Mohon tunggu...
Rico Putra Anugrah
Rico Putra Anugrah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penyelesaian Yuridis atas Pelanggaran Hak Imunitas Misi Diplomatik terkait Praktik Spionase

2 Desember 2024   23:33 Diperbarui: 3 Desember 2024   00:17 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hubungan diplomatik adalah salah satu pondasi penting dalam menjaga stabilitas dan kerja sama antarnegara. Konvensi Wina 1961 memberikan landasan hukum yang mengatur hak dan kewajiban misi diplomatik, termasuk hak imunitas dan keistimewaan diplomatik. Hak-hak ini bertujuan untuk memastikan kelancaran pelaksanaan tugas diplomatik, seperti mewakili negara pengirim, melindungi kepentingan negara pengirim, serta membangun hubungan baik dengan negara penerima. Namun, pelaksanaan hubungan diplomatik tidak terlepas dari tantangan, termasuk pelanggaran hak imunitas oleh pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan status diplomatik untuk praktik yang bertentangan dengan hukum internasional, seperti spionase.

Praktik spionase oleh pejabat diplomatik menjadi isu serius karena tidak hanya melanggar hak imunitas diplomatik tetapi juga mencederai kedaulatan negara penerima. Praktik itu menciptakan ketegangan dalam hubungan antarnegara yang pada akhirnya dapat merusak stabilitas hubungan diplomatik internasional. Konvensi Wina 1961 telah memberikan perlindungan bagi pejabat diplomatik, meskipun belum ada aturan spesifik yang mengatur konsekuensi hukum atas pelanggaran terkait spionase, terutama dalam masa damai.

Prinsip Dasar Hak Imunitas Misi Diplomatik

Kekebalan diplomatik adalah bentuk perlindungan hukum yang memastikan diplomat dapat melaksanakan tugas mereka tanpa risiko penangkapan atau tuntutan hukum oleh negara tempat mereka bertugas. Prinsip ini telah diatur dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik tahun 1961 yang hampir diakui oleh seluruh negara, meskipun konsep kekebalan diplomatik sudah dikenal sejak ribuan tahun sebagai bagian dari kebiasaan internasional. Kekebalan ini memungkinkan hubungan antarnegara tetap berlangsung, bahkan dalam situasi perang.

Kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang dikenal sebagai extraterritoriality, berarti diplomat dan staf mereka dianggap berada di luar yurisdiksi hukum negara penerima. Mereka tidak tunduk pada hukum pidana maupun perdata negara tersebut. Konvensi Wina 1961 memberikan kekebalan dan keistimewaan ini dengan tujuan memastikan pelaksanaan tugas perwakilan diplomatik sebagai wakil negara dan mendukung efisiensi fungsi perwakilan diplomatik.

Dasar Teori Hak Imunitas 

Dalam hukum internasional, terdapat tiga teori utama yang menjadi dasar pemberian hak imunitas dan hak istimewa kepada pejabat diplomatik. Teori Exterritoriality menyatakan bahwa diplomat dianggap secara hukum berada di wilayah negara pengirim, meskipun secara fisik berada di negara penerima sehingga diplomat tidak tunduk pada hukum negara tempat mereka bertugas. Teori Representative Character menekankan bahwa kekebalan diberikan karena diplomat bertindak sebagai perwakilan resmi kepala negara atau pemerintahnya di luar negeri. Teori Functional Necessity mendasari kekebalan dan keistimewaan pada kebutuhan fungsional, yaitu untuk memastikan diplomat dapat menjalankan tugas mereka secara efektif.

Proses Hukum Terhadap Pejabat Diplomatik Yang Melakukan Praktik Spionase

Praktik spionase atau mata-mata telah diatur dalam hukum perang berdasarkan kebiasaan yang diakui oleh Konvensi Den Haag. Pasal 29 Konvensi Den Haag IV dan Pasal 46 Protokol Tambahan I 1977 mengatur bahwa spionase digunakan untuk memperoleh informasi rahasia yang dapat memberikan keuntungan strategis dalam perang. Biasanya, praktik ini dilakukan oleh angkatan bersenjata suatu negara untuk mengakses informasi penting yang sulit diperoleh melalui saluran komunikasi resmi. Informasi tersebut sering kali dikumpulkan menggunakan teknologi canggih seperti satelit mata-mata untuk pengambilan foto udara dan eksplorasi permukaan bumi. Selain itu, informasi juga dapat diperoleh melalui agen rahasia yang beroperasi tanpa menggunakan teknologi tinggi. Pasal 29 Konvensi Den Haag IV mendefinisikan mata-mata sebagai individu yang secara diam-diam atau dengan menyamar mencari dan mendapatkan informasi di wilayah operasi negara lawan dengan tujuan menyampaikannya kepada musuh.

Meskipun peraturan ini dirancang untuk situasi perang, spionase menjadi tantangan ketika dilakukan pada masa damai, khususnya oleh pejabat diplomatik. Praktik itu bertentangan dengan fungsi diplomatik yang diatur oleh hukum internasional, yaitu mewakili negara pengirim di negara penerima, melindungi kepentingan negara pengirim dan warganya dalam batas hukum, berunding dengan pemerintah negara penerima, mempelajari kondisi negara penerima melalui cara yang sah, serta memperkuat hubungan persahabatan, ekonomi, budaya, dan pengetahuan antarnegara.

Ketika pejabat diplomatik terlibat dalam kegiatan spionase, tindakan tersebut secara jelas melanggar Pasal 3 ayat (1) huruf d Konvensi Wina 1961. Pasal ini menyatakan bahwa perwakilan diplomatik hanya boleh mengamati dan melaporkan kondisi serta perkembangan di negara penerima melalui cara-cara yang sah kepada pemerintah negara pengirim. Selain itu, praktik spionase juga melanggar Pasal 39 ayat (1) Konvensi Wina 1961 yang menjamin kekebalan hukum dan hak istimewa bagi diplomat sejak mereka memasuki wilayah negara penerima atau sejak pemberitahuan resmi pengangkatan mereka kepada Kementerian Luar Negeri negara tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun