada. Sedangkan pada paham Al-Hulul ini, meskipun saat Al-Hallaj mengalami penyatuan dengan Tuhan, ia mengaku tubuhnya tidak hancur.
Ajaran Al-Hulul yang dibawa al-Hallaj beserta ungkapan-ungkapan syairnya yang begitu mendalam ini tidak bisa diterima oleh orang-orang pada saat itu. Serta menuai banyak kejanggalan dan kontroversi bagi ulama-ulama lain, termasuk Syekh Abu Nashr as-Sarraj, serta para ulama fikih (fuqaha) dan ulama kalam.
Pada akhirnya Al-Hallaj dituduh bahwa ia menyimpang, anti syariat, dan dianggap sebagai pelanggar batas-batas agama (murtad). Di sisi lain, beberapa kalangan juga memandang bahwa ini merupakan kesalahan Al-Hallaj dikarenakan ia telah membuka tabir rahasia-rahasia keilahian yang sebaiknya tidak perlu dibuka. Ajaran tasawuf al-Hallaj mengenai konsep hulul ini masih sering disalahpahami pada masa kini dan dinilai sebagai jalan yang mengantarkan pada kemurtadan karena pelopor ajarannya dieksekusi dengan tuduhan murtad.
Namun, beberapa kalangan menelaah dengan begitu hati-hati dan memandang bahwa konsep hulul yang dibawakan oleh Al-Hallaj ini tidak lebih dari sekadar bentuk luapan perasaan emosional yang Al-Hallaj rasakan pada saat ia merasa memperoleh limpahan kehadiran Sang Ilahi. Perasaan yang Al-Hallaj rasakan itu sebagaimana para ulama sufi yang lain rasakan melalui pengalaman tasawufnya. Perasaan tersebut akan muncul di suatu titik dimana para sufi telah berhasil merasakan kehadiran Ilahi.
WAFATNYA AL-HALLAJ
Sepanjang perjalanan hidupnya dengan pemikiran dan ajarannya di bidang tasawuf, ia sering keluar masuk penjara disebabkan oleh beberapa pemikiran yang saling bersinggungan dengan ulama lainnya. Karena pemikiran Al-Hallaj dianggap keluar dari batas syariat Islam. Saat dipenjara, ia dapat melarikan diri karena dibantu oleh salah seorang sipir penjara. Setelah itu, ia melarikan diri ke wilayah Sus di Ahwaz. Ia berdiam di kota tersebut kurang lebih selama empat tahun untuk bersembunyi dan mencari pengamanan bagi dirinya. Selama itu pula ia tetap berpegang teguh dan tidak mengubah pendirian serta pemikirannya tentang konsep Al-Hulul.