/
Shen tertawa lebar sembari menghampiri Mai. Ditepuknya bahu gadis itu, katanya,”Akhirnya aku beroleh pekerjaan.”
Wajah Shen tampak berseri. Mai turut terbawa arus gembira, ia ikut tertawa, sebelum ia melemparkan beberapa pertanyaan lebih lanjut.
/
Mai ingat sekali bahwa Shen benar-benar membutuhkan pekerjaan, semenjak lulus dari sekolah kejuruan setahun yang lalu.
Namun entahlah, mungkin pundi rejeki memang belum menjadi miliknya, namun hal itu tak merontokkan semangatnya. Ia pantang menyerah, terus mencari informasi tentang lowongan pekerjaan, baik dari keluarga besarnya maupun kawan-kawannya. Hanya ada kata usaha yang diikuti kata sabar, adalah kondisi buat Shen saat itu.
/.
Akhirnya, di hari Selasa yang indah nan penuh hoki ini, terkabullah sebuah permintaan.
“Baiklah, baiklah, Shen…” Mai berusaha menenangkan lonjakan ekstasi sobatnya itu.
“Aku ikut lega mendengarnya. Jadi engkau diterima bekerja dimana?” mata Mai terbelalak, penuh ingin tahu.
Shen mengedipkan sebelah mata, genit betul dia jika dalam keadaan mood suka ria.
Sungguh berbeda 180 derajat jika ia sedang masygul, tak enak hati, bisa porak poranda benda-benda di sekitarnya - walau obyek yang dipilihnya bukan yang berharga mahal.
Ha, kemarahan yang tahu diri, pikir Mai geli.
“Engkau takkan percaya, Mai,” kata Shen cepat.
Mai tersenyum sabar. ”Ya?” tanyanya.
“Aku terpilih menjadi polisi lingkungan. Engkau kan tahu bahwa kota kita ini, sangat berbalut pencemaran udara, maka sebagai ibu kota yang metropolitan, pemerintah merasa perlu untuk menginisiasi pengontrolan tingkat polusinya. Mereka akan bertindak tegas demi menjernihkan langit kembali,” papar Shen panjang lebar.
Mai terperangah sejenak.
Yang Mai tahu sebelumnya adalah bahwa kadar polusi di kota mereka - yang sangat modern itu - terus memburuk hingga kotanya itu amat terkenal akan asap pekatnya di seantero jagad.
Kabut berwarna kelabu itu merupakan limbah gas hasil pembakaran batu bara, terkait pemenuhan kebutuhan energi demi menjalankan mesin-mesin industrinya. Kini partikel mikro limbahnya telah mencapai angka 161 mikrogram per meter kubik, sudah melebihi ambang batas yang telah ditentukan.
Akibatnya para balita dan manula dihimbau untuk tinggal di dalam rumah-rumah mereka agar tak sesak napas menghirup mutu udara yang buruk.
/
Shen menceritakan tugas barunya kepada Mai yang mendengarkan penuh antusias.
Misi yang akan diembannya cukup pelik, termasuk menahan kendaraan-kendaraan yang memiliki tingkat emisi tinggi, mengawasi pabrik-pabrik dalam melaksanakan perjanjiannya dengan pemerintah untuk memotong penggunaan batu bara sampai sepertiganya, hingga menangkap para illegal polluters.
Sungguh amanah yang sejatinya berat buat Shen, sebagai penegak hukum atas kriminalitas pengotoran udara yang melukis warna kelabu di angkasa, menggantung di atas kota modern mereka. Problem yang mereka hadapi selama bertahun-tahun belakangan ini semoga lekas pupus terbawa angin, dan ini karena angin segar yang ditiupkan oleh orang-orang semacam Shen, pikir Mai bangga.
/
“Wahai Polisi polusi, selamat bertugas,” Mai menjabat tangan sahabatnya itu erat-erat.
/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H