Mohon tunggu...
Chi Erika
Chi Erika Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Kota Tua yang Memanggil Pemudanya

7 Februari 2017   20:52 Diperbarui: 7 Februari 2017   21:00 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
hadini-qudsy.blogspot.co.id

/

Kota renta nan rapuh, di mana pintu-pintu rumahnya dibiarkan terbuka lebar, menganga, mulai ditinggalkan penduduknya.

Namun agaknya, sang kota tak berkehendak untuk menghabiskan umur tuanya dengan menyendiri.

Moyangnya semenjak jaman purba, tak ingin menyaksikan panggung-panggung tarian tradisional yang semula meriah menjelma nihil, kosong melompong.

Sedangkan generasi baru begitu melambat pertumbuhannya.

Jumlah kakek dan nenek lebih banyak dari pemuda pemudinya: sebuah refleksi atas piramida populasi yang terbalik.

/

Apatah ..

Kota itu semakin rindu akan denting dan alunan alat musik klasik.

Dan kala rindu semakin mencengkeram, tiba-tiba di suatu hari, sebuah bencana besar melandanya.

Masyarakatnya kehilangan segalanya: harta benda, jiwa.

Sang kota lebih terhenyak lagi, karena merasakan kepekaan akan rasa sakit yang menggerogot kesehatan batin warga.

Kebutuhan pada Tuhan, alam semesta, dan komunitas.

Juga, setidaknya mereka kini juga mencari sebuah gapaian untuk menghibur diri.

Menghibur ternyata bermanfaat untuk menahan gempuran kepiluan batin dan menolong mereka di tahap pemulihan dari masa-masa sulit.

/

Denyut-denyut penderitaan itu kian terasa oleh sang kota, yakni kebutuhan atas festival kemanusiaan, pesta keakraban, bahkan juga pelestarian tarian budaya yang tadinya mulai terlupakan.

/

Segala yang pada awalnya penuh potensi, kini jadi sulit direalisasikan kelestariannya.               

Sang kota khawatir akan kepunahan bertahap, yang gilirannya mampu menyeret pada kepunahan peradaban secara total.

Si kota tua memutuskan diri untuk memulai berbenah, tumbuh dari akar yang paling mendasar.

Hunian-hunian usang yang telah ditinggalkan, berupaya menghias diri dengan riasan yang menyeru, membujuk dengan gelimangan kemudahan demi memanggil kaum muda – bahkan berjanji memanjakan mereka dengan segala kemurahan biaya.

Sang kota tak berputus asa dan terus mengajak agar pemuda-pemudinya sudi berpaling kembali pada kerut-merut wajahnya, kembali berkunjung, dan membangun.

Walau hanya sesaat saja.

/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun