Sebuah fitur elektronik bernama GIS adalah tren masa kini. Berbagai pemetaan seperti tambang, ketinggian tanah, kesuburan tanah, jenis tanamanan dan ikan endemik, dan berbagai keperluan lainnya. Sektor kesehatan juga tidak boleh ketinggalan, GIS dapat dimanfaatkan dalam pemetaan lokasi layanan kesehatan, jumlah penduduk, sebaran vektor penyakit, kondisi lingkungan, pemetaan area rawan bencana, dan berbagai data lainnya tentang kesehatan.
Alangkah indahnya, jika masyarakat bisa mengakses sendiri tentang informasi area mana yang rawan malaria, yang rawan rabies, dan berbagai penyakit lainnya. Alangkah senangnya, jika masyarakat bisa mendapat informasi akurat seberapa jauh layanan kesehatan di sekitar pemukimannya. Alangkah terbantunya, jika masyarakat mengetahui sendiri jalur evakuasi terhadap berbagai bencana seperti banjir dan tsunami cukup lewat handphone.
Rekam medis dan tumpukan kertasnya
Rekam medis di berbagai jenjang pelayanan kesehatan terkesan tidak lebih dari sebuah tumpukan kertas. Ruang rekam medis tak lebih dari sebuah gudang. Setiap tahunnya harus menambah rak baru, karena bertambahnya jumlah database pasien. Makanya tak jarang petugas kesehatan yang bertugas di ruang ini selalu mengeluhkan sempitnya ruangan karena makin hari makin bertambahnya tumpukan kertas rekam medis.
Apakah tidak pernah terpikirkan bahwa jutaan kertas rekam medik cukup tersimpan dalam memori chip sebuah i-pad. Dimana, setiap data rekam medik ini tersimpan on-line hingga seorang dokter memiliki daftar riwayat penyakit setiap pasienya dari sejak lahir hanya melalui sebuah gadget, semua jenis smartphone.
Mahal?
Mahal bukanlah alasan untuk ditinggalkan. Murah tapi tidak efektif, apa gunanya. Mahal tapi tepat sasaran dan memberi layanan berkualitas bagi masyarakat tentu jauh lebih baik. Tapi, sebenarnya layanan kesehatan yang berbasis elektronik justru jauh lebih murah dan hemat dibandingkan dengan cara-cara konvensional. Bahkan beberapa aplikasi kesehatan untuk rekam medis dan pemetaan GIS tersedia gratis. Lantas kenapa peluang ini tidak segera dimanfaatkan?
Kemauan, itulah intinya. Seperti kata Nelson Madela di awal, bahwa segalanya terlihat tidak mungkin sampai kita melakukannya.
Harus ada kesungguhan
Kunci dari semua ini adalah kesungguhan. Dalam hal kesungguhan, pemerintah masih harus belajar banyak dari rakyatnya. Sebagai contoh, jauh sebelum diperkenalkannya KTP elektronik di masyarakat, sebuah kampung di pinggiran Semarang (tepatnya di RT 6 RW 6 Tanjungsari, Pedurungan Tengah, Kecamatan Pedurungan, Semarang) sudah digelar pemilihan Ketua RT dengan memanfaatkan KTP yang dimofikasi menjadi kartu pintar. Berbekal KTP pintar tersebut, masyarakat memilih ketua RT secara elektronik pula, menggunakan layar sentuh. Bahkan, Nur Hidayat Sardini, Ketua Bawaslu kala itu menjadi saksi bahwa Indonesia harus belajar melek teknologi pada rakyatnya sendiri.
Keep hungry, keep foolish. Tetap buka mata terhadap perubahan dan perbaikan. Kita tidak perlu bersikap layaknya seorang petani padi yang harus berjalan mudur. Teknologi menuntun kita untuk segera lari ke depan.
(Mungkin ada yang pesimis dengan ide-ide ini karena bla bla bla. Tapi, apa salahnya kita mencoba, toh di negara lain sudah memakainya jauh-jauh hari. Haruskah kita ketinggalan terus?)
Manado, 8 Desember 2013, 08:27 WITA