Mohon tunggu...
chichik ilmi annisa
chichik ilmi annisa Mohon Tunggu... Freelancer - Content Creator

Menempuh Pendidikan di Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota ITS Surabaya Tahun Angkatan 2015

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tambang Timah di Laut Bangka Belitung

7 November 2017   09:12 Diperbarui: 7 November 2017   09:32 4421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.mongabay.co.id/

Kondisi lingkungan pesisir di Indonesia saat ini cenderung mengalami penurunan kualitas sehingga lingkungan pesisir dapat berkurang fungsinya atau bahkan sudah tidak mampu berfungsi lagi untuk menunjang pembangunan dan kesejahteraan penduduk secara berkelanjutan di masa depan. Pasal pengelolaan lingkungan hidup telah dibuat guna menunjang keberlangsungan sumber daya alam di Indonesia, diantaranya yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 (Sumberdaya Air), Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 (pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil), UU No. 4 tahun 2009 (pertambangan mineral dan batubara), hingga Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPLH).

Pemanfaatan sumber daya alam adalah untuk memajukan kesejahteraan bersama, seperti yang termuat dalam filosofi dasar negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, perlu adanya pengelolaan sumber daya alam yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan, yang memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan mendatang.

Dalam konteks wilayah pesisir disebutkan bahwa pada dasarnya UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terbentuk atas pertimbangan jika wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki keragaman potensi sumber daya alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan kedaulatan bangsa, sehingga perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat.

Degradasi dan kondisi pesisir di Kepulauan Bangka Belitung terancam kerusakan karena semakin maraknya kegiatan penambangan timah diperairan pesisir seperti aktivitas perusahaan-perusahaan tambang timah, TI (Tambang Inkovensional) apung, kapal hisap dan kapal keruk setelah lokasi penambangan timah didarat semakin sulit. Hal itu menyebabkan pesisir Kepulauan Bangka Belitung telah terjadi penurunan kualitas lingkungan pesisir terutama yang merupakan akibat dari pencemaran dan kerusakan lingkungan dari penambangan timah. Akibatnya, terjadi degradasi lingkungan, dan perubahan bentang alam di pesisir Kepulauan Bangka Belitung.

Aktivitas penambangan ini telah lama ada di Bangka Belitung, dilakukan baik secara legal maupun ilegal oleh masyarakat. Penambangan timah awalnya hanya dilakukan di daratan saja namun sekarang telah merambah pesisir pantai. Akibatnya, ekosistem-ekosistem penunjang wilayah pesisir seperti terumbu karang, rumput laut, lamun, biota-biota laut bahkan hutan mangrove tidak dapat berkembang dengan baik akibat terjadi degradasi. Namun tidak hanya itu saja, penambangan timah apung ini selain mengakibatkan abrasi pesisir, dapat merusak laut yang ada di dalamnya.  Agar fungsi lingkungan pesisir dapat dilestarikan, maka perlu dilakukan tindak kerja pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan tersebut.

Salah satu isu yang ada dalam penambangan timah laut adalah Kapal Isap Produksi (KIP) yang digunakan untuk menggali lapisan tanah bawah laut yang memiliki banyak dampak negatif. Menurut Geologis lokal Lulusan The Camborne School of Mines, University of Exeter, United Kingdom, Veri Yadi tidak sedikit dampak yang terjadi jika alat tambang timah raksasa tersebut terjadi yaitu Ekosistem Laut rusak, Beroperasinya KIP akan diikuti dengan munculnya TI apung, Banyak pendatang dari luar pulau untuk bekerja di TI apung, alih profesi dari nelayan ikan menjadi nelayan timah karena godaan pertambangan membuat banyak petani ingin beralih profesi, bahkan kebun karet, kelekak, dan lahan basah yang subur di darat disulap menjadi lahan tambang.

Begitu pula di laut, terjadinya alih profesi dari nelayan ikan menjadi penambang timah laut, harga ikan dipatikan akan bertambah mahal karena kerusakan laut akan membuat ikan semakin menjauh sehingga nelayan menangkap ikan ketempat yang jauh pula, pengawasan pertambangan laut belum jelas dan tegas tidak seperti di darat, batas dari IUP laut tidak diketahui langsung secara kasat mata sehingga membuat pengawasan pertambangan di laut berbeda dengan di darat.

Di Pulau Bangka terbukti, 100 persen kapal hisap yang beroperasi telah melenceng dari batas IUP yang telah diizinkan. Dari beberapa dampak dari pertambangan timah di laut tentu harus ada yang tindak lanjut dari apa yang terjadi sehingga dampak tersebut tidak akan terus berlanjut dan merusak generasi yang akan datang.

Penanganan terhadap isu dan permasalahan pertambangan di laut dalam pengelolaan wilayah laut merupakan aspek penting dalam kaitan dengan pengaturan terhadap batas-batas wilayah pengelolaan dan pemanfaatan ruang pada wilayah laut yang sampai saat ini belum secara keseluruahan memiliki kepastian hukum.

Selain itu, faktor lain yang menjadi penyebab adalah proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumber daya laut dan pesisir yang selama ini dijalankan masih bersifat sektoral dan cenderung berorientasi pada daratan sehingga berdampak pada aspek penataan ruang itu sendiri. Padahal karakteristik dan alamiah ekosistem pesisir dan lautan yang secara ekologis saling terkait satu sama lain mensyaratkan bahwa pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat diwujudkan melalui pendekatan terpadu dan holostik.

Apabila perencanaan dan pengelolaan sumberdaya laut tidak dilakukan secara terpadu, maka dikhawatirkan sumberdaya tersebut akan rusak bahkan punah seperti yang terjadi pada kasus pertambangan timah di bangka belitung, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk menopang kesinambungan pembangunan nasional dalam mewujudkan bangsa yang maju, adil dan makmur.

Dengan demikian, tuntutan terhadap upaya penataan wilayah laut haruslah dilakukan secara terintegrasi, dan saling terkait sebagai satu kesatuan dengan kata kunci yaitu keterpaduan antar sektor. Penataan ruang haruslah diarahkan untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah (baik nasional maupun daerah) yang nyaman, produktif dan berkelanjutan serta untuk mewujudkan keseimbangan dan keserasian dan strategis perkembangan antar wilayah, yang dilakukan melalui kebijakan dan strategi pengembangan struktur dan pola ruang wilayah yang pada akhirnya akan menciptakan keterpaduan lintas sektoral dan lintas wilayah sehingga dapat meminimalisir terjadinya konflik di dalamnya

Penataan ruang tidak hanya diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan sektoral yang bersifat parsial, namun lebih dari itu, penataan ruang diselenggarakan untuk memenuhi tujuan tujuan bagi pengembangan wilayah nasional yang bersifat komprehensif dan holistik dengan mempertimbangkan keserasian antara berbagai sumber daya sebagai unsur utama pembentuk ruang (sumberdaya alam, buatan, manusia dan sistem aktivitas), yang didukung oleh sistem hukum dan sistem kelembagaan yang melingkupinya, sehingga diharapkan setidaknya a). dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; b). tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan c). tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang.

Maka diperlukan suatu konsep penataan wilayah laut yang memungkinkan tercatatnya hak-hak dan kepentingan di laut, diatur secara spasial dan ditentukan secara fisik dalam kesinambungan terhadap batas-batas kepentingan yang tumpang tindih (berhimpitan) dengan mencantumkan batas batas dan status hak yang diberikan atas persil. Hak-hak yang dimaksudkan diatas adalah hak pengelolaan wilayah laut, dalam arti memanfaatkan dan melindungi wilayah laut. Tuntutan terhadap penataan wilayah laut dalam kaitan dengan pengaturan batas batas wilayah laut bagi daerah dimaksudkan untuk mengatur dan mengelola sumber daya laut. Batasan dan ruang lingkup pengaturan terhadap batas-batas pengelolaan wilayah laut diletakan pada batasan kewenangan daerah (Provinsi )

Dari permasalahan yang ada saat ini terkait tentang pertambangan pada wilayah pesisir dan laut, maka solusinya yang paling utama adalah percepatan penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil yang selanjutnya akan diperdakan menjadi perda zonasi. RZWP-3-K sebagai bagian dari Perencanaan Ruang Laut, membutuhkan percepatan penetapan karena akan memberikan matra spasial bagi program-program kelautan yang akan dituangkan di kebijakan kelautan.

Dengan perda zonasi ini maka akan ada kepastian hukum tentang wilayah wilayah mana yang diperbolehkan diadakan kegiatan pertambangan dan wilayah yang tidak boleh dilakukan tambang timah. Dalam proses pembuatan perda zonasi ini maka moratorium penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) harus dilakukan dan pemindahan wewenang pemberi izin sesuai dengan Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, kuasa kabupaten untuk menerbitkan IUP telah diambil alih oleh provinsi (modal dalam negeri) dan pemerintah pusat (modal asing).

Selain dari aspek hukum juga harus diupayakan banyak hal untuk mengembalikan lahan kritis di pesisir akibat pertambangan yaitu dengan reklamasi, rehabilitasi dan reboisasi untuk memperbaiki kawasan bekas tambang karena semestinya untuk reklamasi, perusahaan tambang tidak perlu menunggu berakhirnya izin tambang baru melakukan reklamasi.

Sumber: www.mongabay.co.id
Sumber: www.mongabay.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun