Tentu saja telinga kita sudah tidak asing dengan istilah  "Hukum Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas". Di negeri yang mendapat julukan "Surga Dunia" karena keindahan alamnya, namun tidak dengan keindahan hukumnya.  Maksud dari istilah yang ramai diperbicangkan yaitu Hukum di Indonesia masih tajam ke bawah, dimana keadilan di negeri ini masih menghukum rakyat kecil saat melakukan pelanggaran tetapi rakyat menengah atas tidak mendapat hukuman yang setimpal atas perbuatannya.
Prisip kemanusiaan di dalam hukum humaniter yang biasa disebut dengan Asas Equality Before The Law yang merupakan manifestasi dari Negara Hukum, yaitu asas di mana setiap orang memiliki hak yang sama dan setara di hadapan hukum (Gelijkheid van ieder voor de wet). Menurunnya penerapan Asas Equality Before The Law disebabkan campur tangan politik pluralisme hukum yang memberi garis antara hukum adat dan hukum agama. Fakta lain disebabkan adanya oknum-oknum yang berkuasa atas hukum. Mereka yang diamanatkan untuk menegakkan hukum justru menyalahgunakan dan tidak menjalankan fungsinya dengan baik.
Lembaga peradilan yang kini tidak bisa menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Pasal-pasal KUHP bagi rakyat kecil ibarat peluru yang menghujam tajam tepat sasaran, namun bagi petinggi ibarat hanya sebuah coretan di atas kertas usang. Hukum kini hanya milik yang berkuasa yang berpangkat tinggi dan memiliki uang untuk membayar para oknum kejam. Bahkan ada yang menyebut arti KUHP yaitu "Kasih Uang Habis Perkara".
Dunia kini sudah terbalik, contohnya kisah pemuda asal Kalimantan Timur bernama Aloysius Jefrianus Pilipus Bari terbukti mencuri 9 ekor ayam yang merugikan hingga Rp 5 juta dijatuhi hukuman kurungan penjara selama 2 tahun. Kisah lain terdapat empat orang pejabat Bea dan Cukai pada tahun 2021 terbukti korupsi impor tekstil senilai Rp 1,6 triliun dijatuhi hukuman masing-masing 2 tahun penjara. Dari kedua kisah tersebut bisa disimpulkan bahwa yang memiliki jabatan ialah yang berkuasa.
Keadilan di Indonesia semua hanyalah sebagai kamuflase saja. Ada berbagai fenomena yang sudah tidak perlu ditutupi faktanya. Bukan hanya faktor kekuatan politis saja, melainkan juga penundaan proses hukum dengan banyak celah untuk memutarbalikkan opini di ruang publik. Hal ini menyebabkan berbagai kontroversi dan turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum. Â
Dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." dan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum". Kedua pasal tersebut menjelaskan tegas bahwa warga negara harus mendapat perlakuan sama dihadapan hukum dimana mulai dari kesadaran diri sendiri dan ketegasan para penegak hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H