Aneh memang, rumah bagus begitu di kontrakan dengan harga yang rendah. Tapi, setiap detiknya Arlan merasa merinding ketika berada di sana. Rumah itu seperti ada penunggunya yang datang.Â
Arlan kembali menemui agen si pemilik rumah tersebut. Di lihatnya pria yang berusia sekita 40 tahun itu tengah menatap dirinya sambil tersenyum.Â
"Bagaimana? Apa anda menyukainya?" ujarnya memastikan pendapat Arlan tentang bangunan tersebut.
"Ini, sungguh luar biasa. Saya merasa sangat beruntung sekali karena menemukannya. Apa anda yakin dengan sewa perbulannya hanya 300 ribu? Ini... sungguh sangat menghemat uang sekali." ujar Arlan memastikannya.
Pria yang berstatus sebagai Agen tersebut tersenyum simpul. Tapi, ada yang aneh dari senyuman itu. Entah kenapa Arlan merasa begitu, tapi... biarlah! Dapat rumah dengan sewa murah saja sudah syukur.
Tanpa berpikir macam-macam lagi, Arpan mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribuan dan memberikannya pada agen pemilik rumah tersebut.
Tak ada hal apapun yang membuatnya curiga, namun yang masih saja penasaran dengan pemilik rumah yang sebenarnya. Sayang sekali rumah sebagus ini harus di tinggalkan begitu saja.Â
"Maaf, sejak tadi saya masih penasaran dengan orang yang tinggal di sini sebelumnya. Apa anda mengetahui siapa pemilik aslinya? Karena, setahu saya anda hanya agen yang di percayakan untuk menyewa dan mengontrakkan rumah ini. Sejak masuk kemari, semua isi dalam ruangan itu tampak sangat bersih sekali. Apa anda yang membersihkannya setiap hari?" Â
Pria itu terdiam, ia menunduk seolah ragu akan mengatakannya. "Sebenarnya, ada seorang pria lansia yang memberikan wewenangnya 100 persen pada saya. Dengan keuntungan yang menurutku lumayan, kenapa aku menolaknya. Sementara sepanjang orang lain, paling hanya memberikan keuntungan 5 sampai 10 persen untuk saya. Tapi ini... Sudah sangat lama sekali tak ada yang menyewanya. Makanya ketika anda menghubungi saya, rasanya senang sekali."
"Tapi dimana sekarang pemilik rumah ini? Apakah anda yang setiap hari membersihkan setiap sudut pada rumah ini? Bisa jelaskan sekarang?"Â
Agen tersebut tampak ragu-ragu. Ia lalu menatap Arlan sebagai orang yang akan tinggal di rumah itu.
"Bagaimana ya, jika saya ceritakan mungkin anda akan mengganggap saya mengarangnya. Saya tak yakin anda mau mendengarkannya atau tidak."Â
Arlan semakin penasaran di buatnya. " Maksud anda bagaimana? Bisa jelaskan lebih detailnya?" ujarnya sambil mengerutkan keningnya.
"Saat itu, rumah ini sebenarnya adalah milik seorang penyiar radio yang di bunuh seseorang. Aku juga tak tahu pasti tempatnya di rumah ini atau bukan. Yang jelas, dari yang ku dengar, kejadian itu di daerah sekitar sini."
"Kamu tahu, sampai sekarang pun mayatnya belum di temukan. Bahkan masyarakat pun tak ada yang tahu bahwa ada seorang mayat yang sedang di cari di sekitar daerah ini. Dari sekian yang diceritakan aku belum pernah dapat kabar kalau ada kasus atau kejadian yang terjadi di rumah ini. Makanya aku berani mempromosikan rumah ini di media sosial." jelasnya panjang lebar.
Arlan mengerutkan keningnya, "Apa polisi sudah tahu? Bagaimana tindakan mereka?" Arlan jadi penasaran dengan kasus aneh tersebut.Â
Agensi perumahan tersebut mengeleng, "Dari hal yang kutahu, setiap ada berita tentang hilangnya para aktor, ternyata di temukan di rumah mereka sendiri. Cukup aneh memang, tapi di rumah mereka tak ada tanda-tanda kalau mereka di bunuh di tempatnya."
"Jadi, maksud anda lokasi tempat pembunuhan di sini?"
Sambil menaikkan kedua bahunya, agen itu kembali menyahut. "Aku sempat berpikir begitu, tapi di sini bahkan tak ada bukti apapun yang bisa bisa di temukan. Jadi aku tak bisa memastikannya."
Arlan termangu mendengar ucapan itu. Ia melihat sekeliling rumah tadi dan itu terlihat baik-baik saja.
"Dan, pernah suatu kali, aku menemukan sebuah keris dan ada bekas darah yang mengering. Tapi paling itu hanya bekas orang menyiangi ikan." lanjutnya kemudian.
Itu semakin rumit jika di pikirkan, Arlan menelan ludah, perasan bingung bercampur ngeri menjadi satu. Banyak sedikitnya, cerita itu seperti di karang oleh agensi itu. Yang jelas, ia tak akan percaya begitu saja padanya. Mungkin agensi itu hanya akan menakut-nakutinya saja, supaya Arlan tak jadi tinggal di rumah itu.
Tapi... Mungkinkah?
"Ah, sudahlah," tanpa memikirkannya, Arlan tetap bersikukuh ingin menyewa rumah itu, dan membayar uang muka sebagai jaminan.
Ia cukup senang, saat itu juga ia akan pindah ke sana. Namun, tempat itu benar-benar sunyi, jauh dari penduduk. Tak ada tetangga sebelah, maupun orang di seberang jalan.
Walau masih ragu, malam itu Arlan pindah tanpa membawa banyak barang. Dua pasang pakaian, dan laptop yang menjadi teman setianya dan beberapa berkas lainnya. Â
Malam ini ia bisa bekerja dengan tenang tanpa ada keributan. Rasanya ini seperti mimpi bisa tinggal di rumah mewah dengan harga sewa yang relatif murah baginya.
Hari mulai gelap, ia menyempatkan diri untuk mandi dan ingin mencoba kamar mandi di tempat tinggal barunya.Â
Tiba di sana, ia pun masuk ke dalamnya sambil bersiul-siul dan bersenandung kecil. Tanpa ada hujan, ia merasa seperti ada sosok bayangan seseorang yang melewati pintu kamar mandi sebelum ia menutupnya. Â Â
Arlan merasa bingung sekaligus kaget. Tapi tetap penasaran.
 Bersambung ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H