Mohon tunggu...
Chika Aulia
Chika Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Diksi pada Novel Cinta Tanah air

21 Juli 2024   00:34 Diperbarui: 21 Juli 2024   01:09 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

BAB 1 (BERADU PANDANG)

Kisah ini menceritakan pengalaman Amiruddin, seorang pemuda berumur sekitar 23 atau 24 tahun, yang sedang menunggu trem di Gang Kenanga. Cerita dimulai dengan keluhan Amiruddin karena tidak bisa mendapatkan trem yang sesak dengan penumpang. Amiruddin, yang berpakaian rapi, merasa tidak mungkin berdesak-desakan karena takut pakaiannya kotor.

Di tengah kegalauannya menunggu trem, Amiruddin melihat pasukan Seinendan berbaris dengan teratur, dan sejenak ia mengikuti langkah mereka, melupakan tujuannya yang sebenarnya. Ketika kembali sadar, ia masih menunggu trem yang tak kunjung datang.

Saat trem akhirnya tiba, Amiruddin memutuskan untuk naik meskipun harus berdesak-desakan. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan seorang perempuan yang menarik perhatiannya. Pandangan mereka bertemu beberapa kali, membuat Amiruddin gugup dan berdebar-debar.

Perjalanan Amiruddin dalam trem dipenuhi dengan pengamatan tentang perubahan di kota Jakarta, termasuk perubahan nama toko-toko yang kini menggunakan bahasa Indonesia dan Jepang. Ia juga terinspirasi oleh semangat nasionalisme yang berkembang saat itu.

Ketika akhirnya turun dari trem, Amiruddin menuju ke pasar malam yang diadakan di Bakutenti. Meskipun sempat terlambat turun di perhentian yang tepat, ia berhasil menemukan becak yang membawanya ke tujuan akhir. Kisah ini menggambarkan pengalaman sehari-hari yang penuh dengan semangat kebangsaan dan perubahan sosial di Indonesia selama masa penjajahan Jepang.

Menurut Robert Stanton, gaya bahasa dapat di kategorikan menjadi beberapa elemen utama, yaitu :
1. Diksi (Pilihan Kata): Pilihan kata yang digunakan oleh penulis untuk menyampaikan makna.
2. Gaya Kalimat: Struktur dan panjang kalimat yang dipilih oleh penulis.
3. Nada: Sikap penulis terhadap subjek atau audiens.
4. Irama dan Bunyi: Penggunaan ritme, aliterasi, asonansi, dan elemen suara lainnya dalam tulisan.
5. Gambar Bahasa (Imagery): Penggunaan bahasa yang bersifat kiasan atau metaforis untuk menciptakan gambaran mental.
Disini saya akan menjelaskan lebih rinci bagaimana Diksi( pilihan kata) pada novel "Cinta tanah air" bab "Beradu Pandang" untuk melihat pilihan kata yang lebih spesifik yang digunakan oleh penulis dan bagaimana kata-kata tersebut berkontribusi pada suasana dan tema cerita. berikut diksi yang dapat saya analisis:
1. Kata Benda (Noun):
  - Contoh: "kampung," "cahaya lampu," "perasaan," "perempuan," "tanah air."
  - Analisis: Penggunaan kata-kata ini menciptakan gambaran yang konkret dan membantu pembaca membayangkan setting cerita. Misalnya, "kampung" memberikan kesan suasana pedesaan atau kawasan pemukiman, sementara "tanah air" mengarah pada konsep nasionalisme dan cinta negara.
2. Kata Kerja (Verb):
  - Contoh: "bergembira," "menari," "membakar," "memandang," "berdiri."
  - Analisis: Kata kerja yang dipilih menunjukkan aksi dan emosi karakter. "Bergembira" dan "menari" menciptakan suasana yang meriah dan penuh kegembiraan, sedangkan "memandang" dan "berdiri" menunjukkan fokus dan perhatian tokoh Amiruddin terhadap sesuatu yang penting.
3. Kata Sifat (Adjective):
  - Contoh: "besar lagi rindang," "kecil dan rendah," "putih tidak, kuning pun tidak," "halus dan licin."
  - Analisis: Penggunaan kata sifat membantu menggambarkan objek dan karakter dalam cerita dengan lebih detail. Misalnya, "besar lagi rindang" menggambarkan pohon yang memberi naungan dan kedamaian, sementara deskripsi tentang kulit perempuan memberikan gambaran visual yang jelas tentang penampilannya.
4. Kata Keterangan (Adverb):
  - Contoh: "keheran-heranan," "bergelora," "berkobar-kobar," "perlahan-lahan."
  - Analisis: Kata keterangan menambahkan nuansa pada tindakan dan emosi karakter. "Keheran-heranan" menunjukkan rasa heran atau kagum Amiruddin, sementara "bergelora" dan "berkobar-kobar" menggambarkan intensitas perasaan patriotismenya.
5. Kata Ganti (Pronoun):
  - Contoh: "ia," "mereka," "nya."
  - Analisis: Penggunaan kata ganti membantu mengarahkan fokus pada tokoh tertentu tanpa harus selalu menyebut nama mereka. Ini membantu kelancaran narasi dan menghindari repetisi.
6. Kata Sambung (Conjunction):
  - Contoh: "dan," "sehingga," "sebab."
  - Analisis: Kata sambung menghubungkan kalimat dan klausa, membantu membentuk struktur kalimat yang kompleks dan menunjukkan hubungan antara ide atau peristiwa.
Contoh Kalimat dengan Analisis Diksi:
"Kulitnya putih tidak, kuning pun tidak! Hitam manis, halus dan licin."
 - Analisis: Pilihan kata "putih," "kuning," dan "hitam" menggambarkan warna kulit yang unik. Kata sifat "halus" dan "licin" menambahkan tekstur pada deskripsi, memberikan gambaran yang lebih hidup tentang tokoh perempuan.
"Perasaan Amiruddin bergelora, berkobar-kobar seperti api yang menyala-nyala, sebab disiram dengan minyak ... cinta tanah air."
 - Analisis: Kata kerja "bergelora" dan "berkobar-kobar" menunjukkan intensitas emosi yang kuat. Perbandingan dengan "api yang menyala-nyala" memberikan efek visual dan emosional yang kuat. Kata "cinta tanah air" menekankan tema patriotisme.
Melalui pilihan kata yang spesifik dan detail, penulis berhasil menciptakan suasana dan emosi yang mendalam dalam cerita ini, memperkuat tema cinta tanah air dan romantisme.

BAB ll ( SAPUTANGAN)

Baru becak berlari menuju ke tempat yang ditunjukkan itu, pikiran Amiruddin melayang kembali kepada peristiwa tadi itu. Ejekan Salihun masih mendenging-denging di telinganya. Pedih hatinya, serasa disayat dengan sembilu. Lekas, nanti direbut orang! Seolah-olah ia sengaja mencari "kembang" ke sana, seperti dia... Ia tersenyum masam. "Tetapi tak patut aku marah kepadanya," kata hatinya yang suci. "Karena kesalahanku maka terbit sindiran yang tajam itu. Aku sendiri yang memperlihatkan kerendahan budiku di tempat umum. Bermain mata! Tentu bukan Salihun saja yang memperhatikan perbuatanku itu. Sangka orang, tentu aku tiada tahu akan tertib sopan, tak beradat, hamba hawa nafsu."
Sementara itu lari becak semakin kencang terasa olehnya, berlomba dengan beberapa becak lain. Napas orang yang menjalankan terdengar membusa-busa. Amiruddin seolah-olah tak peduli, sebab ia sedang keheran-heranan. Apa sebab ia sampai teperdaya oleh suatu pandang? Padahal ia tidak masuk bilangan anak muda yang dalam umur pancaroba lagi. Sudah lewat sedikit, sudah agak tenang jalan darahnya. Ia pun sudah pandai berpikir dengan sabar. Dan tentang pergaulan, bukan pula ia tidak pernah bergaul dengan gadis-gadis. Banyak kenalannya di kota Bandung yang ria-riang itu. Akan tetapi belum pernah ia tergoda seperti memandang perempuan itu! Apa sebabnya? Apa kelebihannya daripada gadis-gadis sepergaulan selama ini?
Amiruddin menggelengkan kepalanya. Ajaib benar! Tak mau hilang paras perempuan itu dari ingatannya. Pelbagai pemandangan yang indah-indah pada malam itu, tiada menarik hatinya lagi. Segala yang dilihatnya menambah membayangkan perempuan itu jua. Pandang matanya yang tajam, wajahnya yang bujur telur, hidungnya yang mancung, dan gerak bibirnya yang manis, yang berani tersenyum dengan dia itu, mengacaukan pikirannya.
"Awas, becak!" seru polisi memberi nasihat. "Ke kiri!"
Becak yang membawa dia itu pun mengelok di jambatan Mangga Besar ke sebelah timur dengan lambat-lambat. Di situ sangat ramai. Orang yang keluar dari trem bertemu di sana dengan orang yang turun dari bus, sedang orang berjalan kaki berduyun-duyun. Delman, oto, becak, dan sepeda berderet-deret. Kalau tidak hati-hati mungkin terjadi kecelakaan. Tetapi karena penjagaan polisi amat baik, dapatlah segala macam kendaraan itu lalu di jalan masing-masing dengan selamat. Demikian pula orang yang berjalan kaki. Becak Amiruddin itu pun beriring-iringan dengan becak lain. Lambat sekali.
"Baik benar polisi itu," katanya kepada tukang becaknya. "Begitu selamanya, Bang?"
"Sejak zaman baru ini. Perkataan keji seperti dahulu hampir tak terdengar lagi," jawab tukang becak itu.
"Jadi sudah berubah semangatnya?"
"Ya, Tuan. Dahulu kami tukang becak, kalau salah jalan sedikit saja, dicaci maki. Kadang-kadang dipukul dan diseret ke kantor polisi. Tetapi sekarang diberi nasihat saja dahulu...."
"Alamat telah tahu akan kewajiban. Polisi, penjaga keamanan."
"Saya, Tuan."
 
"Segala tenaga polisi harus dikerahkan untuk membela rakyat, memelihara kemakmuran negeri dan kesejahteraan masyarakat. Polisi jadi pelindung rakyat, supaya senang hati rakyat mencari nafkah sehari-hari."
"Kalau sampai begitu, senang deh kite, Tuan," kata tukang becak pula. "Eh, hati-hati, dong! Mendorong aje! Kan rame ni."
Amiruddin berpaling ke belakang.
"Ada apa?" tanyanya.
"Ini, teman kite..."
"Tidak apa. Tapi, ya, bukan polisi saja yang mesti insaf, rakyat lebih-lebih lagi."
"Ini di belakang mau lari aje! Belum mengerti, Tuan!"
Amiruddin tiada melanjutkan percakapan lagi. Suara orang banyak telah gemuruh. Makin dekat ke tempat yang dituju, makin ramai dan permai. Matanya sudah tertarik kepada pemandangan yang indah. Di sebelah kirinya mengelimantang sinar "lampu seribu" yang menghiasi pintu gerbang pasar malam. Ia pun bersiap hendak turun di situ, tetapi ditahan oleh tukang becak. "Bukan di sini perhentian becak, Tuan. Di sana, masih jauh," katanya.
Tidak berapa lama kemudian Amiruddin kelihatan berjalan kaki lambat-lambat memasuki pintu gerbang yang cemerlang itu, sambil membaca beberapa semboyan yang menarik hatinya. Ada semboyan yang menyatakan keteguhan penjagaan bala tentara Dai Nippon di Jawa, baik dengan tulisan baik pun dengan lukisan, dan ada pula yang menyatakan kepercayaan anak Indonesia kepada kekuatan dan keberanian penjurit Matahari Terbit itu. Ketika ia sampai ke loket tempat membeli karcis, tampak pula perubahan besar. Dari ujung sampai ke pangkal loket yang panjang dan beruang-ruang itu tidak ada kelihatan suatu tempat yang menyatakan perbedaan bangsa seperti dahulu. Tidak ada loket untuk orang Eropa saja, loket untuk bangsa asing saja, dan loket untuk "inlander." Semuanya serupa dan semacam, dan dilayani oleh bangsa Indonesia belaka. Harga karcis pun sama, kecuali bagi anak-anak separuh harga, yaitu peristiwa yang sudah sepatutnya. "Jadi, di loket mana saja boleh aku membeli karcis," katanya sambil mengeluarkan dompet uangnya.
Sedang ia mencari-cari uang kecil, terdengar dekat telinganya bisik suara yang halus:
"Tuan, sama-sama kita masuk."
Amiruddin mengangkat kepalanya, berpaling ke kiri. Di hadapannya tampak seorang perempuan muda.
"Nyonya...," kata Amiruddin seperti digerakkan mesin, heran, sebab ia tiada kenal kepadanya. "Nyonya sesat agaknya."
Perempuan itu tersenyum manis, serta berkata dengan tingkah merayu-rayu:
"Sama-sama kita masuk. Baru sekarang kita bertemu pula."
Amiruddin bertambah heran. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Orang banyak berduyun-duyun dan bersesak-sesak. Tak seorang jua yang mengindahkan mereka itu. Hanya agak jauh dari padanya, di tempat yang agak terlindung, adalah dua orang perempuan lain yang mempermainkan sudut matanya. Kawan perempuan itu agaknya, sebab keduanya tersenyum-senyum simpul. Amiruddin merah mukanya, lalu berkata pula:
"Saya tak kenal kepada Nyonya."
"'Tak kenal lagi? Masa! Tetapi mari kita masuk, Tuan," katanya sambil mengindarkan selendangnya dari kepalanya.
Amiruddin gelisah, bertambah curiga. Nyata kepadanya bahwa orang itu bukan perempuan bertata-sopan. Rambutnya digelungkan berombak-ombak di atas keningnya. Pipinya yang berbedak putih tebal dan harum merangsangkan hidung itu bercat merah. Demikian juga kedua belah bibirnya. Bajunya dari pada sutra renda yang amat jarang, berwarna hitam, sehingga terbayang di baliknya kulit badan yang putih.
Amiruddin menundukkan kepalanya, kemalu-maluan. Sementara itu perempuan itu pun merayu sekali lagi:
"Mari, Tuan. Mengapa ngelamun?"
"Betul Nyonya sesat. Saya tak kenal kepada Nyonya," kata Amiruddin. Ia menoleh pula ke kanan dan ke kiri seperti hendak melepaskan diri dari jerat yang halus itu. Dompet uang yang masih dipegangnya itu dimasukkannya ke dalam saku celananya.
"Laki-laki bodoh," kata perempuan itu serta melangkah ke arah kawan-kawannya itu.
Dengan segera Amiruddin menyelinap ke dalam orang banyak. Ia pun mendesak ke muka sebuah loket yang tak ramai benar, lalu dibelinya karcis. Setelah itu pergilah ia ke pintu masuk, sebuah pintu gerbang kehormatan, yang bertingkat dua dan besar. Dalam tingkat pertama, yaitu di kiri kanan pintu masuk itu, ada pula tempat orang berjual karcis. Di tingkat kedua kedengaran orang berseru-seru dengan corong pembesarkan suara: "Awas, penonton jaga kantong... dan kalau ada anak-anak yang hilang, tercerai dari bunya atau bapanya atau kawannya, hendaklah tanyakan di balai Keiboodan, yang menjaga keamanan dan keselamatan dalam pasar malam ini." Lain daripada itu diserukan juga permainan dan pertunjukan yang penting-penting. Pada keempat penjurunya dan di tengah-tengahnya kelihatan bendera Hinomaru terkibar-kibar dengan indahnya, cemerlang, sebab disinari lampu listrik yang beribu-ribu itu.
"Syukur," kata Amir, setelah terlepas dari pintu masuk itu dan tiba di pasar malam. "Negeri besar! Segala macam terdapat, mungkin terjadi di sini. Tetapi, ini anak Bandung..." Ia pun memandang ke luar, kalau-kalau perempuan.
 
Berikut diksi yang dapat saya analisi dari cerita novel diatas:
1. "Ejekan Salihun masih mendenging-denging di telinganya."
- Diksi: "mendenging-denging"
 - Makna:Kata ini menggambarkan suara ejekan yang terus-menerus terdengar dan mengganggu. Menggunakan kata "mendenging-denging" menciptakan efek auditori yang memperkuat rasa tidak nyaman dan gangguan psikologis yang dirasakan oleh Amiruddin.
2. "Pedih hatinya, serasa disayat dengan sembilu."
- Diksi: "pedih", "disayat", "sembilu"
 - Makna: "Pedih" menggambarkan rasa sakit yang mendalam dan emosional. "Disayat" mengindikasikan luka yang tajam dan menyakitkan, sementara "sembilu" (bambu tajam) memperkuat intensitas rasa sakit tersebut. Kombinasi kata-kata ini memberikan gambaran yang kuat tentang penderitaan emosional Amiruddin.
3. "Napas orang yang menjalankan terdengar membusa-busa."
- Diksi:"membusa-busa"
 - Makna: "Membusa-busa" menggambarkan napas yang berat dan tersengal-sengal, seolah-olah menghasilkan suara berbusa. Ini menciptakan gambaran auditori dan visual tentang betapa kerasnya usaha penarik becak dalam menjalankan tugasnya.
4. "Mengapa sampai teperdaya oleh suatu pandang?"
- Diksi:"teperdaya"
 - Makna:"Teperdaya" berarti tertipu atau terjebak, menunjukkan perasaan Amiruddin yang merasa dirinya terperangkap oleh daya tarik pandangan seseorang. Kata ini mencerminkan kebingungannya dan perasaan tertipu oleh perasaannya sendiri.
5. "Dengan tak berkata sepatah jua ia pun pergi ke tempat lain."
- Diksi: "sepatah jua"
 - Makna:"Sepatah jua" berarti tidak mengucapkan sepatah kata pun. Diksi ini menunjukkan betapa terganggu dan kecewanya Amiruddin hingga dia memilih diam dan pergi tanpa berbicara. Ini mencerminkan suasana hati yang suram dan keputusasaan.
6. "Bau yang harum menjalar dari hidungnya sampai ke hatinya."
- Diksi:"menjalar"
 - Makna: "Menjalar" memberikan kesan bahwa bau harum tersebut menyebar dan mempengaruhi perasaan Amiruddin. Kata ini menciptakan hubungan antara sensasi fisik (bau) dan reaksi emosional (rasa nyaman atau tenang), memperkuat efek dari bau harum tersebut.
7. "Amiruddin undur ke belakang sedikit, supaya gadis itu dapat sampai ke dekat tukang jahit."
- Diksi: "undur ke belakang"
 - Makna:"Undur ke belakang" menggambarkan tindakan sopan Amiruddin yang memberikan ruang kepada gadis tersebut. Diksi ini menunjukkan rasa hormat atau mungkin ketertarikannya, sambil tetap menjaga jarak. Ini mencerminkan sikap hati-hati dan perhatian Amiruddin.
Pilihan kata atau diksi dalam kutipan cerita ini sangat efektif dalam menciptakan gambaran yang jelas dan hidup tentang situasi, perasaan, dan tindakan karakter utama. Diksi yang dipilih dengan hati-hati membantu pembaca merasakan pengalaman karakter secara lebih mendalam dan emosional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun