Mohon tunggu...
mahmudah nurur rohmah
mahmudah nurur rohmah Mohon Tunggu... -

hanya seorang gadis kecil di keramaian kota yang terkadang menjemukan karena berbagai kepalsuan dibalik percik kebenaran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Curhat Mahasiswa DO dan Bapak Cincau

5 April 2015   12:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:31 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

jalanan semakin padat tiap tahun tanpa mengenal krisis ekonomi yang katanya mencekik rakyat kecil. sebagian orang tetap berjalan mengenakan pakaian terbaru bersama aksesorisnya yang berlabel merk terkenal. tak ketinggalan, di tangan orang-orang itu, tergenggam sebuah smartphone dalam balutan flip cover beraneka warna. jangan berpikir jika mereka adalah sekumpulan orang berpenghasilan jutaan tiap bulan. pada kenyataannya, mereka adalah sekumpulan orang dari berbagai kalangan ekonomi dan usia yang berbeda.

lelah mengamati mereka, mulai ku sandarkan punggungku pada tiang listrik yang masih berdiri kokoh di tepi jalan yang tentu saja ramai.  sekilas dilihat, orang akan menyangka bahwa aku adalah seorang pengangguran yang sedang malas mencari kerja dan melampiaskan kemalasanku untuk sekedar nongkrong di pinggir jalan. ya, begitulah pasti pikir orang-orang, sebuah pikiran universal yang kadang dibenarkan karena sudah menjadi opini publik, sungguh disayangkan.

ku amati digit jam yang tertera pada handphone tua yang sedari tadi diam bersarang di saku celana. waktu sudah siang, sebaiknya ku angkat kaki agar tak tersapu polusi bubaran anak sekolah yang sebentar lagi melintas. mengapa ku katakan polusi? karena masing-masing dari mereka membawa kendaraan pribadi bernama sepeda motor yang asapnya mengepul tebal seperti kabut di pegunungan. tak hanya itu, sebagian pejalan kaki dari mereka membuat polusi berbeda yang ku beri nama 'kebisingan ABG' dengan suara keras berisi pembicaraan tak berbobot yang diiringi gelak tawa yang volumenya sering tak terkendali.

"mampir mas, minum es cincau dulu. murah meriah, dijamin haus hilang." promo seorang penjual es padaku.

tanpa pikir panjang, segera ku belokkan langkah menuju kursi disamping gerobak cincau sang pedagang, "satu pak, minum disini."

dengan senyum lebar pada wajah renta yang terlihat ceria, ia segera meracik minuman yang diperdagangkannya. tangan tuanya seakan tak terpengaruh umur, terbukti dengan gerakannya yang cekatan.

"monggo mas esnya."

ku terima segelas es cincau itu, "makasih pak."

belum sempat ku serot sedikit isi dari gelas tersebut, 'polusi anak sekolah' dan 'kebisingan ABG' tiba-tiba lewat berhamburan seperti gerombolan kucing yang mencium amisnya ikan pindang. si bapak penjual cincau terus beteriak mempromosikan dagangannya yang masih sangat banyak. namun apalah kata, anak-anak sekolah itu melewati kami begitu saja dengan suara canda dan tawa yang biasanya bergema.

ku amati bapak itu sejenak. meski bulir keringat telah membasahi tubuh dan wajahnya yang tak lagi muda, ia tetap berteriak sambil tersenyum menawarkan es cincaunya yang belum juga berkurang sejak aku datang.

"beginilah mas," katanya padaku, "jual es cincau dari pagi, tapi yang beli bisa dihitung pakai jari. lha wong sekarang anak-anak jajannya sudah gak di warung gerobakan lagi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun