Mohon tunggu...
Suci Gulangsari
Suci Gulangsari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Menulis dari hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Novanto Cs Versus Jokowi Cs, Indonesia Pasti (Akan) Hebat !!

4 Oktober 2014   13:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:25 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14123782801604050476

"Sakitnya tuh di sini" ... jargon ini sekarang bukan melulu milik para "abg galau" alias "alayers" alias "galauers"--sebutan bagi mereka yang suka curhat dan bikin status melow di media sosial. Beberapa bulan terakhir-terutama sepanjang proses pilpres hingga pasca terpilihnya Jokowi-JK sebagai Presiden wakil presiden RI ke-7 per oktober lalu, virus galau makin mewabah di seantero negeri ini.

Bagaimana virus tidak kian menyebar bila hampir tiap hari kita terus menerus disuguhi tontonan di televisi, di media sosial, di media online, di koran-koran yang hampir semuanya menampung dan seakan-akan menjadi "keranjang sampah"nya para galauers yang ingin curhat. Saking ganasnya virus, sampai-sampai sayapun jadi ikut-ikutan "mendadak galau"  sehingga tergerak untuk menuliskan catatan ringan ini. :)

Begitulah, kegalauan itu terus dipertontonkan berganti-ganti antara dua kubu yang saling berhadapan di Pilpres lalu, yakni kubu Prabowo dan kubu Jokowi. Usai menyaksikan kegalauan  kubu Prabowo dengan Koalisi Merah Putih (KMP)nya yang gagal mengusung sang calon presiden menuju RI 1 2014-2019, kini giliran  kita melihat bagaimana kegalauan koalisi Indonesia Hebat! yang digawangi PDI-P. Sebagai partai pemenang Pemilu, apa gak sakit tuh beberapa kali dipecundangi oleh KMP di senayan? setelah kalah voting di RUU Pilkada, MD3, kemudian tak mampu memenangi satupun kursi pimpinan dewan ?? ... Sakitnya tuh di sini !!

Pasti makin sakit kalau tiba-tiba muncul 'kisah imaginer' di benak kita tentang bagaimana KMP yang kini mempunyai banyak julukan di medsos sebagai kelompok siberat, the brandals, bolo kurowo, prahara menyusun strateginya di sebuah obrolan santai, ketawa ketiwi sambil nyeruput secangkir ngopi di warung Mbok Darmi.

"Gimana nih Ri ..Fahri ... gimana kalau pas rapat paripurna nanti mic-nya PDI-P and the geng dimatiin aja? Biar kapok dan nggak bisa interupsi he he," kata Fadli Zon (Sekjend Gerindra).

"Terserahlah .. tapi ide bagus itu, yang penting gimana PDI P dan konco-konconya ngambek, terus walkout-lah di rapat paripurna," jawab Fahri Hamzah (PKS).

Terus kata Setyo Novanto (Golkar): "Sepakat !!.. gampang itu, masalah teknislah. Teuh Popong pimpinan rapat ntar aku bilangi. Harus tegas, otoriter .." sambung Setyo.

"Oke? berarti sepakat ya  ... Kita, terutama kita bertiga ini harus solid. Kita ini soulmate, satu hati, satu jiwa, satu nasib karena jadi incaran KPK .. makanya pilihan pimpinannya nanti diarahkan, dibikin saja sistem paket dan kita yang mengendalikan semuanya. Apapun yang terjado kita harus selamat ... bergerak cepat .. terutama dengan KPK. Kalau perlu killed or to be killed ... berpelukan .." tambah Fadli sambil merentangkan tangan memeluk keduanya, fahri dan Setya. Oh .. so sweet ...

(Lalu, tiba-tiba, di tengah pelukan persahabatan nan manis itu lewatlah suara berbisik tanpa rupa .. mungkin suara malaikat ."Hati-hati .. alamat paketnya harus jelas ya ... biar nggak nyasar ke KPK .." begitu kata si suara ) ... Ups !

Oke, tinggalkan dulu kisah obrolan imaginer yang bisa jadi akan selalu menghantui dan memunculkan aura negative di benak galauers pro-Jokowi itu. Kita kesampingkan juga kisah imaginer serupa lain yang mungkin juga muncul di fikiran para galauers pro-Prabowo. Bagaimana kalau kita ambil positifnya saja, fokus ke kisah persahabatan mereka nan manis  atau kembali fokus pada status 'galau' yang kini sedang jadi trending topik di mana-mana.

Tapi masalahnya adalah: Apakah kita Memang perlu galau? Bukankah momen seperti ini -- ada versus antara legislatif dan eksekutif -- justru akan membawa angin segar bagi perjalanan demokrasi yang sesungguhnya di negeri ini. Untuk menuju kesejatian demokrasi di negeri ini, menurut saya-- kita sangat membutuhkan ruang hitam putih. Meski banyak yang bilang dunia politik itu akan selalu berada di kawasan 'abu-abu'.

Dengan realitas politik yang ada saat ini, sebagai rakyat jelata, pemegang kekuasaan yang sebenarnya, harusnya kita malah bersyukur. Baru kali ini kita bisa benar-benar menikmati tontonan demokrasi yang tercipta atas nama pilihan terbaik versi kita sendiri. Pilihan telah dijatuhkan, dan saatnya kini kita duduk manis, jadi penonton, pengamat yang baik. Bukannya larut dalam permainan, menangis, tertawa atau malah ikut berdarah-darah tanpa mendapatkan apa-apa.

Bukan hanya penonton, bahkan saat ini kita adalah dalang yang bisa dengan mudah memasukkan para pemain, wayang-wayang itu ke dalam kotak ketika mereka sudah tidak lagi on the track atau berani melawan skenario yang kita inginkan.

Baru kali ini juga kita bisa membedakan mana aktor dan aktris yang sedang berperan sebagai tokoh protagonis dan antagonis. Tanpa perlu meraba, tak perlu menduga-duga seperti yang sebelum-sebelumnya. Semuanya serba gamblang dan nyata. Kalau sudah begitu, semuanya pasti akan lebih mudah. Pengambilan sikap oleh lembaga negara yang menjadi pilar demokrasi Trias Politika yang memisahkan kekuasaan atas kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif pun lebih jelas. Apalah arti sebuah pertandingan tanpa sparing partner yang sesungguhnya. Sparing partner abal-abal hanya akan menghasilkan sesuatu yang lebih menyakitkan. Perselingkuhan, pengkhianatan.

Ruang hitam putih membuat semuanya jadi serba tegas, tidak berlaku kompromi. Fungsi kontrol legislatif akan maksimal, Eksekutif akan semakin hati-hati dan tidak gegabah melangkah, sedangkan lembaga yudikatif termasuk KPK akan lebih cepat bertindak, leluasa menjalankan amanah tanpa beban, tanpa direcoki kepentingan satu golongan ataupun kekuasaan. Semua undercontroling, seberapapun kekuatan dan kekuasaan yang dipertontonkan, semua itu tidak akan berdaya bila kita, rakyat yang bicara. People power.

Ruang hitam putih, sekali lagi tidak akan memberikan celah tawar menawar yang berujung pada pelemahan terhadap salah satu,salah dua, atau salah ketiganya. Cukup sudah sitir atau plesetan popular yang selama ini beredar. Penyebutan -- legislathief,Yudikathief,Eksekuthief-- sebuah sinisme yang seakan-akan menempatkan ketiga pilar demokrasi itu,  hanya sebagai markas gerombolan "thief" atau maling, sarang penyamun yang bekerja atas nama kompromi, kolusi, yang ujung-ujungnya perampokan, pemerasan, dan korupsi secara 'berjamaah'.

Rasanya sudah banyak juga pakar politik yang menyebutkan bahwa sistem presidensiil memberikan porsi kekuasaan lebih kepada presiden terpilih yang sah dan dilegitimasi 56 persen suara pemilih di negeri ini. Ada beberapa kekuatan besar yang siap menjadi becking bagi presiden terpilih yang sah, diantaranya kekuatan rakyat, media, MK, dan KPK. Sepanjang program-program yang dilakoni konsisten untuk kesejahteraan rakyat, untuk apa galau? Untuk apa risau .... toh Fadli, Fahri, Setyo, prabowo dan barisan panjang di belakangnya juga manusia yang memiliki kedudukan sama di hadapan Tuhannya. Memiliki keinginan, sakit hati, nafsu yang sama juga dengan kita semua. Mungkin saat ini mereka hanya sedang mencoba menata diri, menata hati, mengembalikan harga diri yang seolah  telah jatuh, terjerembab. Mungkin sama juga seperti kita bila dihadapkan pada situasi dan kondisi yang sama. Hanya saja setiap orang memilih cara yang berbeda untuk mengatasi setiap persoalan dalam hidupnya ... hitam atau putih adalah pilihan. Namun yang jelas, Selalu ada akhir di setiap pesta ....

ilustrasi:3.bp.blogspot.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun