Mohon tunggu...
Suci Gulangsari
Suci Gulangsari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Menulis dari hati

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Maaf, Saya Bukan WTS

9 September 2011   07:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:07 1581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Dulu, sebelum media online menjadi salah satu alternatif sumber informasi publik, para praktisi persuratkabaran (media cetak) sering menyebut "WTS" (wartawan tanpa suratkabar) untuk menyindir para wartawan Bodrek. Yakni wartawan yang hanya bondho (berbekal) kartu pers untuk 'memburu' berita-berita yang dianggap berbau fulus dan bisa menghasilkan uang dengan cara pemerasan. Kenapa WTS? Karena mereka tidak memiliki media yang jelas. Kalaupun ada, banyak kalangan menyebut mereka sebagai wartawan "tempo", tempo-tempo terbit, tempo-tempo tidak (piss .. buat rekan-rekan media TEMPO). Saking maraknya praktik wartawan bodrek, terutama di era sekitar tahun 98-an, era reformasi saat itu, para wartawan "asli" yang berbasis media cetak, merasa perlu menanamkan kepada para narasumbernya agar berhati-hati kepada para WTS ini. Bahkan, mayoritas perusahaan surat kabar, secara khusus menuliskan dengan jelas kalimat:  “wartawan kami dilengkapi kartu identitas dan tidak dibenarkan meminta/menerima imbalan apa pun dalam pelaksanaan tugasnya”. Tapi bukan praktik WTS itu yang akan saya bahas di sini. Tapi tentang status WTS yang kini menjadi tak relevan lagi di saat media cetak bukan lagi menjadi "raja" di ranah media dan publikasi tanah air dan dunia. Suatu saat, pada sebuah kegiatan cangkrukan santai usai liputan, ada guyonan antara sesama pekerja jurnalistik media online dan elektronika (saya menyebutnya pekerja bukan profesi karena mengacu pada penerapan sistem dan pola kerja mereka) bahwa isilah "WTS" itu sebenarnya juga berlaku untuk para awak media non cetak. Sampai saat ini, Ketika seseorang bicara tentang surat kabar maka mindset mereka tetaplah koran=papper=bukan digital."Kita kan tidak punya surat kabar. Jadi kita ini sekarang termasuk WTS ya," kata salah seorang wartawan media online yang dulunya adalah praktisi media cetak. Betul juga. Para wartawan yang berbasis elektronika (televisi, radio) dan media online tidak memiliki "surat" kabar. Yang mereka miliki saat ini adalah "monitor" atau "layar" kabar.  Untuk jurnalistik televisi dan radio, memang sudah ada organisasi yang mewadahinya, tapi bagi para wartawan online ini, belum ada wadah yang secara nasional menampung aspirasi mereka. Memang organisasi kewartawanan sudah berupaya mewadahinya, namun karena tidak berdiri sendiri, gaung dan kiprahnya belum maksimal. Semalam saya sempat berfikir, mengapa tidak ada satu gerakan nyata dari para awak media non cetak, khususnya online guna membentuk satu wadah/organisasi yang lebih mampu memperjuangkan aspirasi mereka. Padahal saat ini media online perlahan namun pasti telah memegang peranan penting dalam sistem  informasi publik. Sekarang pun media-media cetak besar dan televisi mulai berkonsentrasi di online. (Bahkan sudah bukan rahasia lagi .. sekarang ada tren di kalangan teman-teman wartawan cetak, sebelum nulis berita harus 'ngintip' media online dulu. Kalau ada berita yang sama kan lumayan tuh bisa dijadikan referensi, kalau perlu dicopas, diedit sana-sini, atau ditambahi narasumbernya, sehingga lebih komplit ... Ehem) Bila mengingat peranan penting itu, memilih untuk tetap berafiliasi dengan organisasi profesi yang sudah lebih dulu berdiri, nampaknya kurang relevan. Sebab, permasalahan yang dihadapi juga berbeda. Soal nama, bisa digagas bareng-bareng. Kalau kita yang tidak punya surat kabar dan dicap WTS ..bagaimana kalau kita namakan  komunitas awak media online ini dengan GERMO (bloGGER dan Reporter Media Online) saja .. Tingkatannya kan lebih tinggi tuh .. He he .. Tapi apalah arti sebuah sebutan dan payung organisasi tanpa ada kemauan untuk terus dan terus berbenah diri. Menempatkan hati nurani sebagai prioritas tertinggi dalam menulis berita tetaplah mutlak dan tidak dapat ditawar lagi. Media massa memang sebuah industri, tapi tidak ada salahnya bila sebagian diantaranya disisihkan untuk memenuhi hasrat kemanusiaan dan sisi-sisi nurani lain yang pasti ada dan terbersit di setiap lubuk hati insan pers negeri ini !!! ilustrasi:cumidaratmenyelam.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun