Mohon tunggu...
Cheryl Aurel Natania
Cheryl Aurel Natania Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

🌱 Mahasiswa | ✍️ Penulis Esai; Opini Menyoroti isu-isu pendidikan, teknologi, ekonomi, dan kesetaraan dalam dunia modern. Mengajak berpikir kritis untuk masa depan yang lebih inklusif. 📚💡

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menghapus Ketimpangan Digital: Apakah Akses Internet Seharusnya Menjadi Hak Dasar?

18 Desember 2024   00:29 Diperbarui: 18 Desember 2024   00:29 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di zaman di mana setiap aspek kehidupan manusia terhubung secara digital, internet bukan lagi sebuah kemewahan, melainkan menjadi sebuah kebutuhan mendasar. Sayangnya, kenyataan menunjukkan bahwa ketimpangan akses internet masih terjadi secara signifikan. Ketimpangan akses internet merujuk pada perbedaan dalam kemampuan individu atau kelompok untuk mengakses dan memanfaatkan teknologi internet yang sering kali dipengaruhi oleh faktor ekonomi, geografis, dan sosial. Berdasarkan laporan Digital 2024 dari We Are Social dan Hootsuite, sekitar 2,73 miliar orang masih tidak memiliki akses internet. Di Indonesia sendiri, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2022 menunjukkan bahwa hanya 62,1% rumah tangga yang memiliki akses internet dengan angka yang jauh lebih rendah di daerah pedesaan dibandingkan perkotaan.

Dalam dunia yang semakin kompetitif, mahasiswa dari pedesaan tak lagi memiliki waktu untuk berjalan berjam-jam ke perpustakaan demi mencari bahan belajar. Seorang ibu yang berjualan keliling dari subuh hingga malam tak lagi mampu bersaing jika hanya mengandalkan cara-cara konvensional. Sementara itu, dunia tidak akan berhenti menunggu, dan di luar sana, kemudahan akses internet sudah berada di genggaman mereka yang lebih beruntung. Ketimpangan digital menciptakan jurang yang semakin lebar antara mereka yang memiliki akses dan yang tidak. Jika internet diakui sebagai hak dasar manusia, kita dapat mengurangi ketimpangan tersebut dan membuka peluang bagi semua orang, bukan hanya mereka yang beruntung secara ekonomi atau geografis. Dengan demikian, akses internet harus diakui sebagai hak dasar setiap individu karena internet merupakan alat yang efektif dalam mengurangi ketimpangan di bidang pendidikan, ekonomi, dan partisipasi sosial, sehingga mendorong terciptanya masyarakat yang lebih setara.

Akses Internet Meningkatkan Kesetaraan Pendidikan

Internet memiliki potensi besar untuk menyetarakan akses pendidikan di seluruh dunia, terutama bagi daerah terpencil yang sering terhambat oleh kurangnya infrastruktur dan tenaga pengajar. Menurut Dr. Agus Irianto Sumule dari Universitas Papua, wilayah Papua kekurangan lebih dari 20 ribu guru, terutama di tingkat sekolah dasar. Akses geografis yang sulit dijangkau dan rendahnya tunjangan yang tidak sebanding dengan tanggung jawab para guru membuat siswa kesulitan untuk mendapatkan tenaga pengajar yang memadai. Internet mampu mengubah tantangan ini menjadi peluang. Dengan platform seperti Khan Academy atau Coursera, siswa dapat mengakses materi berkualitas tanpa biaya. Selain itu, pembelajaran daring dapat meningkatkan literasi digital dan keterampilan profesional, sebagaimana diungkapkan oleh studi dari Internet Society. Akses internet juga memungkinkan siswa di pedesaan mengakses literatur, jurnal, dan artikel ilmiah untuk belajar secara mandiri. Dengan memanfaatkan teknologi internet, pendidikan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, sehingga kesenjangan akses antara kota dan desa dapat diminimalkan.

Internet mendukung pembelajaran interaktif dan kolaboratif meskipun dalam situasi krisis. Menurut UNESCO, pada puncak pandemi COVID-19 di 2020 sekitar 1,6 miliar siswa di 190 negara atau sekitar 94% dari total siswa global terkena dampak penutupan sekolah. Dalam keadaan ini, internet menjadi sarana penting dalam menjaga keberlangsungan pendidikan melalui platform seperti Google Classroom, Zoom, dan Scola yang memungkinkan siswa tetap berinteraksi dengan guru dan teman sekelas mereka. Meski demikian, ketimpangan digital masih menjadi tantangan besar, terutama bagi siswa dari keluarga kurang mampu yang harus bergantung pada Wi-Fi di tempat umum untuk mengakses pembelajaran daring. Di Indonesia sendiri, Direktur Utama BAKTI Kominfo Anang Latif mengatakan bahwa ada 12.548 desa yang belum terakses 4G, terutama di wilayah 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar). Hal ini begitu disayangkan, sebab sebuah studi di Universitas Pamulang menemukan bahwa pembelajaran menggunakan Zoom dan Google Classroom secara signifikan berdampak positif pada hasil belajar mahasiswanya.. Dengan pendekatan yang tepat, internet tidak hanya menjaga kelangsungan pendidikan dalam situasi krisis, tetapi juga membuka peluang pembelajaran yang lebih fleksibel, inovatif, dan inklusif di masa depan.

Akses Internet Mendorong Pemberdayaan Ekonomi

Selain bidang pendidikan, internet juga telah membuka peluang baru dalam dunia ekonomi modern. Internet memberikan kesempatan yang setara bagi pelaku usaha kecil untuk berwirausaha melalui platform digital. UMKM yang memanfaatkan teknologi internet cenderung lebih kompetitif dibandingkan dengan bisnis konvensional. Dengan memanfaatkan e-commerce seperti Tokopedia dan Shopee, UMKM dapat memperluas pasar hingga tingkat nasional dan internasional. Data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa sekitar 70% UMKM yang tergabung dalam platform digital mengalami peningkatan pendapatan rata-rata sebesar 30% dibandingkan saat mereka masih menggunakan metode konvensional. Selain itu, internet memungkinkan pelaku usaha memanfaatkan data analitik untuk memahami perilaku konsumen, sebagaimana dilakukan oleh perusahaan fashion lokal Zalora yang menggunakan tren pembelian untuk menyusun strategi pemasaran yang lebih efektif. Kemudahan pembayaran digital melalui platform seperti OVO dan GoPay juga meningkatkan pengalaman pelanggan, menciptakan pengalaman belanja yang lebih nyaman dan efisien. Dengan kemajuan ini, internet telah menjadi alat yang efektif dalam memberdayakan pelaku usaha kecil, menjadikan mereka lebih kompetitif di pasar lokal maupun global.

Pekerjaan berbasis internet seperti freelance dan remote work semakin menjadi pilihan utama di era digital. Namun, akses internet yang belum merata menghambat potensi ini di banyak wilayah. Menurut laporan McKinsey (2014), sektor freelance global diproyeksikan tumbuh pesat seiring meningkatnya adopsi teknologi digital. Lebih lanjut, menurut data laporan ekonomi pekerja lepas 2023, pasar pekerja lepas di seluruh dunia diperkirakan bernilai $1,5 triliun dan mampu meningkat pada tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 15%. Angka ini mencerminkan peluang besar yang dapat dimanfaatkan melalui platform seperti Upwork, Fiverr, dan Sribulancer yang memungkinkan individu menawarkan keahlian mereka tanpa batasan lokasi geografis. Jika akses internet universal dapat diwujudkan, peluang ini akan terbuka lebih luas, khususnya bagi komunitas di daerah terpencil yang selama ini kesulitan mendapatkan pekerjaan formal. Selain memberikan solusi atas pengangguran, pekerjaan freelance juga menawarkan otonomi bagi pekerja untuk menentukan waktu dan proyek sesuai kebutuhan mereka. Oleh karena itu, internet yang merata bukan hanya kebutuhan teknologi, tetapi juga alat pemberdayaan ekonomi yang strategis untuk mengurangi kesenjangan sosial.

Internet Sebagai Alat Pengembangan Keterampilan dan Diri

Selain pendidikan formal, internet menawarkan akses ke berbagai pelatihan keterampilan dengan biaya murah atau bahkan gratis. Menurut laporan World Bank, sekitar lima puluh persen pekerja di negara berkembang belum memiliki keterampilan digital dasar, yang mempersulit mereka bersaing dalam ekonomi digital. Akses internet yang merata memungkinkan individu mempelajari keterampilan baru untuk meningkatkan produktivitas serta daya saing mereka di pasar global. Berbagai platform, seperti YouTube dan LinkedIn Learning, menyediakan materi pelatihan yang mencakup keahlian seperti pemrograman hingga pemasaran digital. Sebagai contoh, LinkedIn Learning memiliki lebih dari 300 kursus kecerdasan buatan (AI) yang dapat diakses oleh siapa saja. Seorang petani di pedesaan dapat mempelajari teknik pertanian modern melalui video daring, sementara pengrajin kecil dapat memperluas jangkauan bisnisnya dengan belajar strategi pemasaran digital. Dengan memanfaatkan akses internet yang inklusif, berbagai keterampilan ini dapat diperoleh secara efisien, meningkatkan kapabilitas masyarakat di berbagai sektor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun