Mohon tunggu...
Angelica Pakaya
Angelica Pakaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Atma Jaya Yogyakarta

Dancers modern

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Opini Tentang Konflik ZEE Indonesia-Vietnam di Natuna Utara

19 Desember 2024   10:13 Diperbarui: 19 Desember 2024   10:13 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki wilayah laut yang sangat luas, sekitar 62% dari total luas negara. Wilayah laut ini kaya akan sumber daya alam termasuk perikanan, minyak, mineral, dan energi. Ekonomi kelautan Indonesia yang berkontribusi sekitar 3,7% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2020 mengalami penurunan pada tahun berikutnya akibat dampak pandemi COVID-19.

Gas alam sebagai salah satu sumber daya energi utama yang memegang peranan penting dalam transisi energi Indonesia dengan menggantikan minyak bumi dan batu bara yang semakin menipis dan merusak lingkungan. Indonesia memiliki cadangan gas alam yang besar. Salah satunya di Natuna Utara. Namun, wilayah ini juga menjadi sengketa dengan Vietnam yang mengklaim sebagian wilayah tersebut sebagai bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Latar Belakang Konflik ZEE Indonesia-Vietnam

Sengketa ZEE di Natuna Utara sudah berlangsung sejak 1963. Namun, ketegangan meningkat pada 29 April 2019 ketika terjadi insiden antara kapal pengawas Vietnam dan Kapal Republik Indonesia (KRI) Tjiptadi-381. Insiden ini memperburuk konflik terkait klaim wilayah yang kaya akan sumber daya alam, terutama gas alam. Indonesia menganggap aktivitas Vietnam sebagai illegal fishing, sementara Vietnam menganggapnya sah di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).

Meskipun telah ada 12 perundingan antara kedua negara, hingga kini belum tercapai kesepakatan mengenai batas ZEE di Natuna Utara.

Penyelesaian Sengketa Berdasarkan UNCLOS 1982

Penyelesaian sengketa ZEE antar negara diatur oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, khususnya Pasal 74 yang mengatur tentang pembagian ZEE yang tumpang tindih. Penyelesaian dapat dilakukan melalui perjanjian bilateral atau dengan bantuan pihak ketiga yang diakui seperti Mahkamah Internasional atau Mahkamah Internasional untuk Hukum Laut. Kedua negara diharapkan dapat mencapai kesepakatan yang adil dengan mengacu pada hukum internasional. 

Diplomasi yang Berkelanjutan

Penyelesaian sengketa ini memerlukan pendekatan diplomatik yang berkelanjutan. Indonesia memiliki pengalaman dalam menyelesaikan sengketa perbatasan dengan negara lain seperti Filipina, Australia, dan Papua Nugini. Vietnam pun memiliki pengalaman serupa dengan Thailand dan Tiongkok. Namun, negosiasi mengenai Natuna Utara telah berlangsung lebih lama dan terhambat oleh faktor politik, ekonomi, dan keamanan.

Pemerintah Indonesia terus mendorong Vietnam untuk menyelesaikan sengketa ini agar potensi sumber daya alam di wilayah tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal. Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengingatkan pentingnya penyelesaian masalah ini.

Penegakan Hukum dan Tindakan Indonesia

Indonesia juga menunjukkan komitmennya terhadap kedaulatan wilayahnya dengan penegakan hukum yang tegas terhadap illegal fishing. Pada 2021, Indonesia menenggelamkan 166 kapal yang terlibat dalam pencurian ikan ilegal dengan kapal Vietnam menjadi yang terbanyak. Meskipun tindakan ini kontroversial, namun dianggap sebagai langkah untuk melindungi kekayaan alam dan ekosistem laut Indonesia.

Peran Tiongkok dalam Sengketa

Sengketa ZEE di Natuna Utara semakin rumit dengan keterlibatan Tiongkok yang sejak 2009 mengklaim sebagian besar Laut Tiongkok Selatan melalui konsep Nine Dash Line. Klaim ini mencakup wilayah ZEE Indonesia di Natuna Utara yang menyebabkan ketegangan lebih lanjut. Kapal-kapal Coast Guard Tiongkok sering terlihat di wilayah tersebut sehingga memperburuk dinamika konflik antara Indonesia dan Vietnam.

Penyelesaian sengketa ini semakin mendesak, mengingat potensi besar sumber daya alam dan nilai strategis Natuna Utara. Diperlukan upaya diplomatik yang lebih intensif untuk menghormati kedaulatan kedua negara dan mencapai solusi yang adil serta damai.

Berita di atas merupakan Opini saya atas kasus konflik yang sedang terjadi bersadarkan artikel referensi.

Sumber Referensi :

https://talenta.usu.ac.id/rslr/article/view/11279/6104 

Angelica Valentina Pakaya

220908006

Mahasiswa Universitas Atmajaya Yogyakarta 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun