Mohon tunggu...
Maschun Sofwan
Maschun Sofwan Mohon Tunggu... Penulis - Blog : Aleniasenja.com | IG : @maschunsofwan | Youtube : Maschun Sofwan

Jejak Rindu Di Telaga Nurani

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pesan Cinta dari Hujan

30 April 2018   23:35 Diperbarui: 30 April 2018   23:37 1323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
theoramoench.com --repro

Entah kenapa semenjak hari itu, Setiap hujan turun menyirami bumi, aku selalu berkata jika itu adalah wujud darimu yang pernah singgah dalam cerita hidupku. Walaupun itu tak menjadi kenyataan memilikimu, Aku berharap kau disana tak pernah bertanya, kenapa aku lebih memlih menyukai hujan, daripada menyukaimu.

Jika pertanyaanmu seperti itu, sebenarnya kau sendiri sudah memiliki jawabannya, yaitu tentang rasa yang aku punya ini tak sampai menjadi kenyataan memilikimu. Kau juga tentunya sudah mengerti, kenapa aku melakukan ini hanya untuk bertemu denganmu. Dengan perantara hujan, aku jadikan kau seakan nyata, agar aku tak lagi mengingat kenangan sedih itu ketika kau pergi meninggalkanku.

Aku berharap hujan tak merasa risih dengan prilakuku terhadapnya, dimana saat hujan turun aku sering merasa, jika itu bukan hujan yang turun, namun air mata kesedihanku yang pernah tumpah disaat itu, di saat kau tak lagi mampu kusapa seperti biasanya, tak mampu lagi aku lihat senyummu seperti hari-hari dimana aku tumbuh dengan subur berkat semangat yang selalu kau sampaikan lewat senyummu itu.

Aku juga tak menyangka hal itu bisa terjadi, dan begitu cepat berlalu dalam hidupku. Taukah kamu, jika aku begitu sulit untuk meredam kesedihanku saat itu, di saat aku menyelesaikan tugas terakhir kuliahku, disaat aku melaksanakan sidang skripsi, di waktu yang bersamaan kau berucap janji dengan seseorang yang kau pilih untuk mengarungi hidup bersamamu.

Air mataku menetes saat itu, bukan karena aku tak mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh tim penguji skripsiku, namun aku meneteskan air mata karena teringat dirimu yang begitu tega meninggalkan aku dalam posisi berjuang demi menggapai cita-cita dan cinta bersamamu.

Aku meneteskan air mata bukan karena aku merasa takut dengan kemarahan dosen penguji skripsiku karena kurang baik dalam penyusunannya, bukan itu. Aku meneteskan air maka karena aku tak akan bisa lagi bertemu denganmu setelah itu karena kau telah menikah dengan orang lain.

Rasanya aku tak ingin menyelesaikan sidangku dengan kelulusan waktu itu, aku tak mau meneruskan perjuanganku untuk bisa menjadi sarjana saat itu, bukan karena aku tak mampu menyelesaikannya dan membiayai semua pendidikanku itu, namun aku kehilangan semangatku dari seseorang yang telah mengantarkan aku pada posisi tersebut, namun tak mampu aku pertahankan dengan hasil bahagia bisa lulus kuliah dan mengikat janji suci bersamamu.

Taukah kamu, di  saat itu aku begitu terpukul dengan keadaan yang aku alami. Semua teman merasa bahagia di saat kelulusan skripsi di umumkan, namun apa yang terjadi pada diriku sangatlah berbeda. Dimana aku terlihat murung jika semua sungguh tak berarti apa-apa jika kau telah pergi meninggalkan setia yang aku pertahankan dengan susah payah dalam menempuh pendidikan jauh darimu.

Aku sangat berharap saat aku wisuda, kau hadir menemaniku, namun hal itu tak terjadi. Aku sendirian menantimu datang, namun yang ada hanya kesedihanku kala itu, aku begitu sedih merayakan wisudaku tanpa ada sedikit senyum menaungi wajahku.

Aku seakan kehilangan sesuatu yang teramat berharga dalam hidupku. aku lemah, aku kalah dan aku seperti tak memiliki apa-apa lagi dalam hidup ketika kenyataan yang ada memang kau telah pergi tanpa permisi tinggalkan aku yang begitu rentan akan kehilangan kasih sayang darimu.

Seadainya saja aku bisa menahanmu saat itu, seandainya saja aku berada di dekatmu saat itu, seandainya saja aku bisa bertemu denganmu saat itu, maka akan aku cegah tanganmu di lingkari cincin darinya. namun aku tak bisa, aku berada jauh darimu, dan pada akhirnya aku harus merelakan kehilangan semuanya dirimu, cinta, kasih sayang dan masa depan lenyap untuk selamanya.

Kehilanganmu dalam hidupku seakan aku mati rasa, seakan aku hanya punya raga saja namun tak memiliki jiwa. Aku hampir punah dari peredaran bumi ini, ketika aku sadar jika kau memang tak lagi dapat aku temukan. aku menelponmu dan mengirimkan pesan seperti hari sebelumnya, namun jawaban selalu membisu aku dapatkan.

Hal yang paling menyesakan dada adalah dimana dalam seminggu sebelum kau memutuskan untuk meninggalkanku, hubungan kita baik-baik saja tanpa ada tanda tanya jika kau berniat untuk meninggalkan aku di saat hari dimana aku akan sidang skripsi.

Aku dan kau bicara lewat telpon seperti biasa, dan kau tertawa lepas seperti apa yang aku kenal sejak dulu. Kau bahagia, kau tertawa dan kau masih memberiku semangat seperti biasanya. Namun dua hari sebelum siding skripsiku berlangsung, aku mencoba menghubungimu, namun tak ada jawaban, pesan singkatpun kau tak balas.

Aku panik dan bertanya dengan teman di kampung untuk memastikan jika kau baik-baik saja. Dalam keadaan panik menunggu jawaban tentang kabar dirimu, pada malam harinya dimana esok harinya adalah hari sidang skripsiku, temanku memberi kabar kepadaku jika kau telah dilamar oleh seseorang yang tak aku kenal siapa dia yang telah berani mencuri perhatian darimu.

Dalam kondisi tersebut, aku belum percaya jika kau akan menerima lamaran itu. Dalam keadaan panik aku terus mencari jawaban yang pasti tentang kebenaran informasi tersebut. Aku berusaha untuk bisa tenang agar tidak mempengaruhi sidang skripsiku esok harinya.

Namun aku tak bisa tenang, semalaman suntuk aku tak bisa tidur, aku tak mampu tenang juga. Pada akhirnya aku menelpon adikku agar aku mengerti dan memahami jika hal itu memang benar-benar terjadi.

Aku menelpon adikku yang berada di kampung untuk mengetahui kebenaran itu tentang kau yang begitu cepat berubah rasa dariku ke orang lain. Setelah aku menelpon, jika informasi tersebut memang benar adanya, dimana kau akan menikah dalam waktu yang singkat, dalam waktu yang bersamaan di hari sidang skripsiku.

Sepertinya kisahku ini telah diatur saja dan seperti sebuah sinetron saja kejadian itu terjadi dalam hidupku. Namun kenyataannya memang seperti itu adanya. Mendengar penjelasan dari adikku tersebut, aku seakan tak mampu berbicara lagi, jika kau memang tega berbuat seperti itu kepadaku yang begitu inginkan bahagia hidup bersamamu setelah aku menyelesaikan pendidikanku ini.

Aku masih teringat dimana kau selalu berkata jika aku harus menyelesaikan pendidikanku hingga sarjana dan kau tak akan mengecewakanku dengan setia yang kau titipkan dalam hatiku. Aku mempercayai ucapanmu, aku semangat karena tak ada tujuan lagi dalam hidupku selain kau yang bisa memberiku arti yang sesungguhnya.

Kau selalu berkata jika kau akan setia dalam penantian, dan kau selalu bilang jika aku adalah orang yang selalu kau tunggu kehadirannya dalam hidupmu, namun ucapanmu itu menghilang begitu saja bak ditelan waktu dalam dusta yang begitu menyakitkan.

Malam itu aku tak mampu tenang dan tak mampu memejamkan mata. walaupun esok harinya aku harus bangun pagi untuk mengikuti sidang skripsi, namun tetap saja rasa kecewa yang aku rasakan saat itu mengalahkan segalanya. aku seakan hidup di negeri mimpi, dimana saat yang bersamaan, aku dihadapkan dengan masalah yang sulit.

Di tengah heningnya malam, aku duduk sendirian, pikiranku terbang melayang ke negeri langit untuk meminta pengadilan cinta atas luka yang kini begitu menyesakan dada. Aku bersujud kepada-NYA dalam do'aku berharap, jika apa yang sedang aku rasakan ini merupakan cobaan dan rintangan yang membuat aku harus belajar untuk menerima kehilangan sesuatu yang teramat berharga dalam hidupku.

Dalam do'aKU, air mata ini tak mampu aku hentikan menetes deras hingga membasahi pipi dan juga bajuku. Aku menangis sejadi-jadinya sendirian dihadapan-NYA. Aku menjadi pria yang begitu cenggeng dan begitu rentan dengan kesedihan pada malam itu. Aku duduk semalaman di tempat sujudku hingga pagi hari. entah aku tertidur atau tidak, yang jelas, hingga pagi datang, aku masih berada di tempat yang sama.

Ketika pagi menjelang, aku teringat jika hari itu aku akan melaksanakan sidang skripsi. aku bergegas mandi, sholat subuh dan berpakaian rapi seperti apa yang ditugaskan oleh kampus untuk mengikuti sidang skirpsi.

Aku berangkat bersama temanku untuk datang ke kampus waktu itu guna melaksanakan sidang skripsi kelulusan. Temanku sempat bertanya, kenapa mataku merah merona seperti habis menanggis, dan aku menjawabnya, jika aku tak bisa tidur semalaman karena memikirkan sidang skripsi tersebut, padahal aku berbohong kepadanya jika aku mataku merah bukan karena begadang, namun karena air mata yang mengalir terus menerus pada malam harinya karena cinta itu.

Sampai di kampus, aku langsung menuju ruang tunggu sidang skripsi. Di sana sudah begitu ramai teman-teman yang ikut sidang sudah bersiap untuk menunggu giliran panggilan panitia sidang. Aku masuk dengan hati yang begitu gelisah dan juga sedih, gelisah karena hari ini aku harus menghadapi sidang skripsi dan sedih karena pada hari yang bersamaan aku harus ikhlas merelakan dirimu pergi tinggalkan aku untuk hidup bersama orang lain.

Aku terdiam tak seperti biasanya, tak seperti biasa dimana aku begitu anti dengan dengan suasana hening tanpa ada canda tawa di dalamnya. Namun tidak dengan hari itu, aku lebih banyak terdiam kosong seakan apa yang sedang aku alami seperti bukan aku yang mengalaminya.

Aku duduk di bangku paling belakang untuk menunggu gilaran untuk melaksanakan sidang skripsi. Sikap dianku menimbulkan pertanyaan di hati teman-temanku semuanya yang ada di ruangan tersebut, namun selalu aku jawab jika aku sedang panik untuk menghadapi sidang skripsi.

Sesekali aku aku keluar untuk ke toilet hanya sekedar melepas gundahnya hati akan kesedihan hati yang saat itu begitu pekat terasa menyelimuti ruang hati dengan luka yang begitu dalam. Aku masih saja meneteskan air mata, namun saat aku masuk ruangan kembali aku air mataku tak terlihat kembali.

Tiba juga giliranku untuk sidang skripsi yang telah aku susun selama 4 bulan berlalu. Aku masuk ke runagan sidang dan terlihat telah berada tim penguji dan juga dosen pembimbing yang siap menghajarku dengan pertanyaan.

Aku membuka lembaran skripsiku di notebook yang sudah tersedia, lalu membacanya dengan cepat tanpa berpikiran hal yang buruk. Aku berupaya untuk tenang dan fokus dengan apa yang sedang aku lakukan saat itu, walaupun berat untuk aku taklukan luka hati yang sedang menimpaku, namun aku berusaha untuk tegar jika semua akan berlalu dan tak ingin masa kuliahku berantakan dengan tidak lulus kuliah nantinya.

Selesai semua apa yang ingin aku sampaikan kepada dosen penguji dan orang yang berada di dalamnya, aku mempersilakan mereka untuk bertanya tentang skripsi yang aku susun tersebut. Alhamdulillah, mereka bertanya sesuai dengan apa yang aku tau dan aku pun tak begitu sulit untuk menjawabnya.

Ketika aku dan dosen penguji menyatakan selesai dan memberiku nilai bagus pada saat itu dan aku dinyatakan lulus, aku meneteskan air mata, antara bahagia dan juga sedih. Bahagia karena aku bisa lulus dan menjadi sarjana, namun ada kesedihan yang teramat mendalam aku rasakan saat itu, dimana hari itu adalah hari yang paling bersejarah dalam hidupmu, dimana kau telah berucap janji suci untuk hidup bersama dengan cinta lain.

Selesai sidang, dimana teman-teman yang lulus merayakannya, namun tidak denganku. Aku terdiam kaku di dalam mushola kampusku. aku duduk dalam do'a mengucapkan terima kasih dalam sujudku kepada sang pencipta telah memberiku kelulusan dalam menempuh pendidikanku.

Aku juga masih saja meneteskan air mata saat itu, aku binggung harus bagaimana lagi harus menyampaikannya kepada dunia jika aku saat itu memang benar-benar sedih. Taukah engkau, aku selalu bermimpi jika saat kelulusan ini, orang yang pertama yang ingin aku kabarkan adalah kamu, namun itu tak sesuai dengan rencana, aku tak bisa melakukannya.

Selesai aku duduk termenung tanpa ekspresi gembira, aku pamit kepada teman-teman semua untuk pulang ke kostku saja. Aku pulang, aku sedih dan aku seperti tak memiliki semangat atas apa yang telah aku raih dalam pendidikanku.

Sampai di kost, aku meneteskan air mata kembali, meneteskan air mata tentang kamu yang begitu aku tunggu sejak lama untuk bisa hidup bersama setelah kelulusanku ini. Namun kenyataan yang ada itu hanya omong kosong saja.

Malam harinya, Aku masih saja tak mampu tidur, aku berdiri didepan kamar kostku menatap langit, dan tanpa aku sadari Hujan malam itu turun dengan derasnya, seakan langit mengerti apa yang sedang aku rasakan malam itu.

Aku menatap setiap rintinkan hujan itu jatuh dengan kesedihan yang luar biasa. Setiap helai hujan yang turun aku menyampaikan sebuah kata agar apa yang sedang aku rasakan dapat didengar oleh bumi. Aku menyampaikan pesan rindunya hati dan ingin berkata kepadamu, jika aku tak harus bagaimana kehilanganmu.

Aku menyampaikan pesan kepada hujan malam itu agar ia dapat berkata kepadamu jika telah mengikhlaskanmu bahagia bersama orang lain. Aku berkata, jika aku tak akan menyimpan benci, rindu dan cinta yang tertulis atas namamu lagi, karena pada malam itu semuanya telah aku titipkan kepada hujan malam itu.

Aku menangis sejadi-jadinya, dimana aku harus melepaskan seseorang tanpa ia mengetahui dan melihat saat aku berucap sendirian ditengah malam dalam hujan yang begitu deras. Saat itu aku telah merelakan semua pergi dariku, aku telah menyatakan jika aku tak pernah menyatakan jika kaulah yang salah telah meninggalkanku, namun aku lebih mengutamakan diriku tak terbelenggu dengan keadaan yang terjadi agar dapat mengerti jika itu sudah kehendak yang maha kuasa jika kita memang bukan untuk hidup bersama, kita hanya memiliki kisah yang sama di dunia ini.

Hujan malam itu turun sampai pagi, dan seakan menemani kesedihanku malam itu yang duduk sendiri tanpa ada ucap kata sedikitpun keluar dari mulutku. Aku duduk hingga subuh menjelang, dan hujan menjadi saksi jika aku pernah mengatakan sesuatu kepadanya, tentang seseorang yang sangat aku cintai dalam hidupku.

Saat Adzan subuh berkumandang, aku bergegas mengambil wudhu dengan di iringi dinginnya angin malam waktu itu karena memang hujan belum juga reda. Aku melaksanakan sholat subuh dan mendo'akanmu agar kau hidup bahagia bersamanya, dan dapat membina rumah tangga yang mawadah dan warrohamah.

Aku juga berdo'a agar kau tak merasa takut jika aku membencimu, dan jangan pernah merasa segan atau malu jika suatu saat nanti kita bertemu untuk saling menyapa. Aku tak pernah menanamkan sikap itu dalam diriku, aku adalah aku, aku yang pernah kau kenal dulu, dimana aku tak akan pernah ada niat untuk membencimu atas luka yang kau tinggalkan dalam hatiku.

Memang butuh waktu untuk aku menyembuhkan hal itu dalam hatiku. namun perlu kau ketahui, jika aku tak akan pernah melakukan hal yang jahat atas dirimu, walaupun itu tak sebanding dengan apa yang telah kau lakukan terhadapku.

Sejak malam itu aku telah menyerahkan semuanya kepada hujan. aku telah memaafkan dirimu seutuhnya. Bersama hujan, aku telah menyimpan semua cerita yang pernah terjadi antara aku dan kau. Itulah alasannya ketika turun hujan, seakan aku bertemu denganmu saja dalam wujud yang beda, aku harap kau tak mengetahuinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun