Kondisi Bela Negara Di Era Digital Saat Ini
Bela negara bukan hanya menjadi tanggung jawab TNI dan Polri, melainkan merupakan kewajiban seluruh elemen bangsa, termasuk generasi muda di era digital. Namun, hingga saat ini, banyak yang masih memaknai bela negara hanya dalam konteks fisik. Tidak sedikit yang menganggap bahwa bela negara identik dengan "angkat senjata" atau mirip dengan "wajib militer". Program bela negara sering dikaitkan dengan kegiatan seperti upacara, baris-berbaris, ceramah, atau pelatihan lapangan yang terkesan semi-militeristik. Akibatnya, banyak generasi muda merasa enggan mengikuti program-program bela negara tersebut.
Pemahaman masyarakat, khususnya generasi muda, terhadap konsep bela negara tampaknya masih terbatas. Padahal, ancaman nyata terhadap jati diri generasi bangsa saat ini meliputi narkoba, pornografi (termasuk dampak HIV/AIDS dan LGBT), hoaks, serta radikalisme dan terorisme. Di dunia pendidikan sendiri, kekerasan dan radikalisme juga menjadi tantangan serius dengan data yang menyebabkan:
Sebanyak 84% siswa pernah menjadi korban kekerasan di sekolah.
Sebanyak 75% siswa mengaku pernah melakukan tindakan kekerasan di sekolah.
Sebanyak 45% siswa laki-laki menyebut guru atau petugas sekolah sebagai pelaku kekerasan.
Sebanyak 22% siswa perempuan juga mengungkapkan hal serupa.
Sebanyak 40% siswa usia 13-15 tahun melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik dari teman sebaya.
Data ini menunjukkan bahwa tantangan bela negara di era digital memerlukan pendekatan yang lebih luas dan relevan, tidak hanya berfokus pada aspek fisik atau militeristik, tetapi juga pada upaya membentuk karakter, kesadaran, dan kepedulian
Saat ini, metode dan materi bela negara masih jarang disajikan dengan pendekatan dialogis atau melibatkan aktivitas yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kognitif. Padahal, pengolahan data, informasi, dan pengetahuan yang mendalam dapat memperkuat pemahaman dan keyakinan peserta terhadap empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Sayangnya, kesadaran bela negara di kalangan generasi muda era digital masih rendah. Hal ini terlihat dari kurangnya rasa peduli dan tanggung jawab dalam memajukan bangsa, seringnya konflik antar pemuda, minimalnya rasa kesetiakawanan sosial, sulitnya menerima perbedaan dengan tulus, hingga rendahnya penghargaan terhadap budaya bangsa sendiri. Di sisi lain, gaya hidup hedonis, pragmatis, dan materialistis semakin berkembang di kalangan generasi muda, yang menyukai situasi ini. Fenomena tersebut mencerminkan lemahnya kesadaran bela negara yang, jika dibiarkan, dapat mengancam ketahanan nasional. Penting untuk segera menghadirkan pendekatan bela negara yang relevan dan menarik, agar generasi muda mampu memahami dan menghayati nilai-nilai persahabatan dengan lebih baik. Upaya ini juga perlu didukung oleh peran aktif berbagai pihak, termasuk pendidikan formal, media, dan keluarga.
Dalam pelaksanaan pelatihan kesadaran bela negara, Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah masih belum bekerja secara sinergis dan cenderung berjalan sendiri-sendiri. Koordinasi yang dilakukan belum melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, sehingga jejaring strategis antara kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan masyarakat belum terbentuk dengan baik. Selain itu, kegiatan bela negara tidak boleh didominasi oleh satu kementerian atau lembaga saja, karena bela negara bukan hanya tentang urusan militer atau pertahanan semata. Bela negara adalah semangat dan perjuangan jiwa yang harus dimiliki oleh setiap warga negara. Sebagai kewajiban seluruh rakyat, bela negara mencakup berbagai aspek kehidupan, tidak hanya yang berkaitan dengan militer. Pemahaman tentang bela negara harus diperluas untuk mencakup semua bidang kehidupan, karena menjaga negara adalah tanggung jawab bersama yang melibatkan seluruh unsur bangsa.