Mohon tunggu...
Che Susanto
Che Susanto Mohon Tunggu... pegawai negeri -

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” (Pramoedya Ananta Toer)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Karma (1)

18 November 2013   00:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:02 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di depanku terhampar sebuah lembah yang luas. Tandus. Langit kuning muram. Matahari hanya serupa pendar cahaya meremang. Hawa panas menyergap langkahku. Hawa panas yang membawa bau seperti daging terbakar.

Dan tiba-tiba saja lelaki itu sudah berdiri di hadapanku. Tubuh kurus, wajah pucat, dengan mata yang menyiratkan ketakutan. Ia menyeringai. Mulutnya terbuka ingin bicara, tapi tak ada kata yang terdengar. Wajah memelas yang seolah menahan sakit yang hebat. Ia sibakkan rambut panjangnya, lalu memperlihatkan telinganya sebelah kiri. Aku tersentak. Daun telinga itu putus dan masih mengucur darah. Lalu, perlahan ia buka satu demi satu kancing bajunya. Tampaklah luka sayatan di sekujur tubuhnya yang renta. Mengerikan. Hampir setiap inci tubuhnya terluka.

Lelaki itu memberi isyarat agar aku mengikutinya. Dengan langkah terhuyung, ia berjalan ke lembah. Bagai tersihir, ringan kakiku mengikuti langkahnya. Sayup kudengar jerit tangis dan teriakan mengiba. Makin mendekat, suara itu makin jelas kedengaran. Sejurus kemudian, kami sudah berada di palung lembah. Tangan lelaki itu menunjuk ke arah lembah. Ya, Allah! Aku terkesima. Puluhan orang berseragam, sedang menyiksa ratusan orang tak bersenjata, lelaki dan perempuan. Jerit tangis dan lolongan kesakitan menerkam-nerkam di udara.

Aku merasa mengenali salah seorang di antara para penyiksa. Ya, Allah! Bapak! Ya, bapakku ada di antara para penyiksa itu. Dia sedang bersiap mengayunkan sebilah pedang ke arah kepala seorang lelaki yang bersimpuh tidak berdaya. Aku menjerit. Lalu, tiba-tiba gelap.

Ketika aku tersadar, aku mendapati diriku sedang berbaring di ranjang penginapan. Duh, Gusti, aku mimpi lagi. Dan ini adalah mimpiku yang ketiga. Mimpi yang sama dengan malam kemarin. Mimpi yang sama dengan malam kemarinnya juga. Ya, tiga hari berturut-turut, aku mengalami mimpi yang sama. Sama persis, sampai ke adegannya yang paling kecil sekali pun.

Aku melirik arloji. Sudah jam dua dini hari. Penginapan ini begitu sunyi. Hanya sesekali kudengar deru sepeda motor di kejauhan. Aku bangkit menuju lemari usang di sudut kamar. Kubuka tas untuk memeriksa kalung emas pemberian Bapak. Kutimang-timang kalung itu. Sebuah kalung dengan bandul bermotif bunga matahari. Rantainya adalah rantai berpilin tiga. Beratnya tak sampai sepuluh gram. Namun kalung inilah yang membawaku ke kota kecil ini, menjadi salah satu petunjuk untuk melaksanakan wasiat Bapak. Petunjuk lain adalah beberapa nama yang harus kutemui di kota kecil ini.

*****

Regol rumah tua itu terkunci rapat, dengan gembok kuno yang usianya sudah puluhan tahun. Kuketuk regol itu dalam pandangan cemas tukang ojek yang mengantarku. Sunyi. Sepi. Kucoba lagi, kuketuk sekali lagi. Tak ada jawaban. Namun, samar kudengar langkah terseret menyisir halaman. Seorang lelaki bungkuk muncul di balik pintu regol dengan pandangan curiga. Aku terkejut. Wajahnya mirip dengan laki-laki yang kulihat dalam mimpi.

“Leres puniko dalemipun Pak Sundoro suwargi?,” tanyaku sambil mencoba mengajaknya tersenyum.

Lelaki bungkuk itu tidak segera menjawab. Wajah keruhnya seolah mengatakan bahwa tidak biasanya ada orang asing bertamu di rumah itu. Lama sekali baru dia mengangguk.

“Saya dari Semarang, Pak. Saya ingin bertemu Bu Sundoro…,” terangku. Lelaki itu tak menjawab, namun dari sorot matanya kutahu ia menanyakan tujuanku bertamu.

“Bapak saya teman lama Bu Sundoro. Ada sesuatu yang penting, yang harus saya sampaikan kepada Ibu…”. Lelaki itu diam seolah sedang berpikir. Tiba-tiba ia mengeluarkan segepok kunci dari saku celananya, lalu membuka gembok dengan susah payah. Entah sudah berapa bulan gembok itu tak dibuka.

Aku memberi isyarat kepada tukang ojek agar ikut masuk. Namun, tukang ojek itu membalas dengan isyarat bahwa dia ingin menunggu saja di luar. Terserahlah. Aku tahu dia lelah setelah seharian kuajak keliling kota kecil ini.

Aku terpana. Halaman rumah ini begitu luas. Jalan setapak berbatu yang kulalui membelah halaman berumput yang rapi. Di kiri kanannya pohon-pohon buah berjajar. Ada sawo, rambutan, nangka, juga durian. Dan saat ini rambutannya sedang berbuah lebat.

Meski kelihatan tua, rumah itu tampak terawat.Berdinding separuh batu, dengan tembok tebal peninggalan Belanda. Si Bongkok member isyarat agar aku menunggu di teras. Lalu ia masuk ke dalam rumah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun