Saatnya ku menelan dalam-dalam ludah yang tlah lama menggumpal di mulutku yang kering.
Panas rasanya tubuh ini, seperti berjalan di tengah bara api. Namun tak pernah aku merasakan panasnya api itu, mungkin karena tubuhku sudah kebal bahkan mungkin terlalu kebal untuk bisa merasakannya.
Tubuhku sempoyongan. Berjalan tanpa aturan.
Dunia ini berputar tiada hentinya, membuat tubuh kecilku terjatuh ke semak-semak berduri.
"aww.."
Ternyata bisa juga aku merasakan perihnya tertusuk duri rumput liar seperti ini. Seolah dia membisikan sesuatu bahwa rerumputan itu juga bosan terus-terusan berada di semak-semak seperti itu.
Seperti halnya aku, akupun bosan terus berada di posisi ini. Menelan pahitnya getir kehidupan, merendam diri dalam pasir panas, terperosok dalam jurang ketidak adilan, terjatuh pada semak belukar nan berduri.
Air mata sudah tak sungkan lagi untuk berulang kali mondar-mandir di pipi mungilku. Bibir manisku tak lagi merasakan manisnya madu kehidupan. Canda dan tawa tak lagi jadi milikku seperti waktu itu saat semuanya baik-baik saja. Apa dayaku? Lelaki muda berusia 8 tahun dan bahkan terlalu muda untuk merasakan pahitnya kehidupan. Hanya bisa merenung, melamun, berkhayal, bermimpi dan menangis.
Ya... aku hanya punya mimpi dalam hidupku, bahkan aku rela menukarkan harga diriku untuk bisa mendapakan mimpi itu.
Tak salah berpikir jika aku menginginkan semuanya kembali menjadi normal lagi. Hanya gubuk reyot, baju lusuh, dan catatan ini yang menjadi saksi perjuanganku selama ini yang belum juga ku temukan titik akhir dari penderitaanku.
Tak ada salahnya jika aku tetap menginginkan hal itu terjadi lagi sekali saja di kehidupanku. Senyum tak berarti, apalagi tertawa.