Perbandingan Strategi Kampanye Prabowo-Gibran dengan Strategi Politik Bongbong Marcos: Pencitraan dalam Politik di Era Media Sosial
Dalam sepuluh tahun terakhir, komunikasi politik Indonesia telah mengalami transformasi yang signifikan. Transformasi ini terjadi meskipun dominasi teknologi digital dan media sosial sebagai alat untuk menyampaikan pesan politik. Sekarang, platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok menjadi penting bagi politisi untuk menjangkau pemilih, terutama generasi muda yang aktif di internet. Dengan menggunakan media sosial, politisi dapat membangun pencitraan, mempengaruhi persepsi publik, dan bahkan secara langsung mengendalikan wacana politik tanpa bergantung pada media konvensional.
Pasangan politik Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah secara strategis menggunakan media sosial dalam kampanye mereka. Penampilan mereka sering dibandingkan dengan cara Bongbong Marcos—putra mendiang diktator Filipina Ferdinand Marcos—melakukan hal yang sama. Strategi pencitraan kedua belah pihak menggunakan simbolisme keluarga, cerita nostalgia, dan penggunaan media digital untuk menciptakan gambaran yang positif bagi masyarakat.
Dalam esai ini, kita akan melihat bagaimana Prabowo-Gibran dan Bongbong Marcos membuat pencitraan politik di era media sosial. Fokus utama adalah metode pencitraan yang mereka gunakan di berbagai platform digital, bagaimana hal ini berdampak pada persepsi publik, dan apakah metode ini mampu mengurangi polarisasi politik atau membangun hubungan yang lebih inklusif antara rakyat dan politisi.
Evolusi Peran Media Tradisional dan Digital dalam Politik
Media konvensional seperti televisi, radio, dan surat kabar sangat penting untuk menyebarkan pesan politik sebelum era digital. Untuk menjangkau khalayak luas melalui kampanye iklan, wawancara, atau liputan berita, politisi bergantung pada media ini. Namun, keterbatasan media konvensional dalam menyampaikan pesan secara langsung dan interaktif telah mendorong pergeseran ke arah media digital.
Kemampuan untuk menyampaikan pesan secara personal dan real-time adalah salah satu keunggulan unik media sosial. Media sosial digunakan dalam kasus Prabowo-Gibran untuk membangun citra yang lebih dekat dengan masyarakat. Misalnya, Gibran sering muncul dalam video santai di TikTok, menampilkan sisi informal yang menarik perhatian generasi muda, sementara Prabowo sering menampilkan sisi kebapakannya dalam video yang memperlihatkan interaksi langsung dengan masyarakat pedesaan.
Strategi Bongbong Marcos serupa. Media sosial telah menjadi alat penting untuk mempromosikan narasi politik di Filipina. Bongbong menggunakan Instagram untuk menciptakan gambar keluarga yang rukun dan mapan, dan dia juga menggunakan YouTube untuk menerbitkan video yang mengkritik era kepemimpinan ayahnya. Strategi ini berhasil menarik perhatian generasi muda Filipina, yang sebagian besar tidak memiliki pengalaman langsung dengan rezim Marcos.
Media digital tidak lepas dari masalah di Filipina dan Indonesia. Algoritma media sosial sering membuat "ruang gema", juga dikenal sebagai "ruang gema", di mana pengguna hanya dapat melihat konten yang sesuai dengan perspektif mereka. Karena kelompok-kelompok yang berbeda tidak memiliki kesempatan untuk berbicara secara konstruktif, ini berpotensi memperburuk polarisasi politik.
Teknik Pencitraan di Era Media Sosial
Apa yang ditampilkan dan bagaimana pesan disebarkan membentuk pencitraan politik di era internet. Strategi pencitraan Prabowo-Gibran dan Bongbong Marcos sangat mirip. Prabowo-Gibran menggunakan metode yang menggabungkan prinsip-prinsip tradisional dan kontemporer. Sementara Gibran digambarkan sebagai inspirasi dan semangat muda, Prabowo digambarkan sebagai tokoh senior yang tegas dan berpengalaman. Kombinasi ini diperkuat dengan penggunaan platform seperti TikTok dan Instagram untuk menyajikan cerita yang menarik bagi audiens yang lebih muda. Misalnya, Gibran sering muncul dalam konten yang menunjukkan bahwa dia sederhana dan dekat dengan masyarakat.